LAUDIO Domino tewas. Kepalanya ditembus sejumlah peluru. Ia terkapar di pinggir jalan. Polisi Italia yakini ia dibantai oleh La Cosa Nostra atau mafia Sisilia. Padahal, Domino bukan seorang polisi, bukan pula anggota mafia. Ia cuma seorang bocah, baru 11 tahun, dan beberapa menit sebelum peluru disarangkan ke kepalanya, ia masih bermain-main di pinggir sebuah jalan di Palermo, Sisilia. Ribuan warga Palermo, ibu kota salah satu daerah istimewa Italia, Kamis pekan lalu mengantarkan jenazah anak itu ke kuburan. Itu suatu hal yang lima tahun lalu tak mungkin terjadi di Palermo, kampung halaman mafia. Korban mafia tak akan diributkan. Tapi Sisilia memang telah berubah, sejak empat tahun lalu. Kampung halaman mafiosi itu kini bukan lagi sarang yang tenteram bagi mereka. Munculnya sejumlah penegak hukum muda, yang bertekad mengubah citra Sisilia, memberikan gigi kembali kepada polisi dan Jaksa. Tapi apa dosa Claudio Domino terhadap mafia? Perang melawan mafia yang dipimpin oleh Wali Kota Palermo, Leoluca Orlando, dan Jaksa Giovanni Falcone, tcrhitung sejak awal tahun ini telah memenjarakan sekitar 470 mafiosi. Mereka, secara berkelompok, diseret ke sidang pengadilan. Falcone, jaksa itu dengan setumpuk bukti dan sejumlah saksi -- dari kalangan mafia sendiri yang mau bekerja sama dengan polisi -- siap menjatuhkan tuduhan-tuduhan tak terelakkan. Sementara itu, mafia memang tak tinggal diam. Dengan segala cara, yang masih di luar jeruji mencoba membebaskan rekan-rekannya. Cara kuno tak lagi mempan. Polisi tak lagi bisa disogok. Para pejabat penting kini enggan bekerja sama dengan bandit. Maka, para mafiosi pun jadi beringas. Citra bahwa mereka pelindung kaum papa Sisilia runtuh karenanya. Dan sebenarnya ini sudah berlangsung sejak pertengahan 1970-an, ketika terang-terangan mafia menyatakan berdagang narkotik. Dan untuk melindungi bisnis bernilai ratusan ribu dolar itu, mereka tak lagi menyogok polisi dan pejabat, tapi menembak mati. Dan Domino adalah korban semakin brutalnya mafia. Ayah Domino, pengelola perusahaan pelayanan pembersihan, punya kontrak dengan penjara Palermo. Ayah ini, sebagaimana kebanyakan orang Sisilia nonmafia, tak lagi mau bekerja sama dengan bandit yang pernah punya citra pembela rakyat itu. Ia menolak menyelundupkan orang mafia ke penjara, dengan menyamar sebagai pekerja pembersihan. Beberapa hari kemudian, terjadilah pembunuhan itu. Suatu hal yang di zaman mafia masih punya sikap gentleman tak mungkin terjadi. Tapi warga baik-baik Sisilia tak gentar. Wali Kota Orlando sudah lama menyadari risiko "perang saudara" ini. Dan bila ia optimistis, ia yakin sebagian besar warga Palermo mendukungnya. Setidaknya, kini orang-orang Sisilia nonmafia menyadari risiko pilihan mereka. Membantu mafia, berurusan dengan polisi -- dan bukan lagi polisi generasi lama yang lunak. Sementara itu, menolak mafia, nyawa taruhannya. Dan, tampaknya, sebagian besar mereka akan memilih pilihan kedua, apa pun taruhannya. Sebab, moral di Sisilia memang telah berubah. Mafia yang tak lagi gentleman, tak ada harganya di mata mereka. Ayah Domino telah menjadi contoh -- bukan cuma contoh bagaimana harus memilih, tapi juga sebesar apa saja pengorbanan bagi tegaknya citra yang luhur harus diberikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini