WANITA setengah baya itu menatapnya dengan tajam. Ia menunjuk hidungnya dan, dalam bahasa Polandia, katanya lantang, ''Ya, ini dia orangnya!'' Pemuda yang ditunjuk, Mark Niebuhr, seorang anak muda Jerman yang baru berusia 19 tahun, tercengang. Lalu anak muda itu diseret dari kelompok tahanan Jerman di Polandia, dan dijebloskan ke sebuah sel khusus yang kusam, becek, sempit tanpa jendela. Pemuda itu tak tahu apa salahnya. Selama dua jam Frank Beyer menyajikan pemandangan yang mengerikan dan mencekam melalui film Der Aufenthalt (Titik Balik). Dan sesungguhnya kegelapan, siksaan, dan ketidakpastian terus-menerus terasa dalam film-film Beyer yang diputar di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, mulai pekan lalu hingga akhir pekan ini. Sebelum Jerman bersatu kembali, nama Beyer hanya dikenal di negara-negara Eropa. Tembok Berlin yang kukuh dan gunting badan sensor rajin menebas karya-karya yang kritis terhadap pemerintahnya, sedangkan film-filmnya yang bertema anti-fasis dibiarkan beredar. Ditebas atau tidak, di bawah tekanan dan ancaman komunisme, Frank Beyer terus berkarya. Der Aufenthalt adalah sebuah film anti-fasis, yang mengambil tempat kejadian pada akhir Perang Dunia II ketika Jerman hampir kalah. Perjalanan pemuda Niebuhr dari satu penjara ke penjara lainnya disiksa, diinterogasi, diberi sop dingin sekali sehari tanpa mengetahui kesalahannya, adalah sebuah absurditas. Perlahan-lahan Niebuhr mempelajari keadaan di penjara. Sikap penuh tanya adalah tanda ketidakpatuhan dan sikap diam patut dicurigai. Belakangan Niebuhr tahu bahwa ia dituduh sebagai tentara Nazi yang menyiksa anak dari wanita Polandia yang menudingnya. Celakanya, semakin ia menyangkal tuduhan itu, semakin orang yakin bahwa ia adalah tentara Nazi yang gemar membantai. ''Bicaramu sungguh meyakinkan. Hampir aku percaya bahwa kau bukan bagian dari kita,'' kata Jenderal Eisensteck (Fred Duren), salah satu pentolan Nazi yang memimpin kamp-kamp tawanan Yahudi. Selebihnya, kita menyaksikan hari-hari Niebuhr di penjara, yang diisi dengan pertengkaran sesama tawanan: tingkah laku Jenderal Geick dan anak buahnya yang merasa derajatnya lebih tinggi dari tawanan lainnya (''Karena kami pejuang bangsa!'' demikian kata Jenderal Geick) dan interogasi rutin pihak Polandia. Rasa ngeri yang timbul sepanjang film, terutama karena Beyer mengandalkan kekuatan gambar, dialog yang minim, dan berbagai close-up wajah-wajah yang takut. Dan, agaknya, itulah kekuatan sinematografi Beyer. Di bawah tekanan pemerintahan yang membatasi kreativitasnya, Beyer lebih menyiasati film-filmnya dengan gambar yang kritis, dan bukan kata. Klimaks terjadi ketika para tawanan saling mengaku ''perjuangan'' apa yang pernah mereka lalui sebagai tentara Nazi. Satu orang mengaku bekerja sebagai pemasang gas untuk membunuh tawanan di kamp-kamp, tentara lain mengaku bertugas menangkapi orang Yahudi. Lalu kata Jenderal Geick, dalam setiap peperangan ''memang harus ada korban.'' Niebuhr memandang mereka dengan air muka jijik. Karena Niebuhr tak punya cerita apa-apa, tapi rekan-rekannya sesama tawanan menyangka Niebuhr masih mencoba menyamar. Maka mereka menyiksanya beramai-ramai. Film diakhiri dengan bebasnya Niebuhr. Ternyata, menurut penyelidik Polandia, Niebuhr memang bukan anggota Nazi. ''Tapi jangan harap kami akan meminta maaf,'' kata tentara Polandia itu dengan ketus. Kekejaman seperti ini, bagi Beyer, juga terjadi di luar film. Kekejaman semacam itu bisa menjadi kenyataan sehari-hari di berbagai negara, apakah negara itu penganut fasisme, komunisme, atau mengaku diri sebagai liberal. Tampaknya, karena Der Aufenthalt bernada kritik terhadap fasisme, film ini tidak mengalami kesulitan dalam peredarannya. Lain lagi dengan nasib film Spur der Steine, yang secara lantang mengkritik komunisme. Dalam Spur der Steine, Beyer mengetengahkan tiga tokoh yang seolah-olah menjadi juru bicaranya. Hannes Balla (Manfred Krug), seorang mandor bangunan proyek yang vokal dan dihormati anak-anak buahnya Werner Horrath (Eberhard Esche), sekretaris Partai Komunis yang menjabat sebagai pimpinan proyek dan Katie Klee (Krystyna Stypukowska), arsitek muda cantik yang terlibat hubungan gelap dengan Horrath. Yang menarik dari film ini adalah bagaimana Beyer menjalin kisah cinta segitiga, intrik politik dalam organisasi partai, serta doktrin komunisme yang menekan hak-hak indidvidu. Balla mencintai Klee, namun Klee memilih untuk menjadi kekasih gelap Horrath yang sudah berkeluarga. Ketika Klee hamil, seluruh anggota partai geger dan menginterogasinya agar Klee mengungkapkan siapa ayah sang bayi. Kritik terhadap intervensi negara dalam kehidupan pribadi dan tuntutan demokrasi para buruh adalah tema yang tabu bagi Jerman Timur, apalagi di tahun 1966, ketika film itu siap diedarkan. Maka, selama 23 tahun, karya luar biasa ini mendekam di gudang karena dicap sebagai musuh partai dan negara. Hanya setelah Jerman bersatu, film ini boleh diedarkan dan mengalami sukses di bioskop-bioskop. Film-film Beyer adalah contoh bagaimana karya yang bermutu, meski harus melalui berbagai rintangan, mampu menembus ruang dan waktu dan bisa juga laris. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini