Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Program m.b.a. dengan kurikulum ... program m.b.a. dengan kurikulim ...

Ui dan ugm membuka program magister manajemen yang setaraf m.b.a. setingkat s2. lulusan m.b.a. swasta boleh ujian persamaan di ui dan ugm. ippm merasa tak tersaingi karena biayanya lebih murah.

23 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA universitas negeri membuka program Magister Manajemen (M.M.) dalam tahun ini. Program yang setaraf dengan M.B.. (Master of Business Administration) ini dibuka di Universitas Indonesia, Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Peminatnya cukup banyak, karena inilah pendidikan M.B.A. yang ijazahnya diakui pemerintah. Baru dua hari iklan program M.M. UI dimuat media massa, sudah 170 orang yang mengambil formulir pendaftaran. Jumlah itu sampai pekan lalu sudah bertambah dua kali lebih. Sementara itu, di UGM sekitar 400 orang yang sudah mendaftarkan diri. Padahal, UGM hanya menerima 90 orang (tiga jurusan) dan UI menerima 70 orang (dua jurusan). "Saya optimistis dengan program," kata Dr. Wahjudi Prakarsa, Direktur Program M.M. UI. Menurut Wahyudi, tidak ada persaingan dengan pihak swasta yang selama ini mempoduksi M.B.A., misalnya, Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) dan Institut Manajemen Prasetiya Mulya. Justru membantu lulusan M.B.A. swasta yang ijazahnya tidak diakui pemerintah itu. Sementara itu, Menteri P dan K Prof. Fuad Hassan pekan lalu mengatakan program M.M. UI dan M.M. UGM tidak bersaing. Kedua universitas negeri inl sekadar menjalankan tugas pemerintah untuk n1embuka program M.B.A. yang setingkat S2 itu. "Karena Fakultas Ekonomi di Ul dan UGM , sudah mantap betul," kata Fuad. Bahwa kemudian keduanya menempuh cara sendiri-sendiri, M.M. UI bekerja sama dengan School of Business Administrarion University of California, Berkeley, sementara UGM sepenuhnya mandiri, bagi Fuad, 'itu boleh-boleh saja." Menurut Fuad, program setingkat itu sudah mendesak dilaksanakan universitas negeri. Karena menjamurnya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program M.B.A. dari kalangan swasta membuat situasi bermacam-macam. "Begitu banyak macam M.B.A. Yang benar yang mana? tanya Fuad. Dan jawabannya, untuk inilah dibuka program M.B.A. di UT dan UGM yang kurikulumnya betul." Permintaan membuka program M.M. ini disampaikan lewat surat Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo tertanggal 17 Maret lalu. Disebutkan di situ, agar UI dan UGM sudah siap memulai program Magister Manajemen dalam tahun ini juga. Alasannya, program itu untuk peningkatan tenaga pengajar di bidang manajemen dan memenuhi keperluan masyarakat akan tenaga yang berkeahlian. Di situ juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara, "Berhak menyelenggarakan ujian akhir persamaan bagi para pemegang ijazah pendidikan (M.B.A.) swasta yang sejenis, bila pemegang ijazah tersebut menghendaki pengakuan dari pemerintah." Tapi program MM ini sebenarnya termasuk non-gelar. Statusnya setingkat dengan Spesialis (Sp)1 atau Sp2 atau program profesi. Kurikulumnya pun 80% bersifat praktis. Karena itu, pada lambang program M.M. tertulis: jalur profesi Pasca-Sarjana. Toh para lulusannya nanti, kalau mau mencantumkan gelar M.M., itu tidak dipermasalahkan. "Sekadar untuk menunjukkan keahlian di bidang manajemen," kata Wahjudi. Lagi pula, "Karena masyarakat masih membutuhkan gelar." Gelar resmi untuk program pendidikan di bidang ini sebenarnya Master Ekonomi (M.E.). Namun, kalau arahnya melahirkan M.E., kurikulum pendidikan hampir seratus persen bersifat teoretis. "Pendek kata, M.M. disiapkan untuk melahirkan direktur sedangkan M.E. melahirkan tenaga pengajar yang bisa juga jadi direktur," kata Wahyudi. Ketua program M.M. UGM, Drs. Gunawan Adisaputra, M.B.A., menyebutkan derajat akademis M.M. setara dengan Master of Management atau Master of Bsiness Administration (M.B.A.) di AS dan Eropa Barat. Hanya program M.M. ini lebih diarahkan pada pendidikan tenaga profesional bidang manajemen untuk dunia bisnis. "Program ini dirancang khusus menyiapkan lulusan yang jeli memanfaatkan dan menciptakan kesempatan bisnis," katanya. "Mereka akan memiliki keunggulan komparatif. Tapi, ini memang program tanpa tesis," kata Pembantu Dekan FE UGM itu. Untuk tahun ajaran pertama, September mendatang, M.M. UI membuka konsentrasi (jurusan) Manajemen Internasional dan Akuntansi Manajemen. Setiap jurusan pesertanya 35 orang. Kerja sama dengan Umversity of California itu adalah untuk bantuan dosen, riset, dan juga dana yang tidak mengikat. Soalnya, program ini, "Sekolah negeri pertama yang swakelola," kata Wahyudi. "Tak ada dana dan pemerintah." Kuliah diselenggarakan di bekas Kampus UI Jalan Salemba 4, Jakarta. Biaya per orang/tahun Rp 12 juta. M.M. UI merencanakan juga membuka kelas malam, jika mendapatkan peserta 35 orang. Tapi kelompok kuliah malam menyelesaikan program dalam dua tahun, per tahun dipungut Rp 7,5 juta. Pesertanya para lulusan SI yang disaring lewat tes. Sedangkan M.M. UGM, yang dimulai Juli nanti, membuka konsentrasi Agribisnis, Investasi, dan Perbankan. "Ini dimaksudkan agar program M.M. UGM memperoleh manfaat khusus, berupa kemampuan adaptasi yang besar untuk menduduki berbagai jabatan di perusahaan," kata Gunawan Adisaputra. Setiap jurusan menerima paling banyak 30 orang. Yang menarik, peserta M.M. UGM membayar lebih murah, Rp 10 juta per tahun. UGM mendapatkan dana dari pinjaman bank yang akan dikembalikan berikut bunganya. Tak ada bantuan dana yang gratis. Karena itulah, "Bagi UGM risiko program M.M. ini cukup besar," kata Gunawan. Tapi pengelolanya optimistis, karena tenaga pengajarnya semua dari UGM. Apa reaksi pengelola program M.B.A. swasta? "Kami tak takut kehilangan peminat," kata Anugerah Pekerti, Direktur IPPM. Setiap tahun IPPM hanya menerima 60 peserta sementara yang mendaftar sampai 1.500 orang. Biaya program M.B.A. di sini masih lebih murah dibandingkan UI atau UGM, yakni sekitar Rp 9 juta per tahun. Yang diharapkan Anugerah lulusan M.B.A. swasta diberi kebebasan untuk ikut atau tidak ujian negara (persamaan), karena tak semua butuh pengakuan. "Janganlah ujian negara dijadikan keharusan, meskipun lulusan dari swasta itu risikonya tidak diakui oleh pemerintah," katanya. Hal serupa dikatakan oleh Leo Utama, Direktur Utama Institut Manajemen Prasetiya Mulya, "Apakah memang pengakuan dari pemerintah itu diperlukan?" Jika dikatakan program M.M. pemerintah lebih bermutu, "standar-mutunya belum tentu bisa diterima oleh swasta," kata Leo. "Pokoknya, kita tenang saja." Agus Basri, Ahmadie Thaha, Budiono Darsono, Sri Indrayati (Jakarta), dan Slamet Subagyo (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus