Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta masyarakat tak perlu khawatir dengan isu bahan bakar minyak atau BBM oplosan dari Pertalite dioplos menjadi Pertamax usai kasus korupsi Pertamina terungkap. Sebab, kasus korupsi tata niaga minyak Pertamina terjadi pada beberapa tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Terkait dengan isu oplosan, blending, dan lain sebagainya, jadi penegasan, penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar kepada awak media di Jakarta Selatan pada Rabu, 26 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artinya, kejadian tersebut sudah terjadi lebih dari dua tahun yang lalu. Dia pun meminta masyarakat tak khawatir. "Masyarakat harus tenang karena yang kami lakukan penyidikan adalah perkara dugaan korupsi importasi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS)," ujar Harli. "Jangan seolah-olah peristiwa itu terjadi juga sekarang."
Dia menjelaskan, minyak adalah barang habis pakai sehingga stoknya selalu berputar. "Jadi apa yang disampaikan oleh pihak Pertamina—karena pernyataannya sekarang kan—sekarang enggak ada masalah, speknya sudah sesuai," tutur Harli.
Sebelumnya, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi ini. Mereka dari pihak penyelenggara negara dan broker.
Empat di antaranya Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, Vice President Feedstock Management PT KPI Agus Purwono, dan Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Tiga lainnya dari pihak broker, yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Adrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati dan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Kejagung menemukan ada pemufakatan jahat antara penyelenggara negara dan para broker tersebut. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan, berdasarkan penyidikan kejaksaan, tiga Direktur Sub Holding PT Pertamina sengaja mengkondisikan melalui rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya.
“Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor," ujarnya di Gedung Kejagung, Senin, 24 Februari 2025.
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, Sub Holding PT Pertamina ini sengaja menolak hasil produksi minyak mentah KKKS dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis. Faktanya, harga yang ditawarkan masih masuk range HPS.
Menurut Abdul Qohar, Pertamina juga berdalih spesifikasi minyak mentah yang ditawarkan KKKS tidak sesuai kilang. Padahal, sudah sesuai dan dapat diolah.
Bukan hanya Sub Holding PT Pertamina saja yang bermain, tapi juga pihak KKKS. Penolakan Pertamina atas tawaran KKKS menjadi dasar persetujuan ekspor broker. Sebab, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 mengatur KKKS harus lebih dulu menawarkan produksi minyak mentah mereka ke PT Pertamina.
Ketika Pertamina menolak, mereka baru bisa ekspor. Beleid itu mengharuskan PT Pertamina mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum memutuskan impor.
Akhirnya, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mengimpor minyak mentah. Sementara itu, PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang. “Dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” ujar Abdul Qohar.
Penyidik kejaksaan juga menemukan adanya pemufakatan jahat dari impor yang dilakukan keduanya. Ini melibatkan Sani, Riva, Agus, dan Yoki dari Sub Holding Pertamina, serta para broker Muhammad Keery Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadan Joede.
Dalam pengadaan impor tersebut, Riva melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli Ron 92 (Pertamax). Padahal kenyataannya yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite) yang kualitasnya lebih rendah. Kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi Ron 92. Abdul Qohar menegaskan, Pertamax oplosan itu jelas tidak diperbolehkan.
Sementara tersangka Yoki dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina International Shippingsengaja di mark up sebesar 13 persen sampai 15 persen. Hal itu menguntungkan pihak broker, yakni Kerry. "Nah, dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit," ujar Abdul Qohar.
Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Japto Bungkam soal Hubungannya dengan Rita Widyasari