JAKARTA sebentar lagi akan menjadi kota apartemen? Tengok saja puluhan gedung jangkung, baik yang masih digarap maupun sudah menjulang, di berbagai sudut strategis di Jakarta. Ada Sudirman Tower, Palmcourt, Century Centre, Time Square, Beverly Tower, dan banyak lagi yang memakai nama keren lain. Belakangan, unit apartemen yang tadinya hanya disewakan sudah mulai dijual dengan sistem strata title. Apa pula itu? Ya, itulah kepandaian developer untuk mencari pembeli di saat proyek apartemen masih berupa tanah. Sayang, yang tertera di brosur penawaran tak selamanya terbukti manis, seperti dalam kasus Lippo Apartment beberapa waktu lalu. Developernya terpaksa mengembalikan uang pemesanan kepada para calon pembeli gara-gara gagal membebaskan tanah lokasi di Jalan Sudirman. Ini masih untung sebab si developer mau bertanggung jawab. Bagaimana kalau ia hengkang ke luar negeri? Bisa panjang ceritanya. Menurut Profesor Doktor Boedi Harsono, guru besar ilmu hukum agraria Universitas Indonesia, cara pembelian dengan pemesanan di muka (inden) mengandung kelemahan alias bisa merugikan calon pembeli. Sebab, perlindungan hak atas tanahnya belum ada. Ia merujuk ke Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, yang mensyaratkan adanya sertifikat tanah sebelum dilakukan penjualan. Tapi prakteknya, saat lokasi apartemen masih dalam taraf pembebasan tanah, unit apartemen sudah banyak terjual. Cara tersebut sebetulnya masih dibenarkan oleh UU Rumah Susun, karena yang terjadi baru pemesanan, bukan jual-beli. Namun, Boedi mengingatkan, bila sampai terjadi proyek gagal, yang rugi adalah si konsumen sendiri. Soalnya, kalau mereka terpaksa menggugat developer di pengadilan, selain dasar hukumnya kurang kuat, diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Mengingat harga apartemen rata-rata berkisar US$ 1.500 per meter atau Rp 3 juta lebih, jelas uang inden yang 5% dari harga bukan jumlah yang kecil. Namun pihak developer membantah bahwa mereka mau untung sendiri tanpa mengindahkan hukum. ''Pembeli memesan karena percaya kepada developer,'' kata Wiryawan Hadiprojo, manajer proyek Century Centre dan City Tower. Dan lagi, katanya, dengan memesan di muka kemudian mengangsur harganya, itu berarti proyek apartemen dibangun bersama-sama oleh developer dan pembeli. Dengan demikian, harga jual bisa lebih rendah karena tidak dikenai bunga seperti halnya kalau developer meminjam modal ke bank. Lalu Robby Tjahyadi, mitra pengusaha Probosutedjo dalam proyek City Tower, kepada Kompas 8 Juni lalu mengatakan, ''Pembeli diuntungkan karena tidak harus menunggu terlalu lama.'' Menurut dia, jika pembayaran harus menunggu sampai proyek selesai, lazimnya harga akan naik. Menteri Negara Perumahan Rakyat, Akbar Tanjung, menganggap cara yang ditempuh banyak developer saat ini bukan masalah. ''Konsumen apartemen bukan kalangan yang tidak tahu hukum. Mereka justru paling kritis terhadap haknya,'' ujarnya. Tapi, mengapa sampai terjadi seorang guru besar ilmu hukum agraria merasa prihatin? Sering terdengar komentar bahwa hukum kurang bisa mengantisipasi perkembangan bisnis yang ada. Benarkah itu terjadi pula pada bisnis kondominium dan rumah susun? Menurut Boedi, kalau masalahnya adalah bagaimana mengumpulkan modal membangun proyek apartemen secara cepat dan mudah, praktek yang ada masih kurang melindungi konsumen. Boedi mengajukan dua alternatif. Pertama, bisa saja tanah lokasi apartemen, setelah dibebaskan, dijaminkan untuk memperoleh kredit konstruksi dari pembeli. Kredit tersebut kemudian bisa diberi hipotek (bouw hipotheek). Nah, kalau cara inden dilihat sebagai pinjaman modal, pembeli sebagai kreditor bisa mendapatkan hipotek tersebut. Dengan hipotek di tangan, pembeli punya hak utama untuk melelang bila terjadi sengketa. Cara kedua, yang oleh Boedi dianggap lebih aman, adalah melalui developer yang mendapat pinjaman dari bank. Maka, bisa saja apartemen tersebut dibebani hipotek senilai harganya. Kelak, dalam cicilan pembayaran konsumen dimasukkan juga angsuran hipotek tersebut. Cara yang disebut roya partial (penghapusan sebagian) ini menguntungkan pihak developer, pihak konsumen, maupun bank pemberi kredit. Tapi para developer yang perlu memutarkan utangnya secara cepat tampaknya lebih suka menggunakan cara seperti yang berjalan sekarang. Padahal, konsumen seperti membeli kucing dalam karung, laiknya. ''Baru mendapatkan izin pembebasan tanah, dengan modal peta saja, developer berani menawarkan apartemennya. Dan pembeli umumnya merasa cukup dengan melihat penawaran di pameran,'' kata Boedi. Konsultan hukum T. Mulya Lubis melihat semuanya bergantung pada kehati-hatian pembeli. Hal pertama yang harus dipastikan adalah apakah tanah lokasi sudah bersertifikat hak guna bangunan (HGB). ''Kalau sampai terpedaya oleh rayuan agen dan indahnya iklan penawaran, itu risiko si pembeli,'' katanya. Namun, kalau syarat sertifikat tanah sudah dipenuhi, kata Mulya, developer dan calon pembeli bebas memperjanjikan bagaimana cara pengalihan haknya. Nunik Iswardhani dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini