Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Seorang jenderal dari mayong

Direktur TVRI, subroto dilantik sebagai direktur jenderal radio, televisi dan film, menggantikan drs. sumadi. (md)

9 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah gejolak demonstrasi mahasiswa, 1966, seorang sarjana sospol tamatan UGM Yogya bertekad mencari nafkah di Jakarta. Ia menginap di rumah rekannya, seorang sopir asal Kudus, di Gang Rengas, kawasan Senayan. Kebetulan ketika itu ia mendengar bahwa direktur muda siaran TVRI membutuhkan seorang sarjana sospol. Begitu melamar, sang pemuda diterima. Begitulah, mula pertama Drs. Subrata yang selama ini dikenal secara luas sebagai direktur TVRI, memulai karirnya. Barangkali, karena ketika masih kuliah juga mempelajari ilmu komunikasi massa, maka Subrata pun ditugasi sebagai reporter. "Selain itu kadang-kadang saya juga merangkap sebagai juru kamera," ceritanya. Ditemui Minuk Sastrowardoyo dari TEMPO akhir pekan lalu di ruang kerjanya, Subrata siang itu mengenakan setelan safari warna krem. Dan seperti yang tampak di layar televisi, Subrata kelihatan rapi. Senin 4 Juli ini ia dilantik sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi dan Film, menggantikan Drs. Sumadi. Tahun lalu namanya sudah pernah disebut-sebut sebagai calon kuat untuk jabatan tersebut. "Saya kira itu baru desas-desus saja, tapi kalangan pers lantas memberitakannya seolah-olah beneran," katanya tersenyum. "Ketika itu saya merasa biasa-biasa saja. Bagi saya masuk nominasi jadi Direktur Jenderal saja sudah bersyukur," tambahnya. Pelantikannya sebagai Direktur Jenderal RTF benar-benar merupakan hadiah ulang tahun baginya. Sebab pada tanggal itu pula Subrata tepat berusia 43 tahun. Ia dilahirkan di Mayong, desa kecil 11 km sebelah utara Cirebon, dari keluarga seorang buruh pabrik rokok BAT. "Sampai kelas III SMA saya masih mendayung sepeda menempuh jarak 11 km Mayong-Cirebon pulang pergi," tuturnya lagi. Setahun menjadi reporter, ia naik menjadi komentator politik -- mengulas beberapa tajuk rencana surat-surat kabar. Dan pada tahun itu juga, 1967, ia diangkat sebagai kepala Seksi Pekabaran. Barangkali karena penghasilannya sudah mantap, Subrata pun menikah dengan seorang gadis pilihannya asal Purworejo -- pada tahun itu pula. Anaknya yang pertama lahir kembar, lelaki -- perempuan, kini Subrata dikaruniai 5 anak. Kembar sulung berusia 16 tahun, yang bungsu 10 tahun. "Anak saya sudah 5, sebab ketika itu belum ada KB," katanya tertawa. Setahun setelah menikah, 1968, ia dikirim ke Skotlandia belajar soal-soal pertelevisian. "Saya sempat belajar reportase pada guru yang baik seperti, David Frost," ujarnya. Pulang ke Jakarta, tahun berikutnya, ia menyelenggarakan acara Echo Sepekan dalam Berita -- cikal bakal acara siaran Dnia dalam Berita sekarang ini. Untuk memperluas cakrawala pandangannya, Subrata mendapat kesempatan melakukan reportase ke beberapa pulau-pulau di seluruh Indonesia selama 2 bulan. "Itu merupakan pengalaman yang mengesankan," katanya. Sambil sesekali menyusun beberapa fragmen cerita televisi, karir Subrata semakin mantap ketika 6 tahun kemudian, 1975, ia diangkat menjadi kepala Sub-Direktorat Pemberitaan TVRI. Ketika kemudian diangkat sebagai direktur TVRI pada 9 Agustus 1980, jabatan kepala Sub-Direktorat Pemberitaan masih juga dirangkapnya hingga sekarang. Subrata punya banyak pengalaman berorganisasi. Ketika masih kuliah, Subrata menjadi salah seorang pengurus Ikatan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, antara lain bersama Widodo yang kini menjadi penerjemah Presiden Soeharto. Pada 1973, bersama beberapa rekannya, ia mendirikan Pewarta (Perhimpunan Wartawan Radio dan Televisi), yang kemudian bergabung dalam PWI. Pernah mengikuti pendidikan di Lemhanas KRA XII (Lembaga Pertahanan Nasional Kursus Reguler Angkatan XII) pada 1979, kemudian ia diangkat sebagai ketua angkatan dari KRA XII tersebut. Bahkan Juni lalu ia menjadi ketua bidang publikasi Ikatan Alumnus Lemhanas. Kini ia juga duduk sebagai anggota Tim Pengkajian Lemhanas Bidang Sosial-Budaya. Akhir tahun lalu, Subrata ditunjuk sebagai chairman dari Forum Perhimpunan Penyiaran Asia-Pasifik (Asian-Pasific Broadcasting Union), sebuah badan yang mengusahakan pertukaran siaran berita antarnegara Asia-Pasifik. Pada 1 September mendatang Indonesia akan menjadi tuan rumah forum APBU tersebut, membahas penggunaan satelit global untuk pertukaran berita. "Saya menyetujui pertukaran berita antarnegara. Tapi hendaknya dijaga isinya tidak merugikan kepentingan nasional," katanya. Sebagai Direktur Jenderal RTF, tampaknya Subrata tidak akan melakukan perubahan-perubahan yang berarti. Katanya: "Saya ingin melanjutkan apa yang sudah berjalan. Kalaupun akan menentukan kebijaksanaan baru haruslah dilakukan inventarisasi masalah, kemudian hasilnya dikaitkan dengan pedoman pokok Departemen Penerangan." Mengenai film impor? "Saya rasa sudah dipikirkan oleh Direktur Jenderal yang terdahulu," jawabnya. Di tengah kesibukannya, Subrata masih menyempatkan berolah raga: berenang, tenis, atau jogging. Ia mengaku suka bekerja keras, juga dalam tim di lapangan. Katanya lagi: "Saya dilahirkan di lingkungan yang tak pernah memimpikan cita-cita. Ayah hanya berharap saya bisa menyelesaikan sekolah dan bernasib lebih baik. Setelah beliau wafat, saya ingin bisa membuktikan cita-cita orangtua itu. Maka saya bekerja keras."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus