Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kasus Pelecehan Seksual Lewat Manipulasi Foto AI, Dosen Hukum UGM: Polisi Harus Pakai UU TPKS

Penggunaan UU TPKS akan memberikan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual melalaui manipulasi foto AI.

8 Januari 2025 | 19.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi pelecehan seksual pada anak perempuan. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan kepolisian perlu menyertakan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak 12 tahun lewat manipulasi foto dengan artificial intelligence (AI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tetap harus disandingkan dengan UU TPKS,” kata Sri saat dihubungi, Selasa, 7 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dosen hukum pidana itu menuturkan urgensi dari pengadaan undang-undang yang disahkan pada 2022 silam. Menurut dia, proses acara dan perlindungan korban akan jauh lebih memadai jika menggunakan UU TPKS.  

Ia juga memastikan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur melalui manipulasi AI itu dapat tergolong sebagai kekerasan seksual yang juga termaktub dalam Pasal 5 jo Pasal 15 Ayat 1 (Poin I). 

Adapun aturan itu menyatakan kekerasan seksual nonfisik dapat dilakukan menggunakan media elektronik. “Bentuknya adalah manipulasi foto sehingga bermuatan seksual dan memberi dampak psikis kepada korban,” ujar perempuan yang disapa Iyik itu.

Iyik mengatakan tidak ada permasalahan seputar penanganan kasus itu sepanjang pihak yang melayaninya terlatih dan memahami isu kekerasan seksual. Ia berpesan agar penanganan kasus tersebut juga menyertakan antara unit siber serta unit Perlindungan Perempuan dan Anak atau PPA kepolisian. 

Sebelumnya, seorang anak perempuan berusia 12 tahun diduga menjadi korban pelecehan seksual usai rekan kerja ibunya memanipulasi fotonya menjadi tanpa busana. Pelaku menggunakan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk membuat foto anak itu menjadi perempuan berusia 17 tahun yang hanya mengenakan pakaian dalam.  

Ketika sang ibu berniat untuk melapor soal dugaan pelecehan ini ke kepolisian, polisi menolak laporannya. Alasannya, tidak ada tindak pidana pelecehan seksual dalam peristiwa itu karena pelaku tidak pernah menyentuh korban. Mereka pun mengarahkan sang ibu untuk melapor menggunakan pasal UU ITE. 

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi membenarkan soal laporan itu. Nurma menyatakan laporan tersebut tak bisa diproses oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) karena memang tidak ada kontak fisik antara korban dan pelaku.

"Kemarin, kami sudah berkoordinasi bahwa dia tidak disentuh dan tak ada kontak fisik. Hanya mukanya yang dipakai untuk dijadikan konten," ucap Nurma pada Rabu, 6 November 2024.

Nurma mengatakan ibu korban sudah diarahkan ke Unit Kriminal Khusus (Krimsus). Menurut dia, kasus ini lebih tepat untuk ditangani oleh unit tersebut karena ada unsur penyebaran konten asusila secara digital. "Dia memaksakan untuk diproses di Unit PPA," ujar Nurma.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tindakan pelaku termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). “Tentu saya punya catatan keprihatinan kalau itu tidak dipahami sebagai sebuah tindakan kekerasan,” kata Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Jumat, 8 November 2024. 

Ai menjelaskan, pelanggaran yang dilakukan pelaku tak hanya soal penyalahgunaan media elektronik. Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah mengenal KSBE sebagai salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual. Sementara jika menggunakan UU ITE untuk menjerat pelaku, yang dipidanakan hanya transaksi atau peristiwa penyebaran foto itu saja. Padahal, sudah ada unsur kekerasan dalam kasus ini. “Tidak bisa parsial dalam menentukan jenis pelanggaran yang terjadi,” tutur Ai.

Akan tetapi, kuasa hukum RMD atau ibu korban, Izza D. Reza mengatakan kebingungan itu telah teratasi ketika mereka mengajukan laporan kepada Polda Metro Jaya dan berdiskusi langsung dengan divisi siber. Ia mengatakan hasil diskusi itu membuahkan hasil berupa penetapan pasal yang dapat digunakan.

Izza menuturkan terduga dalam kasus ini akan dijerat dengan Pasal 27 Ayat (1) dan atau Pasal 48 Jo Pasal 32 dan atau Pasal 51 Ayat (1) Jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE. 

Ervana Trikarinaputi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus