Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berburu waktu, tujuh komisioner Komisi Yudisial yang terpaut jarak seribu kilometer lebih memutuskan pembentukan tim panel lewat diskusi di grup percakapan BlackBerry pada 11 Maret lalu. Hari itu komisioner ada yang di Bali, ada juga yang di Jakarta. Begitu terbentuk, tim panel langsung tancap gas mengumpulkan keterangan saksi dan bukti dugaan pelanggaran kode etik oleh seorang hakim agung. "Kami memang berpacu dengan waktu," kata Ketua Komisi Yudisial Bidang Hubungan Antarlembaga Imam Anshori Saleh di kantornya, Selasa pekan lalu.
Tim panel itu beranggotakan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Hakim Ibrahim, serta Imam Anshori. Menurut Imam, tim panel bergegas karena ingin memperjelas dugaan pelanggaran etik itu sebelum sang hakim agung dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi. "Pemeriksaan etik hakim harus lebih dulu dari pengusutan pidana," ujar Imam.
Komisi Yudisial menerima laporan dugaan pelanggaran etik itu awal Maret lalu. Pelapor menyebutkan dengan rinci tindakan sang hakim agung yang diduga melanggar kode etik itu. Namun, dengan pertimbangan etis, Imam tak bersedia menyebutkan identitas hakim agung yang menjadi target pemeriksaan tim panel.
Toh, Imam menyitir pasal Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang mungkin dipakai untuk menimbang perilaku sang hakim agung. Pasal 5 ayat 3 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, menurut Imam, menyebutkan bahwa hakim dilarang berkomunikasi dengan pihak beperkara di luar persidangan. "Tak hanya dengan tersangka atau terdakwa, hakim juga tak boleh bertemu dengan orang yang berpotensi menjadi tersangka," kata Imam.
Beberapa penyelidik etik di Komisi Yudisial menyebutkan sang hakim agung adalah Ketua Muda Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Timur Manurung. Pada 13 Januari lalu, Timur diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka kasus suap alih fungsi hutan di Kabupaten Bogor, Kwee Tjahjadi Kumala alias Swie Teng.
Menurut seorang penyelidik etik, Timur berkali-kali bertemu dengan Swie Teng sebelum pengusaha itu ditahan KPK. Pertemuan Timur dengan Swie Teng berlangsung di Restoran Nippon Kan, Hotel Sultan, dan restoran Iseya Robatayaki, Sampoerna Strategic Square, Jakarta. Pertemuan terjadi ketika anak buah Swie Teng, Direktur PT Bukit Jonggol Asri Yohan Yap, sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Kala itu, Swie Teng masih berstatus saksi.
Pertemuan pertama berlangsung di Restoran Nippon Kan sekitar awal 2014. Waktu itu Timur ditemani rekannya, seorang mantan jaksa, yang juga hendak berbisnis jual-beli tanah dengan Swie Teng. Pertemuan tertutup di Ruang Tatami itu dihadiri anggota Biro Direksi PT Sentul City, Robin Zulkarnaen, yang juga pernah diperiksa sebagai saksi kasus Yohan Yap.
Timur bertemu lagi dengan Swie Teng di tempat yang sama pada pertengahan 2014. Kali ini makan malam dihadiri Swie Teng, sang mantan jaksa, dan seorang pengacara senior. Dalam pertemuan itu, menurut penyelidik etik, Timur membicarakan hal khusus dengan Swie Teng dan pengacaranya. "Mereka membicarakan berkas dakwaan Yohan Yap," ujar seorang penyelidik.
Swie Teng juga meminta nasihat Timur soal kemungkinan dia menjadi tersangka gara-gara kesaksian dalam persidangan Yohan Yap. Pensiunan jenderal bintang dua itu menyarankan Swie Teng menunggu hasil persidangan.
Swie Teng menyerahkan catatan persidangan Yohan Yap pada pertemuan ketiga dengan Timur. Kali ini Swie Teng menyoroti sikap majelis hakim yang mencecar seorang saksi soal dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus suap kepada Bupati Bogor Rachmat Yasin. "Swie meminta hakim Tipikor Bandung tidak galak-galak mencecar saksi," kata penyelidik etik lainnya. Swie Teng juga berusaha memastikan agar namanya tak masuk dalam tuntutan dan putusan perkara Yohan Yap.
Beberapa hari menjelang putusan Yohan Yap, pada 11 September 2014, Timur dan Swie Teng kembali bertemu untuk keempat kalinya di Iseya Robatayaki. Mereka diduga masih membicarakan hal yang sama. Ketika Yohan Yap divonis satu setengah tahun penjara pada 24 September 2014, majelis hakim tak memasukkan Swie Teng dalam putusan.
Belakangan, ketika menggeledah rumah Swie Teng, penyidik KPK menemukan draf putusan Yohan Yap yang belum diteken hakim dan dicap pengadilan. Adapun Swie Teng akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 30 September 2014.
Di persidangan, jaksa mendakwa Swie Teng merintangi penyidikan kasus suap alih fungsi lahan. Dia juga didakwa memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk menyembunyikan bukti serta bersaksi palsu di hadapan penyidik KPK. Selain itu, Swie Teng didakwa merancang rekayasa pembelian lahan dengan memerintahkan Jo Shien Ni meneken perjanjian jual-beli tanah fiktif antara PT Brilliant Perdana Sakti dan PT Multihouse Indonesia. Transaksi itu dipakai untuk menyamarkan suap Rp 4 miliar kepada Bupati Rachmat Yasin.
Timur Manurung mengakui pernah bertemu dengan Swie Teng di sebuah restoran Jepang. "Itu sudah sangat lama," ucap Timur. Pertemuan itu, menurut dia, hanya makan malam dengan beberapa teman lama. Timur pun mengaku mengenal Swie Teng sejak dia masih aktif di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. "Memangnya orang dilarang untuk berkawan?" kata Timur ketika ditemui di Jakarta Convention Centre, pekan lalu.
Timur juga mengakui pernah bertemu dengan Nur Hakim, mantan Kepala Pengadilan Negeri Bandung yang juga anggota majelis perkara Yohan Yap. Namun, menurut Timur, pertemuan di kantor Badan Pengawasan Mahkamah Agung pada pertengahan 2014 tak membahas kasus Yohan Yap. "Bukan membahas perkara, dia datang berterima kasih karena dipromosikan ke Pengadilan Negeri Surabaya," ujar Timur.
Adapun kuasa hukum Swie Teng, Rudy Alfonso, mengatakan kliennya hanya pernah sekali bertemu dengan Timur di Iseya Robatayaki. Acara makan malam itu dia anggap biasa karena Timur dan Swie Teng berasal dari jemaat gereja yang sama. Karena itu, menurut Rudy, pertemuan tersebut tak relevan untuk dikait-kaitkan dengan kasus hukum yang melilit kliennya.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan telah mendengar penjelasan dari Timur soal pertemuan makan malam tersebut. Mahkamah Agung, menurut Hatta, tak mempersoalkan pertemuan itu sepanjang terjadi sebelum Swie Teng menjadi tersangka dan terdakwa.
Di samping menyelidiki pertemuan Timur Manurung dengan Swie Teng, tim panel Komisi Yudisial mempelajari berbagai kejanggalan dalam persidangan Yohan Yap. Antara lain, fakta bahwa Nur Hakim tetap menjadi majelis hakim kasus Yohan meski dia sudah dimutasi ke Pengadilan Negeri Surabaya. Nur Hakim juga pernah diperiksa KPK sebagai saksi untuk tersangka Swie Teng pada 14 Januari 2015.
Komisi Yudisial pun akan menelusuri bocornya draf putusan perkara Yohan Yap. Penelusuran akan dilakukan setelah tim panel merampungkan pemeriksaan para saksi "makan malam" sang hakim agung. "Putusan bocor itu pelanggaran etik dan pidana," kata Imam Anshori Saleh.
Nur Hakim, yang kini menjadi Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, mengakui bahwa dia berkeras memimpin sidang Yohan Yap dan Rachmat Yasin karena besarnya kedua perkara tersebut. Selain itu, ketika memimpin sidang, ia mengaku belum menerima surat resmi mutasi ke Surabaya. "Sebagai kepala pengadilan, saya punya kebijakan memegang kasus itu," kata Nur Hakim saat ditemui di kantor barunya, pekan lalu.
Ihwal tidak masuknya nama Swie Teng dalam putusan Yohan Yap, menurut Nur Hakim, itu lantaran tak ada saksi yang memberi keterangan soal keterlibatan bos Sentul City tersebut. "Saya sampai bentak-bentak, tapi tak ada yang menyebut Swie Teng," ujar Nur Hakim seraya menyangkal mendapat intervensi dari siapa pun. Sang hakim pun mengaku tak tahu-menahu soal bocornya draf putusan Yohan Yap.
Fransisco Rosarians, Agita Sukma Listyanti (Surabaya), Iqbal Tawakal (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo