Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Denpasar - Sahabat Pengadilan memohon majelis hakim mengakomodasi persoalan dampak perubahan iklim ketika menyidangkan gugatan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Buleleng, Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan tersebut disampaikan 9 lembaga lingkungan hidup Indonesia dan internasional yang mengajukan pendapat hukum ‘Sahabat Pengadilan (Amicus Cuired)’ kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar pada Selasa, 26 Juni 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Proyek tersebut tidak memenuhi Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Nomor 32 tahun 2009 dan merongrong komitmen Indonesia dalam konferensi perubahan iklim,” kata Margaretha Quina, dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Selain ICEL, lembaga hukum lingkungan lain yang memasukan Amicus Curiae adalah Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI), Earthjustice, Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW), Client Earth, Center forEnvironmental Rights, EDOs of Australia, Environmental Justice Australia dan The Access Initiative.
Dalam pendapat hukum setebal 18 halaman, mereka menjelaskan bahwa perluasan PLTU Celukan Bawang tidak menyertakan analisis komprehensif terhadap dampak perubahan iklim. Termasuk dalam pengambilan keputusan diterbitkannya izin lingkungan.
Padahal, izin lingkungan seharusnya didasarkan pada keputusan kelayakan lingkungan hidup dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang mencakup dampak perubahan iklim.
“Kami meyakini bahwa kewajiban hukum dan ketentuan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berikut turunannya memberikan cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk menyatakan batal izin lingkungan PLTU Batubara yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim,” ujar Margaretha.
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Pemerintah sudah menyampaikan komitmennya melalui Nationally Determined Contribution (NDC) kepada sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Di dalam NDC, Pemerintah Indonesia berjanji untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen terhadap skenario baseline bisnis seperti biasa pada tahun 2030, dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Margaretha Quina menjelaskan perluasan PLTU Batubara di Buleleng akan membakar hampir 3 juta ton batubara per tahun. Selama 30 tahun beroperasi, pembangkit ini akan melepaskan lebih dari 200 juta ton CO2.
Dengan memperhitungkan pelepasan emisi dari proyek energi Indonesia 35 GW, dimana 60% di antaranya dari batubara, maka sangat mungkin proyek ini akan menghambat pencapaian NDC sebesar 29% pada 2030.
Margaretha Quina menyebut, pernyataan itu diharapkan akan dapat memberikan wawasan kepada Majelis Hakim yang bersidang untuk melihat persoalan dari kepentingan menahan dampak perubahan iklim. Terutama saat menilai pendapat para ahli yang akan dihadirkan oleh kedua belah pihak dalam persidangan ini.
Sarah Burt dari Earthjustice mengatakan, upaya penyelamatan lingkungan global yang dilakukan komunitas internasional telah berhasil membuat preseden hukum yang baik.
Pada tahun 2017, pengadilan di Afrika Selatan yang menangani kasus perluasan PLTU telah memutuskan bahwa penilaian dampak lingkungan harus memasukan penilaian dampak perubahan iklim yang komprehensif.
“Analisis dampak perubahan iklim adalah instrumen penting untuk menstabilkan iklim untuk melindungi terumbu karang, perikanan dan masyarakat pesisir di Bali dan seluruh dunia,” jelasnya.
Simak juga: Perubahan Iklim Picu Kepunahan Spesies Bumi
Gugatan izin PLTU yang dikeluarkan melalui Keputusan Gubernur Bali No.660.3 / 3985 / IV-A / DISPMPT diajukan oleh warga di lokasi, yakni di Desa Celukan Bawang, Buleleng serta Greenpeace Indonesia.
Saat ini, sidang sudah memasuki pendapat ahli. Pihak lain yang ikut dalam persidangn adalah dari pihak PLTU Celukan Bawang.
Terhadap adanya Amicus Curiae yang mengaitkan isu perubahan iklim itu, Humas PN Denpasar Katherina Yunita menyatakan, pihaknya akan meneruskan kepada Majelis Hakim yang menangani perkara ini. "Apakah ini akan berguna atau tidak tentu penilaiannya tergantung Majelis," ujarnya.