Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Simsalabim Simpanan Permata

Tabungan senilai Rp 245 juta di Bank Permata dibobol lewat transaksi e-banking. Nasabah menuntut ganti rugi Rp 32 miliar.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SECARIK surat tawaran berdamai sampai ke tangan Tjho Winarto pada pertengahan Januari lalu. Dalam surat itu, Bank Permata menawarkan uang pengganti simpanan Winarto yang hilang sebesar Rp 245 juta. "Tawaran baru datang ketika saya hendak membawa kasus ini ke jalur hukum," ucap Winarto, Rabu pekan lalu.

Winarto sempat meladeni tawaran itu. Namun, dalam negosiasi, Bank Permata menurunkan tawaran dari 100 persen, menjadi 75 persen, lalu tinggal 50 persen. Tak ada kata sepakat, Winarto melaporkan dugaan pembobolan rekeningnya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dia pun menggugat Bank Permata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan tuntutan ganti rugi Rp 32,24 miliar.

Winarto menjadi nasabah prioritas Bank Permata setelah berkenalan dengan Zulhendri. Lelaki itu belakangan menjadi manajer penghubung Bank Permata untuk Winarto. Zulhendri rutin melaporkan perkembangan ekonomi nasional, seperti pergerakan rupiah dan saham. Belakangan, dia kerap menanyakan kabar dan agenda sehari-hari Winarto.

Pada 27 Agustus 2014, Zulhendri mengundang Winarto untuk "kumpul-kumpul" bersama nasabah prioritas Bank Permata lainnya. Namun Winarto tak datang karena harus pergi ke Sorong, Papua Barat, pada 28 Agustus-3 September.

Winarto sampai di Sorong pada 28 Agustus, pukul 06.05 WIT. Dia melanjutkan perjalanan ke Saga, di selatan Sorong, pada pukul 08.08 WIT. Sejak masuk Sorong, Winarto mematikan telepon seluler karena buruknya sinyal. Dia baru mengaktifkan telepon pada 29 Agustus sore, setelah mendapat jaringan nirkabel.

Sewaktu mengecek e-mail, Winarto terkejut melihat pemberitahuan enam kali transaksi pengiriman uang lewat layanan Internet banking (e-banking) Bank Permata. Padahal, sepanjang hari itu, ponselnya tak aktif. "Ada yang membobol telepon saya," kata Winarto.

Transfer pertama tercatat pukul 01.17 WIB sebesar Rp 25 juta. Lalu, setiap empat menit, ada transfer sebesar Rp 25 juta sampai total Rp 100 juta. Pagi harinya, sekitar pukul 06.39 WIB, ada transfer lebih besar, Rp 140 juta. Pengiriman terakhir, Rp 5 juta, tercatat pukul 11.15 WIB. Duit dikirim ke rekening di tiga bank, yaitu di Bank Danamon, Bank Tabungan Negara, dan Bank BRI.

Winarto lantas menghubungi Zulhendri untuk memastikan kebenaran transfer itu. Zulhendri menyarankan pemblokiran rekening dan nomor telepon. Dengan telepon satelit, Winarto pun mengontak Bank Permata dan Telkomsel untuk pemblokiran.

Dua hari kemudian, Winarto menyambangi Grapari Telkomsel, Sorong. Di sana, dia mendapat penjelasan bahwa pada 28 Agustus, tepatnya pukul 22.09 WIB, seorang pemuda mendatangi Grapari Gambir, Jakarta Pusat.

Si pemuda meminta petugas Grapari memblokir lalu membuka lagi kartu telepon Winarto dengan alasan kartu itu hilang. Pemuda itu pun membawa surat kuasa bermeterai yang dibubuhi tanda tangan mirip punya Winarto. "Tanda tangan saya dipalsukan," ujar Winarto. Dari fotokopi kartu tanda penduduk yang dilampirkan, si pemuda tercatat beralamat di Ujong Patihah, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Nomor "baru" Winarto tercatat melakukan tiga kali panggilan pada 28-29 Agustus. Dua panggilan ditujukan ke Permata Tel, pukul 23.40 WIB dan 01.17 WIB. Panggilan ketiga, pukul 15.16 WIB, terhubung selama 64 detik ke nomor telepon Zulhendri. "Itu yang mencurigakan," ucap Winarto.

General Manager External Communication Telkomsel Deni Abidin mengatakan pergantian kartu telepon bisa diwakilkan asalkan disertai surat kuasa. Namun, soal tutup-buka kartu Winarto, dia meminta waktu untuk mengecek lagi.

Kepala Subdirektorat Fiskal, Moneter, dan Devisa Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ari Ardian mengatakan telah mengundang Zulhendri sebagai saksi. Kepada polisi, Zulhendri mengaku menerima panggilan telepon dari nomor Winarto. Si penelepon meminta Zulhendri datang ke sebuah restoran dengan alasan telepon Winarto tertinggal. "Tapi itu tak dituruti," ujar Ari.

Zulhendri tak mau berkomentar soal kecurigaan Winarto kepada dirinya. "Satu pintu saja ke corporate affair Permata," katanya Kamis pekan lalu.

Head of Corporate Affair Bank Permata Laila Djaafar mengatakan tak mau berspekulasi tentang peran Zulhendri dalam kasus ini. "Sudah kami cek. Tak ada prosedur yang dilanggar," ucap Laila, seraya menegaskan akan meladeni gugatan Winarto. Menduga terjadi kejahatan di dunia maya, di luar jalur perdata, Bank Permata pun telah melaporkan kasus ini ke polisi.

Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus