BERSENJATA kelewang dan bertingkah beringas, juga mengenakan
topeng, mereka datang berombongan, sekitar 20 orang, mengepung
rumah dr. Darlan Jali Chan. Tetangganya di Jalan STM, Kampung
Baru, Medan, bukannya tak tahu kedatangan kawanan bedebah itu.
Para perampok itu sendirilah yang membangunkan mereka, dengan
cara menggedor pintu atau jendela.
Dengan suara lantang, mereka memerintahkan agar semuanya tetap
tenang, dan jangan ada yang mencoba keluar rumah. Tak lupa,
mereka melemparkan batu-batu ke atap genteng. Rumah Darlan
sendiri dibuka secara paksa. Tuan rumah, yang tahu gelagat buruk
itu, tak bisa berbuat apa-apa. Lehernya dikalungi kelewang,
lalu, bersama istrinya ia disekap dalam sebuah kamar. Maka, enak
saja kawanan rampok itu menjarah barang berharga yang ada,
termasuk perhiasan emas. Setelah menggondol rampasan senilai
sekitar Rp 1 juta, mereka menghilang di kegelapan malam, Mei
lalu.
"Bajingan-bajingan itu seperti meledek kami," tutur komandan
Tekab kepolisian Medan, Kapten Pol Eddy Erwin. Lewat penyidikan
yang njelimet, Eddy akhirnya bisa menangkap Nasib Janggut dan
Mahmud alias Husin, dua pekan lalu. Keduanya memang tercatat
sebagai pentolan rampok, yang gemar beraksi memakai topeng dan
berkelewang, serta tak segan-segan melukai korban.
Namun kawanan rampok lain, yang juga bertopeng dan berkelewang,
menunjukkan aksinya tiga hari kemudian setelah Janggut dan
Mahmud dibekuk polisi. Kawanan yang terdiri empat orang itu, tak
kalah beringas dibanding sobat mereka yang menggasak rumah
Darlan. Begitu beringas dan menakutkannya empat sekawan itu,
sampai-sampai Misrin, hansip yang menjaga kantor PNP VII, Mayang
Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, kabur sebelum
sempat diapa-apakan.
Jendela kantor itu pun dirusak, lemari dibongkar dan arsip
diobrak-abrik. Ratusan ribu rupiah uang tunai mereka sambar
Sebuah kompas, yang tampak seperti mainan, turut digaet.
Yang kurang ajar adalah kawanan bedebah yang beroperasi di rumah
Hasnah, di Desa Besilam, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat.
Setelah mencongkel pintu, kawanan rampok mengikat seluruh
penghuni rumah. Mereka dimasukkan dalam sebuah kamar dan dikunci
dari luar. "Kalian boleh berteriak kalau mau dibakar
hidup-hidup," kata salah seorang di antara belasan perampok itu.
Kata-katanya, bukan sekadar gertakan sebab mereka kemudian
mengambil minyak tanah. Langsung disiramkan di seputar "tawanan"
dan bagian rumah yang mudah terbakar. Barang-barang dan uang
senilai sekitar Rp 1 juta mereka gasak. Masih belum puas, mereka
membukai botol-botol bir di warung milik Hasnah itu. Sembari
tertawa, mereka pun minum-minum, merayakan "kemenangan"nya malam
itu.
Kawanan rampok bertopeng seperti di atas, menurut Kapten Eddy,
memiliki mobilitas yang tinggi. Dan mereka umumnya menggunakan
"ilmu ikan lele": membenamkan diri beberapa saat lamanya, bila
ada kawannya yang tertangkap. Selama membenam itu, kata Eddy
lagi, mereka tetap mengadakan kontak satu sama lain. Dan
kelompok-kelompok tadi, tampaknya, mempunyai ikatan satu dengan
lainnya.
Keluarga Janggut dan Mahmud, misalnya, mendiami sebuah rumah
yang sama yang terletak di tengah sawah. Tapi dalam operasi,
keduanya masuk kelompok yang berbeda. Janggut, 39 tahun, adalah
orang kedua dalam gerombolan Suriadi. Sedangkan Mahmud, berinduk
pada kelompok Usman Bais, pentolan rampok bekas sersan mayor
yang cukup ditakuti.
Janggut sendiri, dulunya, juga anggota ABRI berpangkat kopral
dua. Gara-gara bikin ulah, antara lain punya bini muda, ia
dipecat. Namun ia segera naik pangkat. Dalam kelompoknya,
menurut pengakuannya sendiri kepada Monaris Simangunsong dari
TEMPO, "Saya dipanggil kapten." Adapun Suriadi, komandannya,
mendapat pangkat "mayor". Sampai sekarang, sang mayor itu masih
belum tertangkap.
Entah di mana mayor itu sembunyi, setelah sukses merampok Toko
Bintang Terang di Jalan Binjai, sekitar 12,5 km dari Medan,
pertengahan Juni lalu. Ketika itu dia dan kawan-kawan
diperkirakan memperoleh sampai Rp 10 juta. Tapi Janggut
membantah. Ayah enam anak itu hanya mengaku mendapat bagian Rp
100 ribu. Tapi memang, kata Janggut, "pembagian rezeki
sepenuhnya terserah komandan." Dalam kelompok, katanya lagi,
memang ada pula istilah anak kandung dan anak tiri.
Mahmud pun setelah gurunya, Usman Bais, berada di tahanan
militer sejak beberapa waktu lalu, ia harus "berdikari" dan
terpaksa menganaktirikan anggotanya. Kepada seorang adiknya yang
diajak merampok, ia juga bersikap pelit.
Mei lalu, setelah merampok di Tanjung Morawa, hasilnya
dinikmatinya sendiri. "Emas seberat 40 gram lebih, saya katakan
kepada teman-teman bahwa barang itu imitasi dan saya buang ke
dalam WC," katanya bangga kepada TEMPO di tahanan polisi Medan.
Juga sebuah sepeda motor hasil jarahan, ia manfaatkan seorang
diri, sebelum akhirnya dijual.
Begitulah mungkin gambaran kehidupan di "dunia keras" seperti
digeluti Janggut dan Mahmud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini