DALAM sepekan, dua kepala desa di Kecamatan Pagelaran, Lampung Selat. an, mati terbunuh. Kades Campang Wa Handak, Sunari Sakip, 40 tahun, ditembak kepalanya oleh Babinsa setempat. Sedang Kades Babakan, Djaroddin, 44 tahun, yang baru seminggu dilantik, tewas dikeroyok warga dan familinya. Karena dua insiden itu, pekan ini aparat keamanan sibuk memeriksa dan melacak pelaku yang masih buron. Peristiwa pertama terjadi tengah malam 8 Mei lalu. Malam itu, menurut Iwan T. Hassan - Kabag Pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan - bawahannya, Kades Sunari Sakip, itu bersua dengan Babinsa Kopral Satu Minha. Malam itu, Minha memang tengah ronda ditemani dua hansip, Mansur dan Saridjo, serta Kepala Suku, Rais. Koptu. Minha lantas memanggil Sunari, kades yang sebelumnya telah disangka menggelapkan uang PBB (pajak bumi dan bangunan) Rp 2,1 juta untuk kepentingan pribadi. Entah bagaimana ceritanya, Sunari lantas berusaha merampas senjata Babinsa. Gagal merebut pistol, Kades yang menjabat sejak 1984 itu mencabut golok dan membabatkan sekenanya. Menghadapi lawan yang kalap, Minha melepaskan tembakan peringatan. Perlawanan Kades Sunari akhirnya bisa dipatahkan setelah tlmah panas disarangkan telak pada kepalanya. Versi lain, Babinsa itu memang sudah siap menghadapi Kades. Konon, Minha memang ditugasi menyelidiki dan menangkap Sunari, yang disebut-sebut suka melindungi perampok. Maka, malam itu, ia harus bisa membekuk Sunari yang belakangan selalu menghilang. Di pinggir hlltan, sekitar satu kilometer dari rumahnya, Sunari kepergok berjalan sendirian. Untuk meyakinkan, Minha memanggil Suriari. Yang dipanggil tak menyahut, tapi malah lari Ketika diberi tembakan peringatan, Sunari justru mempercepat larinya. Tembakan ke kaki belum juga berhasil menyetop langkahnya. Baru setelah dor tepat mengenai kepala, Pak Kades terjungkal dan mati seketika. Tuduhan bahwa Sunari melindungi perampok, apalagi kerja sama, kelihatannya disangsikan beberapa warganya. Sebagai lurah yang menjabat sejak 1984, Sunari termasuk berpenampilan bijak. "Kami tak pernah merasa ditekan. Rumahnya juga sederhana, dari kayu dan tripleks. Meja tamu saja tak ada," kata Ahmad, 32 tahun, warganya. Istri ketiganya, Titin Mastinah, 21 tahun, membenarkan suaminya memakai uang PBB. "Katanya untuk membangun kantor balai desa dan sebuah jembatan," kata Titin yang hamil enam bulan. Sunari, katanya, merencanakan pergi ke Jawa untuk mencari pinjaman guna melunasi uang yang dipakainya. "Tahu-tahu sudah jadi mayat. Suami saya tak meninggalkan apa-apa, kenangan foto pun tidak," kata Titin. Akan halnya Koptu. Minha, ada yang menyebut-nyebut bahwa Babinsa itu memang berniat menagih uang PBB. Tapi, menurut sumber TEMPO di Kecamatan Pagelaran, tidak ada tugas buat Babinsa itu untuk menagih utang. Soal uang yang digelapkan, konon, sudah diselesalkan dan yang bersangkutan bersedia membereskan. Kasus Kades Sunari belum tersingkap seluruhnya. Tapi, tiga hari kemudian, aparat keamanan Kecamatan Pagelaran dikejutkan lagi oleh terbunuhnya seorang kades. Korbannya, Djaroddin yang belum genap seminggu memangku jabatan Kades Babakan. Pembunuhan itu, menurut pemeriksaan sementara pihak polisi, berawal dari kasus sengketa tanah warisan seluas tiga perempat hektar antara Sarnah dan Saiful Anwar. Kedua pihak, masih famili Kades, tidak mencapai kata sepakat untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Perselisihan dilanjutkan ke meja hijau, PN Lampung Selatan. Pihak Sarnah, kecuali menguasakannya kepada Djaroddin, juga menjual tanah itu kepada orang lain, Suyono namanya. Tiga kali Djaroddin dipanggil untuk sidang. Tapi ia sama sekali tidak mau hadir karena lawan sengketanya adalah misannya sendiri. Hari itu, Suyono hendak membagi hasil panennya dengan penggarap, disaksikan Djaroddin. Kemudian datang Saiful Anwar bersama adiknya, Asrin dan Sainul, serta beberapa orang lainnya. Cekcok mulut mengarah ke perkelahian. Saiful Anwar cs. mengepung dan menghadang Djaroddin ketika kades itu akan lari untuk meminta bantuan polisi. Secepat itu pula ia diserbu dan dikeroyok. Tusukan yang menembus dada kiri menghabisi hayatnya. Ia mati di tangan famili dan warganya. Beberapa hari kemudian, Saiful dan Asrin diringkus ketika siap-siap hendak kabur dari daerahnya. Sedang Sainul, kini, masih buron. Alasan pengeroyokan, kata Saiful di depan polisi, semata-mata soal rebutan sawah. Kades Djaroddin dalam sengketa tanah itu, menurut tersangka, memihak. Laporan Effendi Saat (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini