TAK biasanya, ruang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rabu pekan lalu dipenuhi banyak pelaut. Bukan hendak mengajak hakim berlayar, tapi mereka ingin menyaksikan kasus gugatan yang menyangkut nasib sesama anak buah kapal (ABK). Di persidangan itu, soal tanggung jawab seorang kapten dan pemilik kapal terhadap ABK memang sedang menjadi bahan perdebatan. Adalah Lisa Fransisca, 33 tahun, yang mempersoalkan kematian suaminya, Mardongan Halomoan Hutasoit. Ia menyebut kematian suaminya di atas kapal motor Dayaka IV itu akibat kelalaian dan kecerobohan pemilik dan kapten kapal Gozali, yang dituding tidak mematuhi peraturan pelayaran internasional. Maka Lisa menuntut ganti rugi Rp 300 juta kepada pemilik kapal Dayaka IV dan Kapten Gozali. Mardongan, 34 tahun, meninggal pada 11 Januari 1990 di atas kapal barang yang tengah berlayar menuju Singapura. Ayah satu anak lulusan sekolah pelayaran (P3B) Semarang itu bergabung sebagai ABK Dayaka IV baru setengah tahun. Dalam sebuah pelayaran dari Nagoya menuju Hong Kong ia mengeluh sesak napas dan sakit kerongkongan. Alkisah, ketika itu Gozali hanya memberi obat kumur. Pada 5 Januari 1990 kapal yang memuat peralatan mesin berat itu tiba di Hong Kong untuk bongkar muat. Di sana Mardongan diperiksakan ke dokter setempat. Hasilnya, Mardongan dinyatakan mengalami gangguan saluran pernapasan, lalu diberi obat. Ia juga dinyatakan layak kerja, tak perlu masuk rumah sakit. Esoknya kapal berlayar menuju Singapura. Kondisi kesehatan Mardongan sudah lumayan. Tapi itu tak berlangsung lama, karena esoknya ia kembali mengeluh sesak napas. Atas keluhan ini, Kapten Gozali memberikan obat gosok Vicks. Upaya itu tak menolong, kondisi Mardongan kian memburuk. Pagi 11 Januari 1990 timbul panik. Mardongan diketahui meninggal dalam keadaan tertelungkup dengan kaki terlipat di muka kamarnya. Dari mulutnya keluar lendir berbusa. Baru esoknya kapal itu bisa merapat di Singapura. Di Kota Singa ini jenazah diautopsi oleh ahli patologi forensik Profesor Chao Tzee Cheng. Hasilnya: Mardongan dinyatakan meninggal karena sakit bronchopneumonia (peradangan saluran pernapasan dan paru-paru). Jenazah lantas dikirim ke Jakarta dua hari kemudian. Sang istri, Ny. Fransisca, tentu saja kaget setengah mati. ''Selama ini suami saya tak pernah mengeluh sakit,'' kata sarjana pertanian itu. Ketika itu, oleh perusahaan, ia mendapat uang Rp 500 ribu honor terakhir selama 19 hari kerja (honor per bulan Rp 1,2 juta). Lisa ketika itu menanyakan, kok tidak memperoleh santunan apa-apa atas kematian suaminya. Perusahaan menjanjikan segera diurus. ''Tapi sampai dua tahun berlalu kami tak mendapat apa- apa. Kami merasa disepelekan,'' kata wanita rupawan ini. Keadaan inilah yang mendorong ia melayangkan gugatan melalui pengacara Omri Naibaho. Rupanya pengacara ini cukup jeli mencari celah hukum. Ia tidak mengungkit masalah duit asuransi, tapi menggugat kelalaian seorang kapten kapal. Baginya, kematian Mardongan semata-mata disebabkan oleh kelalaian nakhoda. ''Seorang nakhoda adalah raja di kapal, dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan anak buahnya,'' ujar Omri Naibaho. ''Pada saat-saat kritis seperti itu, semestinya nakhoda segera mengontak stasiun pantai terdekat guna meminta petunjuk medis. Kebiasaan ini seharusnya sudah diketahui seorang kapten, apalagi ia sering berlayar ke luar negeri." Ketentuan itu, katanya, sesuai dengan Konvensi Telekomunikasi Internasional 1992 yang ditetapkan di Nairobi (Indonesia termasuk anggota). Perlengkapan medis juga dipersoalkan Omri. Seandainya di kapal obat-obatan lengkap, dan nakhoda meminta petunjuk dari para ahli medis yang tersedia di stasiun pantai terdekat, ''boleh jadi Mardongan akan selamat.'' Sebab masa inkubasi penyakit tersebut, menurut saksi ahli Dokter Wibisana, antara satu sampai tujuh hari, tergantung kondisi korban. ''Ini berarti tersedia banyak kesempatan untuk menyelamatkan Mardongan,'' kata Omri. Setelah mendapat perto- longan pertama melalui petunjuk medis tadi, korban bisa segera dibawa ke rumah sakit di pelabuhan terdekat. Kuasa hukum tergugat, Daniel Z. Mertadiwangsa, tak bisa menerima gugatan itu. Ia menilai Omri terlalu mendramatisir permasalahan. Daniel kepada TEMPO mengatakan, kliennya telah cukup melakukan upaya pertolongan pertama, bahkan membawa korban ke dokter di Hong Kong. ''Menurut pemeriksaan dokter di Hong Kong, korban masih layak bekerja, dan korban juga telah diberi obat-obatan.'' Bahwa setelah keluar dari Hong Kong korban kembali sakit, sementara nakhoda tak mengupayakan petunjuk medis melalui radio telegrafi, menurut Daniel, pertimbangannya karena keluhan Mardongan sama persis seperti saat ia diperiksa dokter di Hong Kong. Dengan begitu, diharapkan Mardongan akan sembuh dengan sendirinya karena ia juga dibekali obat-obatan. Kalau kemudian ternyata kematian korban akibat bronchopneumonia, yang merupakan penyakit cukup berbahaya, itu di luar pengetahuan kapten. ''Kalaupun diupayakan petunjuk medis melalui radio telegrafi, penyakit itu tak mungkin bisa diketahui oleh ahli medis hanya dengan diagnosa melalui radio,'' Daniel menangkis gugatan itu. Persidangan masih akan mendengar saksi ahli pelayaran. Tentang apakah Gozali melakukan kelalaian atau tidak, kita tunggu saja putusan hakim. ''Putusan ini juga ditunggu banyak pelaut,'' komentar seorang anak buah kapal. Aries Margono dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini