Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soeharto di Kejaksaan Agung (Foto: RULLY KESUMA) |
Dengan lahirnya komisi pemberantasan korupsi, otomatis kejaksaan tak bisa lagi menangani tindak pidana khusus. Itu berarti jaksa hanya boleh mengurusi tindak pidana umum hasil penyidikan polisi atau menjadi pengacara negara bila digugat masyarakat. Masih ada satu lagi wewenang yang tetap di tangan jaksa, yakni penyidikan delik keamanan negara, yang lebih bersifat politik.
Adalah Menteri Kehakiman Muladi yang mengumandangkan rencana pembentukan komisi pengusut, penyidik, dan penuntut korupsi. Rupanya, sewaktu membahas rancangan undang-undang pengganti rambu antikorupsi tahun 1971, Senin lalu di DPR, Muladi sependapat dengan usul Fraksi Persatuan Pembangunan tentang komisi tersebut.
Komisi itu kelak terdiri atas unsur pemerintah, baik jaksa, polisi, maupun anggota Tentara Nasional Indonesia, serta unsur masyarakat, termasuk pakar dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka, kata juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan, Zain Badjeber, dipilih dan bertanggung jawab kepada DPR. Komisi serupa, menurut Muladi, dipraktekkan di negara lain, misalnya Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.
Tak dapat dimungkiri, gagasan perlunya sebuah komisi independen terpacu oleh tuntutan masyarakat yang semakin keras agar pembasmian korupsi segera ditindaklanjuti. Masyarakat meragukan pihak kejaksaan karena prestasinya dalam pengusutan korupsi sangatlah mengecewakan-kalau tidak mau dikatakan sangat buruk. Dalam penyidikan atas berbagai kasus, baik kasus Soeharto dan kroninya, kasus bankir yang mengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia, Bulog-Goro, Freeport, Pertamina di Balongan, maupun surat utang di Bank Pacific, rekor kejaksaan sangat jauh dari harapan masyarakat.
Dengan komisi independen itu, nanti, juga bisa dihilangkan dualisme "rebutan lahan" antara jaksa dan polisi. Ini menurut perkiraan Muladi. Soalnya, selama ini, kedua instansi penegak hukum itu sama-sama mengklaim berwenang menyidik korupsi. Konflik itu mencuat, umpamanya, dalam pengusutan bankir dan kasus tiga direktur Bank Indonesia.
Nah, komisi pemberantasan korupsi baru akan dibentuk dua tahun setelah undang-undang antikorupsi lahir, tapi kalangan kejaksaan sejak sekarang sudah tegas-tegas menentang rencana itu. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ramelan, berdalih, bila kinerja kejaksaan dianggap jelek, seharusnya lembaga dan personelnya yang diperbaiki-bukannya "membubarkan" institusi itu dan mendirikan lembaga baru.
Tanggapan mantan jaksa agung Soedjono C. Atmonegoro lebih keras. "Kalau mau menangkapi tikus-tikus, jangan lumbungnya yang dibakar," ujarnya. Tikus yang dimaksud adalah jaksa-jaksa yang diduga suka memeras, sedangkan lumbungnya tak lain, ya, kejaksaan. Seperti Ramelan, Soedjono tetap mempertahankan wewenang kejaksaan untuk menyidik korupsi.
Bagi Antonius Sujata, pejabat yang digantikan Ramelan, pembentukan komisi pemberantasan korupsi hanya sekadar upaya pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu utama pemberantasan korupsi, terutama kasus Soeharto. Padahal, pemerintah sesungguhnya tak mempunyai kemauan politik untuk menuntaskan kasus tersebut. Buktinya, "Pengusutan kasus Soeharto dan Beddu Amang (Bulog) sudah diselesaikan kejaksaan, tapi pemerintah tak pernah mendukungnya," ujar Sujata.
Seharusnya, kata Sujata, justru kemandirian kejaksaan yang dijamin, sehingga instansi itu tak sekadar menjadi subordinat pemerintah dan bisa bertanggung jawab kepada DPR. Bukannya malah main gampang dengan membentuk lembaga baru yang bersifat darurat, sebagaimana lahirnya Komisi Pemeriksa Harta Pejabat Negara, Komisi Pemilihan Umum, ataupun Badan Penyehatan Perbankan Nasional. "Kalau di masa mendatang masyarakat tak suka, bisa dibubarkan lagi lembaga itu," kata Soedjono.
Kerasnya tantangan itu boleh jadi karena kejaksaan tengah mengalami masa kritis, yang mencapai klimaks pada pemberhentian sementara Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Tapi, yang lebih penting, kini masyarakat menanti aksi nyata pemberantasan korupsi. Sebab, penyakit kronis itulah yang melu-luhlantakkan fundamen ekonomi Indonesia.
Happy Sulistyadi, Eddy Budiyarso, dan Rubi Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo