DI tengah gejolak demonstrasi mahasiswa, 1966, seorang sarjana
sospol tamatan UGM Yogya bertekad mencari nafkah di Jakarta. Ia
menginap di rumah rekannya, seorang sopir asal Kudus, di Gang
Rengas, kawasan Senayan. Kebetulan ketika itu ia mendengar bahwa
direktur muda siaran TVRI membutuhkan seorang sarjana sospol.
Begitu melamar, sang pemuda diterima.
Begitulah, mula pertama Drs. Subrata yang selama ini dikenal
secara luas sebagai direktur TVRI, memulai karirnya. Barangkali,
karena ketika masih kuliah juga mempelajari ilmu komunikasi
massa, maka Subrata pun ditugasi sebagai reporter. "Selain itu
kadang-kadang saya juga merangkap sebagai juru kamera,"
ceritanya.
Ditemui Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO akhir pekan lalu di ruang
kerjanya, Subrata siang itu mengenakan setelan safari warna
krem. Dan seperti yang tampak di layar televisi, Subrata
kelihatan rapi. Senin 4 Juli ini ia dilantik sebagai Direktur
Jenderal Radio, Televisi dan Film, menggantikan Drs. Sumadi.
Tahun lalu namanya sudah pernah disebut-sebut sebagai calon kuat
untuk jabatan tersebut. "Saya kira itu baru desas-desus saja,
tapi kalangan pers lantas memberitakannya seolah-olah beneran,"
katanya tersenyum. "Ketika itu saya merasa biasa-biasa saja.
Bagi saya masuk nominasi jadi Direktur Jenderal saja sudah
bersyukur," tambahnya.
Pelantikannya sebagai Direktur Jenderal RTF benar-benar
merupakan hadiah ulang tahun baginya. Sebab pada tanggal itu
pula Subrata tepat berusia 43 tahun. Ia dilahirkan di Mayong,
desa kecil 11 km sebelah utara Cirebon, dari keluarga seorang
buruh pabrik rokok BAT. "Sampai kelas III SMA saya masih
mendayung sepeda menempuh jarak 11 km Mayong-Cirebon pulang
pergi," tuturnya lagi.
Setahun menjadi reporter, ia naik menjadi komentator politik --
mengulas beberapa tajuk rencana surat-surat kabar. Dan pada
tahun itu juga, 1967, ia diangkat sebagai kepala Seksi
Pekabaran. Barangkali karena penghasilannya sudah mantap,
Subrata pun menikah dengan seorang gadis pilihannya asal
Purworejo -- pada tahun itu pula.
Anaknya yang pertama lahir kembar, lelaki -- perempuan, kini
Subrata dikaruniai 5 anak. Kembar sulung berusia 16 tahun, yang
bungsu 10 tahun. "Anak saya sudah 5, sebab ketika itu belum ada
KB," katanya tertawa. Setahun setelah menikah, 1968, ia dikirim
ke Skotlandia belajar soal-soal pertelevisian. "Saya sempat
belajar reportase pada guru yang baik seperti, David Frost,"
ujarnya.
Pulang ke Jakarta, tahun berikutnya, ia menyelenggarakan acara
Echo Sepekan dalam Berita -- cikal bakal acara siaran Dnia
dalam Berita sekarang ini. Untuk memperluas cakrawala
pandangannya, Subrata mendapat kesempatan melakukan reportase ke
beberapa pulau-pulau di seluruh Indonesia selama 2 bulan. "Itu
merupakan pengalaman yang mengesankan," katanya.
Sambil sesekali menyusun beberapa fragmen cerita televisi, karir
Subrata semakin mantap ketika 6 tahun kemudian, 1975, ia
diangkat menjadi kepala Sub-Direktorat Pemberitaan TVRI. Ketika
kemudian diangkat sebagai direktur TVRI pada 9 Agustus 1980,
jabatan kepala Sub-Direktorat Pemberitaan masih juga
dirangkapnya hingga sekarang.
Subrata punya banyak pengalaman berorganisasi. Ketika masih
kuliah, Subrata menjadi salah seorang pengurus Ikatan Mahasiswa
Ilmu Hubungan Internasional, antara lain bersama Widodo yang
kini menjadi penerjemah Presiden Soeharto. Pada 1973, bersama
beberapa rekannya, ia mendirikan Pewarta (Perhimpunan Wartawan
Radio dan Televisi), yang kemudian bergabung dalam PWI.
Pernah mengikuti pendidikan di Lemhanas KRA XII (Lembaga
Pertahanan Nasional Kursus Reguler Angkatan XII) pada 1979,
kemudian ia diangkat sebagai ketua angkatan dari KRA XII
tersebut. Bahkan Juni lalu ia menjadi ketua bidang publikasi
Ikatan Alumnus Lemhanas. Kini ia juga duduk sebagai anggota Tim
Pengkajian Lemhanas Bidang Sosial-Budaya.
Akhir tahun lalu, Subrata ditunjuk sebagai chairman dari Forum
Perhimpunan Penyiaran Asia-Pasifik (Asian-Pasific Broadcasting
Union), sebuah badan yang mengusahakan pertukaran siaran berita
antarnegara Asia-Pasifik. Pada 1 September mendatang Indonesia
akan menjadi tuan rumah forum APBU tersebut, membahas penggunaan
satelit global untuk pertukaran berita. "Saya menyetujui
pertukaran berita antarnegara. Tapi hendaknya dijaga isinya
tidak merugikan kepentingan nasional," katanya.
Sebagai Direktur Jenderal RTF, tampaknya Subrata tidak akan
melakukan perubahan-perubahan yang berarti. Katanya: "Saya ingin
melanjutkan apa yang sudah berjalan. Kalaupun akan menentukan
kebijaksanaan baru haruslah dilakukan inventarisasi masalah,
kemudian hasilnya dikaitkan dengan pedoman pokok Departemen
Penerangan." Mengenai film impor? "Saya rasa sudah dipikirkan
oleh Direktur Jenderal yang terdahulu," jawabnya.
Di tengah kesibukannya, Subrata masih menyempatkan berolah raga:
berenang, tenis, atau jogging. Ia mengaku suka bekerja keras,
juga dalam tim di lapangan. Katanya lagi: "Saya dilahirkan di
lingkungan yang tak pernah memimpikan cita-cita. Ayah hanya
berharap saya bisa menyelesaikan sekolah dan bernasib lebih
baik. Setelah beliau wafat, saya ingin bisa membuktikan
cita-cita orangtua itu. Maka saya bekerja keras."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini