Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Racun tikus ayah tiri

Yaya, 17, sopir angkutan pedesaan membunuh anak tirinya, agus, 4, dengan racun tikus. istrinya maria, 22, dianggap tidak adil merawat anak kandungnya, eyang. khawatir anak tirinya akan merebut warisannya. (krim)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGUS harus mati. Keputusan ini diamL bil oleh Yaya, penduduk Desa Cipangramatan, Garut, Jawa Barat. Maka, suatu siang, Yaya memutuskan untuk bertindak. Saat itu istrinya, Maria, dan mertuanya pergi ke ladang. Yaya teringat pada racun tikus merk Temik yang disimpannya. Sesendok racun ia campur dengan nasi, lalu diberikan kepada Agus, anak tirinya yang berusia empat tahun itu. Lahap sekali si anak makan. Tak berapa lama mata anak kecil itu mendelik. Ia juga buang-buang air dan mulutnya berbusa. Yaya panik. Nasi yang masih tersisa buru-buru ia berikan pada seekor anjing. Tak sampai lima menit, binatang itu pun menunjukkan gejala sama: mata mendelik, buang-buang air, dan mulut berbusa. Malah, tak lama kemudian anjing itu mati. Dan Agus menyusul tak lama kemudian. Dan Yaya pun, yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi mobil angkutan pedesaan, ditangkap dengan tuduhan melakukan pembunuhan. "Dia sudah mengakui perbuatannya," tutur Kapolres Garut, Letkol Pudjo Pranoto, kepada Aji Abdul Gofar dari TEMPO, pekan lalu. Kapolres segera menyerahkan berkas perkara Yaya ini ke kejaksaan. Pembunuhan atas Agus bermula dari sebuah prasangka. Yaya, yang tak tamat SD, mengawini Maria pada 1984. Ketika itu, Yaya, yang bertubuh pendek tapi kekar dan berwajah keras, baru berumur 17. Masih perjaka ting-ting. Sedangkan Maria, 22, adalah janda dengan dua anak, masing-masing Durachman dan Agus. Di pelosok Jawa Barat -- Desa Cipangramatan terletak 70 km di selatan Garut -- kawin-cerai dalam usia muda memang bukan luar biasa. Dari pasangan Yaya-Maria ini, lahirlah Enjang. Dan sejak itu, Yaya diam-diam dicengkam perasaan khawatir. "Saya takut, di kemudian hari nanti kedua anak tiri saya akan menyisihkan Enjang, dan menghaki semua warisan peninggalan saya," tutur Yaya. Dari orangtuanya, Yaya memang memperoleh warisan berupa rumah dan sebidang kebun. Dia sendiri, sebagai sopir, berpenghasilan sekitar Rp 1.500 sehari. Kekhawatiran Yaya kian hari rupanya kian besar. Terlebih, pada anggapannya, karena Maria ternyata lebih menyayangi kedua anaknya dari suami terdahulu, terutama kepada Agus. Sementara itu, kata Yaya lagi, Enjang sepertinya jadi agak kurang mendapat perhatian. Sementara itu di pihak Maria, istri tua, tak muncul kecurigaan sedikit pun terhadap sikap suaminya. Menurut istri itu, perlakuan suaminya selama ini terhadap kedua anak tirinya dan seorang anak kandungnya sama baiknya. Ia yakin, bahwa suami keduanya ini sangat menyayangi baik anak kandung maupun anak tiri. Bukankah dalam dongeng-dongeng yang berbahaya bukan ayah tiri, tapi ibu tiri? Dan Yaya makin hari makin memperhatikan perlakuan istrinya terhadap Enjang, Agus, dan Durachman. "Makin hari hati saya makin was-was," begitu pengakuan Yaya kepada polisi. "Setelah saya perhatikan betul-betul, ternyata Mariah kurang adil. Ia lebih memperhatikan kedua anaknya dari suami terdahulu." Nah, siang itu, Jumat, 12 September lalu, setan pun lebih nyaring berbisik-bisik ke hati Yaya, rupanya. Kebetulan, hari itu ia tak bekerja, sementara istri dan mertuanya tak ada di rumah. Dan terjadilah peracunan anak tiri itu. Tak ada yang curiga, mulanya, kematian Agus akibat menelan racun. Jenazah pun dikuburkan seperti lazimnya. Baru belakangan pikiran Maria terusik. Ia teringat anjingnya, yang mati pada hari yang sama, dan menunjukkan gejala yang sama pula dengan almarhum anaknya. Kecurigaannya bertambah karena, ketika ditanya, apakah nasi yang diberikan kepada Agus dan anjing dibubuh racun, Yaya gelagapan. Tak berpanjang-panjang, Maria melaporkan keurigaannya kepada ketua RT dan RW -- yang selanjutnya melaporkannya kepada polisi. Yaya pun diperiksa, dan dia mengaku sebagai yang bertanggung jawab atas tewasnya Agus -- menurut pihak polisi. Memang, polisi sejauh ini tak mempunyai kecurigaan terhadap orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus