BAGAI panglima perang berlimpah kekuatan, Soeharto memasang berbagai jurus menghadapi gelombang serangan. Tak cukup dengan pernyataan berulang bahwa ia tak punya uang sesen pun di luar negeri, mantan presiden itu juga mengancam akan menuntut orang yang menyalahgunakan namanya untuk rekening bank di luar negeri.
Bukan cuma itu. Setelah memberi surat kuasa kepada Jaksa Agung Andi M. Ghalib, meski surat kuasa bersifat perdata dan mengandung kontradiksi dengan tugas kejaksaan mengusut kasus korupsi Soeharto, bekas pemimpin Orde Baru itu juga mengadukan majalah Time ke Kepolisian Republik Indonesia.
Didampingi enam dari delapan pengacaranya, Rabu pekan lalu, Soeharto menganggap berita Time edisi 24 Mei lalu tentang bisnis Soeharto dan keluarga telah mencemarkan nama baik dan memfitnah dirinya. Berdasarkan dua kali somasi (peringatan) dari tim pengacara Soeharto, Time dianggap tak bisa membuktikan kebenaran berita tentang kekayaan keluarga Soeharto, yang disebutkan sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 120 triliun.
Menurut Mohamad Asegaff, salah seorang pengacara Soeharto, isi berita Time yang ditandai Soeharto sebagai ketidakbenaran di antaranya soal perusahaan milik Soeharto yang tidak membayar pajak dan rumah milik Soeharto di luar negeri. Begitu pula cerita transfer dana sebesar US$ 9 miliar, atau sekitar Rp 72 triliun, dari sebuah bank di Swiss ke bank di Austria. "Pak Harto mengaku tak mempunyai rekening bank di luar negeri dan tak pernah mentransfer dana ke bank di luar negeri," tutur Asegaff.
Bagi Soeharto, berita itu dinilai amat merugikan reputasinya. "Kalau orang membaca keseluruhan berita itu, akan timbul kesan bahwa harta Pak Harto diperolah dengan cara yang tidak benar. Padahal, berita itu tidak benar," ujar Asegaff. Selain menuntut secara pidana, tim pengacara Soeharto juga akan menggugat Time.
Sebenarnya, tema yang diceritakan Time bukan barang baru. Kekayaan Soeharto dan anaknya serta kroni mereka sudah lama menjadi rahasia umum di Indonesia. Bahkan berbagai media, setidaknya 12 majalah dan koran, juga beberapa akademisi, telah mengungkapkannya. "Mungkin karena reputasi Time yang bagus dan peredarannya yang luas di dunia, Soeharto merasa perlu untuk memperkarakannya," kata ahli hukum pers di Ujungpandang, Andi Muis.
Meskipun demikian, kuasa hukum Time, T. Mulya Lubis, menyatakan bahwa kliennya siap membuktikan kebenaran berita hasil investigasi selama empat bulan di sebelas negara itu. Mulya justru menganggap tuntutan Soeharto masih kabur karena tak menyebutkan secara tegas isi berita atau alinea mana dari 44 alinea berita Time yang dianggap menghinanya.
Dari segi hukum, Mulya juga menganggap tuntutan pidana Soeharto tidak tepat. Masalahnya, kalau benar terjadi delik pers, tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delictie) tersebut bukan di Indonesia, melainkan di Hong Kong. Sebab, Time edisi Asia yang memuat berita Soeharto diterbitkan di Hong Kong. Dan dari segi pertanggungjawaban hukum pun, Time Hong Kong merupakan bagian dari Time yang berpusat di New York, Amerika. Jadi, hukum pidana Indonesia tak mungkin mengadilinya.
Menanggapi dalil itu, Mohamad Asegaff punya argumentasi. "Meski penerbitannya di Hong Kong, pencarian informasi, penulisan laporan, dan beritanya di Indonesia. Itu berarti locus delictie-nya di sini, bukan di tempat domisili hukum Time," ujar Asegaff.
Lagi pula, tambah Asegaff, berita tersebut menyangkut orang Indonesia dan peredaran majalahnya di Indonesia. Dan dari segi pertanggungjawaban hukum wartawan terhadap berita, reporter ataupun koresponden Time ada di Indonesia. Berdasarkan itu, Asegaff merasa yakin bahwa kepolisian Indonesia berwenang menyidik Time.
Sementara itu, Andi Muis berpendapat bahwa hukum pidana Indonesia yang berancaman hukuman badan sangat tipis kemungkinannya dibidikkan ke arah Time. Paling banter, kata Muis, Time bisa digugat secara perdata dengan sanksi ganti rugi uang. "Itu pun eksekusinya nanti tak gampang karena Time tidak tunduk kepada hukum Indonesia," ucapnya.
Bisa jadi perkaranya bakal menyangkut hukum antartata hukum, yakni hukum Indonesia ala Eropa kontinental dan hukum Hong Kong serta Amerika versi Anglo Saxon. Kalau itu terjadi, sementara pengusutan Kejaksaan Agung atas kasus korupsi yang dituduhkan kepada Soeharto tak maju-maju, dan kepergian Menteri Kehakiman Muladi serta Jaksa Agung Andi M. Ghalib ke Austria plus Swiss tak membawa hasil yang berarti, bisa-bisa jalan menuntaskan kasus Soeharto semakin berliku.
Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer (Jakarta), dan Tomi Lebang (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini