TIDAK hanya anak orang kaya yang menjadi sasaran penculikan. Vivi Iriyanti, 7 tahun, anak Sajum Supriyatna, yang hanya sopir angkutan kota di Cirebon, Minggu dua pekan lalu menjadi korban penculikan. Setelah dibawa bertualang ke Jakarta dan dipaksa mengemis, ternyata anak itu tidak laku dijual seharga Rp 10 juta. Sebab itu, si penculik Selasa pekan lalu mengembalikan anak itu ke orangtuanya. Pada 3 hari April lalu, dua anak Sajum, Vivi dan adiknya, Fitriyanto, 5 tahun, hanya ditunggui adik iparnya, Ina, di rumahnya di Kranggraksan, Cirebon. Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mengaku bernama Agus Jalil, meminta kedua anak itu menemaninya ke kondangan. Ina tak keberatan, kendati lelaki itu belum dikenalnya benar. Dua hari sebelumnya lelaki asing itu memang pernah ke rumah itu, dan berlagak menawarkan pekerjaan kepada Sajum. Ternyata, sampai magrib kedua bocah itu belum kembali. Ketika orangtuanya kebingungan, sekitar pukul 21.00 Fitriyanto muncul diantar tetangganya - setelah ditemukan sekitar 500 meter dari rumah Sajum. "Vivi diajak jalan-jalan Om Agus," kata Fitriyanto. Sajum segera melapor ke polisi. Paranormal di Cirebon, Tasikmalaya, dan Kuningan juga dikontaknya. Sementara itu, di rumahnya setiap malam tetangga dan kerabat membacakan surat Yasin agar Vivi kembali dengan selamat. Toh setelah lewat tujuh hari, anak itu tak kunjung muncul. Tiba-tiba pada hari kesembilan Vivi muncul diantar petani, Pak Rosita. Bocah itu, kata Rosita, dibawa Agus ke kebunnya, di pinggiran Kota Grebon. Tapi Agus, yang mengaku ketika itu sakit perut, kabur, setelah meminjam uang Rosita Rp 2.000,00 untuk berobat, dan meninggalkan Vivi. Atas petunjuk Vivi, Rosita bisa membawa anak itu kembali ke rumahnya. Menurut Vivi - jika ceritanya bisa dipercaya - setelah adiknya, Yanto, dipulangkan dengan becak dua pekan lalu, ia dibawa Om Agus ke Jakarta. DiJakarta, katanya, anting-antingnya - seberat satu gram - dijual Agus. Malamnya ia disuruh ke warung-warung minta sedekah dan tidur di gubuk kardus. Cerita Vivi, beberapa kali ia dipukuli, karena merengek minta makan atau ingin pulang. "Saya pernah ditempeleng. Mulut saya disumbat. Kaki diikat, digantung dipohon, kepalanya di bawah," kata Vivi. Bahkan suatu kali ia ditawarkan kepada seorang Cina dengan harga Rp 10 juta. Tapi Cina itu tak mau, kendati harga sudah turun hingga Rp 1 juta. Benar atau tidak ceritanya, dari sekian banyak korban penculikan semacam itu, ia termasuk beruntung bisa kembali ke orangtuanya. Padahal, dalam penyidikan polisi, lelaki bernama Agus Jalil itu - kini buron --adalah residivis. "Dua malam berturut-turut ini Vivi ngigau. Ia berteriak-teriak dan terbangun sambil menangis. Tapi setelah melihat saya dan ibunya, ia kembali tenang," kata Sajum pekan lalu. Sementara itu, di Jakarta, 14 Maret lalu, keluarga Asmad Soengkono, Inspektur Pembantu Bidang Keuangan Kejaksaan Agung, geger karena anak bungsunya, Probo, 6 tahun, sampai sore tidak pulang ke rumah dari sekolahnya di SD Inpres 07, Tebet. Padahal, biasanya anak cerdas kelas I SD yang hobi main bola itu sudah berada di rumah. Hari itu juga Asmad menerima surat dari penculik yang minta tebusan Rp 15 juta dan perintah untuk tak lapor ke polisi. Mendengar ancaman itu, "istri dan anak-anak saya terus-menerus menangis," kata Asmad, ayah 12 anak itu. Si penculik minta tebusan disampaikan keesokan harinya, sekitar pukul 19.00 di Pasar Raya Sarinah Jaya, Manggarai. Supaya mudah dikenali, kurir harus pakai baju merah, celana putih dan mengapit koran di tangan kirinya. Perintah dituruti, tapi penculik tak menampakkan diri. Batal. Seminggu setelah itu, kontak dengan penculik hilang. Pada 22 Maret muncul lagi surat dari penculik. Kali ini tebusan dinaikkan menjadi Rp 20 juta, karena Asmad telah lapor ke polisi. Uang tebusan itu, katanya, harap diserahkan esok harinya di terminal bis Grogol, sekitar pukul 16.00, lewat kurir bernama Herman Kusmono - bekas kawan Asmad sejak SD. Penculik, katanya, mempercayai Herman berkat kebaikan hati orang tua itu, yang konon mengembalikan dompetnya berisi Rp 270 ribu setelah dompet itu jatuh di bus. Keluarga Asmad percaya betul terhadap surat itu. Sebab, Herman dikenal Asmad berhati bersih dan baru beberapa hari sebelumnya menginap di rumahnya. Bekas guru itu kini memang menganggur, Polisi dan Kejaksaan Agung - dari wira sekuriti yang dilapori - langsung menyusun strategi. Ada 60 orang intel berpakaian preman diterjunkan meringkus penculik itu. Tapi lagi-lagi penculik tak nongol. Petualangan penculik berakhir pada 5 April, setelah seseorang yang mengaku bernama Kanta menelepon keluarga Asmad. Istri Asmad menyuruhnya menghubungi nomor telepon suaminya di Kejaksaan Agung. Padahal, itu telepon petugas sekuriti Kejaksaan Agung yang berpura-pura sebagai Asmad. Kanta minta tebusan Rp 10 juta, dan uang itu diminta agar diberikan ke istri Herman di Penggilingan, Jakarta Utara. Istri Herman ternyata menolak ketika uang itu - sebenarnya hanya guntingan kertas - diserahkan kepadanya. Ia ketakutan dan tak tahu-menahu. Siangnya, kembali Kanta mengontak, yang katanya dari daerah Malaka, Klender. Petugas Kejagung yang menerima telepon menduga, Kanta menelepon di telepon umum, karena ada suara kendaraan lewat. Sebab itu, Kanta diminta mengontak lagi pukul 16.00. Benar saja, pada waktu yang dijanjikan, Kanta mengontak dari telepon umum di Malaka, Klender. Padahal, semua telepon umum di daerah itu sudah diawasi. Kanta tertangkap basah. Ternyata, ia adalah Sandi Prahara, 16 tahun, anak Herman sendiri. Hari itu juga Herman, 58 tahun, ditangkap di rumahnya di Klender bersama Budi, 14 tahun, anaknya, yang membujuk Probo dari sekolahnya. Probo tertarik ikut Budi karena diajak main bola. Asmad tak menyangka, penculikan ini diotaki Herman, temannya sendiri, yang memang lagi kesulitan keuangan. "Seperti guyon, tapi menyakitkan," kata Asmad. Laporan Agung Firmansyah (Jakarta) & Jenny Ratna Suminar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini