Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mayor dan kapten bertopeng

Perampok bertopeng sedang mengganas di sekitar medan, sebagian telah dibekuk polisi. perampok yang berpangkat tinggi boleh membagi hasil rampokannya dengan sewenang-wenang. (krim)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSENJATA kelewang dan bertingkah beringas, juga mengenakan topeng, mereka datang berombongan, sekitar 20 orang, mengepung rumah dr. Darlan Jali Chan. Tetangganya di Jalan STM, Kampung Baru, Medan, bukannya tak tahu kedatangan kawanan bedebah itu. Para perampok itu sendirilah yang membangunkan mereka, dengan cara menggedor pintu atau jendela. Dengan suara lantang, mereka memerintahkan agar semuanya tetap tenang, dan jangan ada yang mencoba keluar rumah. Tak lupa, mereka melemparkan batu-batu ke atap genteng. Rumah Darlan sendiri dibuka secara paksa. Tuan rumah, yang tahu gelagat buruk itu, tak bisa berbuat apa-apa. Lehernya dikalungi kelewang, lalu, bersama istrinya ia disekap dalam sebuah kamar. Maka, enak saja kawanan rampok itu menjarah barang berharga yang ada, termasuk perhiasan emas. Setelah menggondol rampasan senilai sekitar Rp 1 juta, mereka menghilang di kegelapan malam, Mei lalu. "Bajingan-bajingan itu seperti meledek kami," tutur komandan Tekab kepolisian Medan, Kapten Pol Eddy Erwin. Lewat penyidikan yang njelimet, Eddy akhirnya bisa menangkap Nasib Janggut dan Mahmud alias Husin, dua pekan lalu. Keduanya memang tercatat sebagai pentolan rampok, yang gemar beraksi memakai topeng dan berkelewang, serta tak segan-segan melukai korban. Namun kawanan rampok lain, yang juga bertopeng dan berkelewang, menunjukkan aksinya tiga hari kemudian setelah Janggut dan Mahmud dibekuk polisi. Kawanan yang terdiri empat orang itu, tak kalah beringas dibanding sobat mereka yang menggasak rumah Darlan. Begitu beringas dan menakutkannya empat sekawan itu, sampai-sampai Misrin, hansip yang menjaga kantor PNP VII, Mayang Kecamatan Bosar Maligas, Kabupaten Simalungun, kabur sebelum sempat diapa-apakan. Jendela kantor itu pun dirusak, lemari dibongkar dan arsip diobrak-abrik. Ratusan ribu rupiah uang tunai mereka sambar Sebuah kompas, yang tampak seperti mainan, turut digaet. Yang kurang ajar adalah kawanan bedebah yang beroperasi di rumah Hasnah, di Desa Besilam, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat. Setelah mencongkel pintu, kawanan rampok mengikat seluruh penghuni rumah. Mereka dimasukkan dalam sebuah kamar dan dikunci dari luar. "Kalian boleh berteriak kalau mau dibakar hidup-hidup," kata salah seorang di antara belasan perampok itu. Kata-katanya, bukan sekadar gertakan sebab mereka kemudian mengambil minyak tanah. Langsung disiramkan di seputar "tawanan" dan bagian rumah yang mudah terbakar. Barang-barang dan uang senilai sekitar Rp 1 juta mereka gasak. Masih belum puas, mereka membukai botol-botol bir di warung milik Hasnah itu. Sembari tertawa, mereka pun minum-minum, merayakan "kemenangan"nya malam itu. Kawanan rampok bertopeng seperti di atas, menurut Kapten Eddy, memiliki mobilitas yang tinggi. Dan mereka umumnya menggunakan "ilmu ikan lele": membenamkan diri beberapa saat lamanya, bila ada kawannya yang tertangkap. Selama membenam itu, kata Eddy lagi, mereka tetap mengadakan kontak satu sama lain. Dan kelompok-kelompok tadi, tampaknya, mempunyai ikatan satu dengan lainnya. Keluarga Janggut dan Mahmud, misalnya, mendiami sebuah rumah yang sama yang terletak di tengah sawah. Tapi dalam operasi, keduanya masuk kelompok yang berbeda. Janggut, 39 tahun, adalah orang kedua dalam gerombolan Suriadi. Sedangkan Mahmud, berinduk pada kelompok Usman Bais, pentolan rampok bekas sersan mayor yang cukup ditakuti. Janggut sendiri, dulunya, juga anggota ABRI berpangkat kopral dua. Gara-gara bikin ulah, antara lain punya bini muda, ia dipecat. Namun ia segera naik pangkat. Dalam kelompoknya, menurut pengakuannya sendiri kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO, "Saya dipanggil kapten." Adapun Suriadi, komandannya, mendapat pangkat "mayor". Sampai sekarang, sang mayor itu masih belum tertangkap. Entah di mana mayor itu sembunyi, setelah sukses merampok Toko Bintang Terang di Jalan Binjai, sekitar 12,5 km dari Medan, pertengahan Juni lalu. Ketika itu dia dan kawan-kawan diperkirakan memperoleh sampai Rp 10 juta. Tapi Janggut membantah. Ayah enam anak itu hanya mengaku mendapat bagian Rp 100 ribu. Tapi memang, kata Janggut, "pembagian rezeki sepenuhnya terserah komandan." Dalam kelompok, katanya lagi, memang ada pula istilah anak kandung dan anak tiri. Mahmud pun setelah gurunya, Usman Bais, berada di tahanan militer sejak beberapa waktu lalu, ia harus "berdikari" dan terpaksa menganaktirikan anggotanya. Kepada seorang adiknya yang diajak merampok, ia juga bersikap pelit. Mei lalu, setelah merampok di Tanjung Morawa, hasilnya dinikmatinya sendiri. "Emas seberat 40 gram lebih, saya katakan kepada teman-teman bahwa barang itu imitasi dan saya buang ke dalam WC," katanya bangga kepada TEMPO di tahanan polisi Medan. Juga sebuah sepeda motor hasil jarahan, ia manfaatkan seorang diri, sebelum akhirnya dijual. Begitulah mungkin gambaran kehidupan di "dunia keras" seperti digeluti Janggut dan Mahmud.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus