Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kejaksaan, Korupsi dan Komisi

Tugas kejaksaan untuk mengusut korupsi akan dialihkan kepada sebuah komisi. Rencana itu ditentang kejaksaan dan dianggap sebagai upaya mengalihkan kasus Soeharto.

24 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soeharto di Kejaksaan Agung (Foto: RULLY KESUMA)
KALAU diibaratkan sebagai debitur, posisi kejaksaan kini berada di tubir jurang kebangkrutan. Pokoknya, tinggal selangkah lagi, ya, kejeblos. Nasib buruk ini akan menimpa lembaga "penegak hukum" itu kalau saja peran kejaksaan selaku penyidik korupsi diambil alih oleh komisi pemberantasan korupsi. Padahal, wewenang mengusut korupsi itulah yang membuat pamor kejaksaan begitu tinggi-selain acap digunjingkan "berlahan basah". Tilik saja, dari kasus mantan presiden Soeharto serta kroninya, para bankir, bupati penilap uang negara, sampai lurah pelipat tanah desa, semuanya diperiksa kejaksaan.

Dengan lahirnya komisi pemberantasan korupsi, otomatis kejaksaan tak bisa lagi menangani tindak pidana khusus. Itu berarti jaksa hanya boleh mengurusi tindak pidana umum hasil penyidikan polisi atau menjadi pengacara negara bila digugat masyarakat. Masih ada satu lagi wewenang yang tetap di tangan jaksa, yakni penyidikan delik keamanan negara, yang lebih bersifat politik.

Adalah Menteri Kehakiman Muladi yang mengumandangkan rencana pembentukan komisi pengusut, penyidik, dan penuntut korupsi. Rupanya, sewaktu membahas rancangan undang-undang pengganti rambu antikorupsi tahun 1971, Senin lalu di DPR, Muladi sependapat dengan usul Fraksi Persatuan Pembangunan tentang komisi tersebut.

Komisi itu kelak terdiri atas unsur pemerintah, baik jaksa, polisi, maupun anggota Tentara Nasional Indonesia, serta unsur masyarakat, termasuk pakar dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka, kata juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan, Zain Badjeber, dipilih dan bertanggung jawab kepada DPR. Komisi serupa, menurut Muladi, dipraktekkan di negara lain, misalnya Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.

Tak dapat dimungkiri, gagasan perlunya sebuah komisi independen terpacu oleh tuntutan masyarakat yang semakin keras agar pembasmian korupsi segera ditindaklanjuti. Masyarakat meragukan pihak kejaksaan karena prestasinya dalam pengusutan korupsi sangatlah mengecewakan-kalau tidak mau dikatakan sangat buruk. Dalam penyidikan atas berbagai kasus, baik kasus Soeharto dan kroninya, kasus bankir yang mengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia, Bulog-Goro, Freeport, Pertamina di Balongan, maupun surat utang di Bank Pacific, rekor kejaksaan sangat jauh dari harapan masyarakat.

Dengan komisi independen itu, nanti, juga bisa dihilangkan dualisme "rebutan lahan" antara jaksa dan polisi. Ini menurut perkiraan Muladi. Soalnya, selama ini, kedua instansi penegak hukum itu sama-sama mengklaim berwenang menyidik korupsi. Konflik itu mencuat, umpamanya, dalam pengusutan bankir dan kasus tiga direktur Bank Indonesia.

Nah, komisi pemberantasan korupsi baru akan dibentuk dua tahun setelah undang-undang antikorupsi lahir, tapi kalangan kejaksaan sejak sekarang sudah tegas-tegas menentang rencana itu. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Ramelan, berdalih, bila kinerja kejaksaan dianggap jelek, seharusnya lembaga dan personelnya yang diperbaiki-bukannya "membubarkan" institusi itu dan mendirikan lembaga baru.

Tanggapan mantan jaksa agung Soedjono C. Atmonegoro lebih keras. "Kalau mau menangkapi tikus-tikus, jangan lumbungnya yang dibakar," ujarnya. Tikus yang dimaksud adalah jaksa-jaksa yang diduga suka memeras, sedangkan lumbungnya tak lain, ya, kejaksaan. Seperti Ramelan, Soedjono tetap mempertahankan wewenang kejaksaan untuk menyidik korupsi.

Bagi Antonius Sujata, pejabat yang digantikan Ramelan, pembentukan komisi pemberantasan korupsi hanya sekadar upaya pemerintah untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu utama pemberantasan korupsi, terutama kasus Soeharto. Padahal, pemerintah sesungguhnya tak mempunyai kemauan politik untuk menuntaskan kasus tersebut. Buktinya, "Pengusutan kasus Soeharto dan Beddu Amang (Bulog) sudah diselesaikan kejaksaan, tapi pemerintah tak pernah mendukungnya," ujar Sujata.

Seharusnya, kata Sujata, justru kemandirian kejaksaan yang dijamin, sehingga instansi itu tak sekadar menjadi subordinat pemerintah dan bisa bertanggung jawab kepada DPR. Bukannya malah main gampang dengan membentuk lembaga baru yang bersifat darurat, sebagaimana lahirnya Komisi Pemeriksa Harta Pejabat Negara, Komisi Pemilihan Umum, ataupun Badan Penyehatan Perbankan Nasional. "Kalau di masa mendatang masyarakat tak suka, bisa dibubarkan lagi lembaga itu," kata Soedjono.

Kerasnya tantangan itu boleh jadi karena kejaksaan tengah mengalami masa kritis, yang mencapai klimaks pada pemberhentian sementara Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Tapi, yang lebih penting, kini masyarakat menanti aksi nyata pemberantasan korupsi. Sebab, penyakit kronis itulah yang melu-luhlantakkan fundamen ekonomi Indonesia.

Happy Sulistyadi, Eddy Budiyarso, dan Rubi Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus