TERDENGAR suara tembakan. Beberapa petugas menyerbu masuk. Dan
... puluhan WNI keturunan Cina yang sedang asyik main judi tak
berkutik. Mereka ditangkap berikut barang bukti berupa dua buah
meja rolet dan uang Rp 230 ribu lebih.
Perjudian yang terjadi di Jalan Kapten Muslim No. 45, Medan,
April lalu, itu sebenarnya masih terhitung kecil-kecilan. Namun
perkara itu cukup mengagetkan juga. Karena tempat yang dipakai
berjudi, tak lain rumah mendiang Kol. Jajahi Pelawi. Itu pula
sebabnya yang menggerebek bukan polisi, melainkan petugas dari
Kodim yang dipimpin Mayor Pane.
Dan, usut punya usut, ternyata pengurus Angkatan Muda Pembaharu
Indonesia (AMPI) Sumatera Utara di Medan, yang bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan perjudian itu. Hal itu diakui Mitar
Pelawi wakil ketua AMPI Sumatera Utara, pekan lalu kepada TEMPO.
Kebetulan, rumah yang dipakai arena berjudi adalah rumah
abangnya almarhum. Tapi, kata Mitar, "penyelenggaraan judi itu
justru untuk memberantas judi."
Tekadnya itu, katanya, untuk menunjang gagasan Kadapol II,
Brigjen Soenaryo, yang Februari sebelumnya menyatakan perang
terhadap segala bentuk perjudian. Ketika itu kata Mitar, sekitar
1.000 penjudi dan cukongnya membuat pernyataan di depan polisi
bahwa mereka akan menghentikan kegiatannya. Namun kenyataannya,
perjudian masih tetap terjadi di sana-sini.
Pikiran "menghapus judi dengan cara berjudi," kata Mitar lagi,
datangnya dari Agus alias Cutek, 40 tahun, dan Hasan, 39 tahun.
Keduanya anggota Satuan Tugas Badan Penghubung Kesatuan Bangsa
(Satgas BPKB) -- suatu badan yang anggotanya adalah WNI
keturunan Cina, karena tugasnya memang "menggarap" kelompok
masyarakat mereka.
Agus dan Hasan menemui Mitar, untuk meminta persetujuan agar
rumah yang di jalan Kapten Muslim, milik abangnya, bisa
dijadikan tempat menjebak. Mitar, begitu ceritanya, akhirnya
menyetujui usul tersebut. Karena ternyata Nyonya Surbakti
Jajahi, yang diam-diam "digarap" Agus, juga menyatakan tak
keberatan. Apalagi, kemudian Agus dan Hasan membawa surat mandat
dari pengurus AMPI Sumatera Utara, yang isinya merestui praktek
judi untuk tujuan menjebak tadi. Dan semua rencana itu,
kabarnya, Agus juga telah menghubungi pihak kepolisian.
Setelah segalanya beres, Agus kemudian mendatangkan dua buah
meja rolet. Ditaruh di bagian belakang rumah yang cukup luas dan
terlindung. Esoknya, 23 April, undangan berdatangan ke tempat
itu dan mulailah rolet diputar. Yang hadir semuanya WNI
keturunan Cina. Perjudian hanya dilangsungkan sekitar satu jam
dan pada siang hari. Setelah itu mereka bubar.
Mana polisi yang hendak menggerebek? Hal itu juga dipertanyakan
Mitar: "Kok tidak dilaporkan polisi?" Memang tidak. Sebab,
menurut Nyonya Surbakti, Agus menolak. Alasannya, nanti saja
setelah penjudi kelas kakapnya berdatangan. Bila perjudian baru
mulai, ada polisi datang, begitu konon kata Agus, nanti para
penjudi jadi curiga.
Esok harinya, perjudian yang berlangsung satu jam di waktu sore
dan dihadiri sekitar 20 orang pun, berlangsung kembali.
"Bos-bosnya belum kumpul semua," kata Agus lagi, menolak
memanggil polisi. Tak jelas yang mana yang ditunggu. Namun
banyaknya orang yang berdatangan ke rumah di Jalan Kapten Muslim
itu, membuat aparat setempat curiga. Dan pada 26 April, empat
hari setelah perjudian berlangsung Mayor Pane dan anak buahnya
datang menggerebek.
Hari itu juga, Mitar menemui Komandan Kodim Letkol Achmad Wahid,
untuk menjelaskan bahwa perjudian di rumah abangnya hanyalah
taktik belaka. Tak jelas, apakah alasannya diterima. Namun
seminggu kemudian ia dipanggil polisi untuk diperiksa. Ia
dituduh telah melanggar salah satu pasal hukum pidana:
menyediakan tempat perjudian.
Akan halnya para penjudi, menurut Letkol Achmad, yang ditangkap
berjumlah 22 orang. Sepuluh di antaranya dilepas kembali, karena
tidak terbukti terlibat. Dan pembebasan itulah yang
membuat A Kwang, salah seorang penjudi yang ditangkap, menjadi
berang. "Yang dilepas itu justru yang kelas kakap," katanya di
kamar tahanan. Tong A Ku alias Akun dan Lim Cin Um alias A Romi
membenarkan. Bahkan menurut Tong, yang tertangkap waktu
penggerebekan bukan hanya 22, melainkan 30 orang lebih. "Yang
kecil-kecil kayak kami malah ditahan, ini tidak adil," kata Tong
sengit.
Mau apa lagi? Tong dan kawan-kawannya dan juga Mitar kini sedang
menanti hari persidangan yang kabarnya akan dibuka tak lama
lagi. Dan selama menanti itu, Mitar tak hentinya merenung.
"Membuka praktek judi sungguhan, belum pernah terlintas di benak
saya. Masa saya, dengan jabatan-jabatan saya yang begitu banyak,
sampai hati mencoreng muka sendiri?" katanya. Selain menjabat
wakil ketua AMPI, ia adalah wakil ketua KNPI Sumatera Utara, dan
kepala staf Resimen Mahatara.
Edward, ketua AMPI Sumatera Utara, pun turut menyesalkan
kejadian itu. Taktik yang digunakan, katanya, sebenarnya sudah
tepat. Hanya penanganannya yang tidak rapi. Antara lain dengan
tidak melaporkan setiap perkembangan pada polisi. Ada satu soal
lagi, menurut Edward: terjadi perpecahan di kalangan
penyelenggara judi bohong-bohongan itu. "Ada anggota yang
dipengaruhi uang cukong judi," kata Edward terus terang. Tak
disebut anggota yang mana yang kena sogok itu. Tapi, sejak
kejadian itu, Agus dan Hasan, dipecat dan kini menghilang dari
Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini