Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kekerasan Berulang di Daycare Depok

Kekerasan terhadap anak balita di daycare kembali terjadi di Depok, Jawa Barat. Lemahnya pengawasan dan regulasi jadi masalah.

8 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kapolres Metro Depok Kombes Arya Perdana menginterogasi pengasuh daycare di Depok yang menyiram air panas ke anak asuhnya, di Mapolres Metro Depok, 4 Desember 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua kekerasan terhadap anak balita terjadi di tempat penitipan anak atau daycare di Depok, Jawa Barat, dalam waktu kurang dari enam bulan.

  • Berbagai pihak menilai pengawasan dan regulasi yang lemah menjadi penyebab tingginya angka kekerasan terhadap anak balita.

  • Orang tua pun harus lebih berhati-hati dalam memilih daycare yang profesional dan tak tergiur biaya murah.

KEKERASAN terhadap anak berusia di bawah lima tahun (balita) kembali terjadi di sebuah tempat penitipan anak (TPA) atau daycare di Kota Depok, Jawa Barat. Seorang anak menjadi korban kekerasan oleh pengasuhnya. Empat bulan lalu, dua anak berusia 2 tahun dan 9 bulan mengalami penganiayaan di TPA Wensen School Indonesia. Meita Irianty, terdakwa dalam kasus ini, rencananya menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Depok pada Rabu, 11 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum usai kasus Wensen School, kini kejadian serupa terjadi di TPA Kiddy Space cabang Pengasinan, Depok. Penganiayaan itu terjadi pada Senin pagi, 2 Desember 2024. Seftyana, seorang pengasuh di Kiddy Space, menyiramkan air panas ke tubuh anak asuhnya yang berusia 1 tahun 3 bulan. Perempuan 31 tahun itu kesal lantaran anak asuhnya tersebut tak berhenti menangis setelah terbangun dari tidurnya karena buang air besar. “Karena si anak terus menangis, tersangka marah, kemudian langsung mengambil dan menyiramkan air panas sebanyak dua gayung ke tubuh korban bagian belakang," kata Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Arya Perdana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat perbuatan Seftyana itu, kulit bagian punggung si anak mengelupas sampai ke leher. Rekan Seftyana sesama pengasuh di Kiddy Space kemudian menghubungi orang tua korban. Dia juga membawa anak tersebut ke rumah sakit. Orang tua korban pun langsung melaporkan kejadian itu ke Polres Depok, yang kemudian menetapkan Seftyana sebagai tersangka. “Tersangka dijerat Pasal 80 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara,” kata Arya.

Kabid PAUD Dinas Pendidikan Depok Suhyana (kanan) didampingi penilik mendatangi daycare Kiddy Space cabang Pengasinan di Bumi Sawangan Indah, Pengasinan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, 5 Desember 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah

Kepala Bidang Pendidikan Usia Dini Dinas Pendidikan Depok Suhyana menyebutkan kasus di Wensen School dan Kiddy Space memiliki kesamaan. Dia mengatakan kedua daycare itu tak mengantongi izin atau ilegal. Dia pun mengakui mengalami kecolongan atas kejadian ini. Menurut Suhyana, sejak terjadinya kasus di Wensen School, pihaknya berupaya menertibkan TPA ilegal dengan mendorong mereka mengajukan izin. "Kami mengevaluasi daycare di Depok bersama organisasi mitra dan melakukan pendekatan ke pengurus RT," ujar Suhyana, Sabtu, 7 Desember 2024.  

Saat ini, menurut Suhyana, terdapat 15 tempat penitipan anak yang memiliki izin dari Pemerintah Kota Depok, sedangkan 48 lainnya sedang dalam proses. Kiddy Space, menurut dia, tak termasuk dalam dua kategori itu. “Banyak daycare yang tidak berizin, itu tak dimungkiri," kata Suhyana. 

Menurut Suhyana, proses mengurus izin tempat penitipan anak sebenarnya tidak sulit. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 84 Tahun 2014 Pasal 1 Nomor 7, TPA masuk kategori satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur nonformal. Pasal 5 aturan itu menyatakan pendirian TPA harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis.

Persyaratan administratif terdiri atas fotokopi identitas pendiri, surat keterangan domisili dari lurah atau kepala desa, dan susunan pengurus serta rincian tugasnya. Sedangkan persyaratan teknis meliputi hasil penilaian kelayakan dan rencana capaian standar penyelenggaraan TPA paling lama lima tahun.  

Suhyana menyatakan, jika pemilik telah memenuhi persyaratan administrasi, pihaknya akan melakukan observasi lapangan untuk menilai kelayakan. Jika TPA tersebut dinilai layak, menurut dia, mereka akan langsung memberikan rekomendasi. Sebaliknya, jika TPA itu belum memenuhi syarat, akan diarahkan untuk melengkapi persyaratan yang belum terpenuhi. 

Rekomendasi tersebut merupakan syarat untuk mengajukan izin operasional ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Depok. Setelahnya, akan ada penilik yang rutin melakukan monitoring dan evaluasi daycare yang telah mengantongi izin atau sedang mengurus izin. "Bisa saya pastikan daycare yang bermasalah itu tidak punya izin karena kan dia enggak mendapat pembinaan dari kami. Mau ngebina juga, kami enggak tahu ini apa sih gitu," kata Suhyana.

Saat ini, Suhyana mengatakan Disdik Kota Depok memiliki 12 penilik yang mengawasi TPA di 11 kecamatan. Dia menyatakan pihaknya luput mengawasi TPA ilegal karena terkadang tidak ada plang tanda di lokasi. Meski demikian, beberapa TPA yang tidak berizin tetap memasang plang, seperti halnya dalam kasus Kiddy Space. 

Tempat terjadinya perkara penganiayaan anak di Wensen School Indonesia, Harjamukti, Depok, Jawa Barat, 2 Agustus 2024. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini mengatakan pihaknya mencatat terdapat 1.003 anak berusia 1-5 tahun yang menjadi korban kekerasan pada semester pertama tahun ini. Dari jumlah itu, Diyah menyatakan kekerasan yang terjadi di TPA cukup banyak. "KPAI mencatat kasus kekerasan fisik terhadap anak balita paling banyak terjadi, salah satunya di daycare," ujar Diyah tanpa merinci berapa jumlah kekerasan di TPA.

Tingginya angka kekerasan terhadap anak di TPA, menurut Diyah, tak lain karena kurangnya kompetensi pengasuh atau pendamping. Dia menyatakan pengasuh atau pendamping di banyak TPA tak memahami metode pengasuhan yang tepat. Diyah pun menilai berbagai kasus yang bermunculan juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah kota atau kabupaten.

Untuk kasus di Depok, Diyah menyatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah setempat setelah munculnya tragedi di Wensen School. Saat itu, menurut dia, KPAI melakukan koordinasi perihal 98 TPA di Depok yang tidak berizin. September 2024, Diyah menyatakan pihaknya juga sudah melaporkan sejumlah TPA tidak berizin kepada Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. KPAI pernah meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat regulasi untuk TPA di seluruh Indonesia. 

Meita Irianty, tersangka kasus penganiayaan anak di daycare di Depok, saat digiring anggota Unit PPA Reskrim di Mapolres Metro Depok, Jawa Barat, 1 Agustus 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menambahkan, mencuatnya kasus kekerasan terhadap anak balita di TPA menunjukkan lemahnya regulasi yang ada. Menurut dia, aturan pengawasan TPA saat ini tidak sekuat aturan di lembaga pendidikan formal di tingkat yang lebih tinggi. Hal itulah yang membuat tempat yang seharusnya aman bagi anak justru menjadi lokasi yang rentan terjadinya kekerasan. "Di sekolah, ada satgas (satuan tugas), tim pencegahan kekerasan, partisipasi orang tua, serta komite sekolah, di mana mereka berserikat dan berkomunikasi di situ. Kalau di daycare, enggak ada," ujar Ubaid saat dihubungi secara terpisah. 

Ubaid pun menilai kekerasan yang berulang di suatu daerah menunjukkan kegagalan pengawasan di daerah tersebut. Menurut dia, selain mengawasi TPA yang berizin, pemerintah daerah sepatutnya melakukan intervensi terhadap TPA yang tidak berizin. Sebab, tutur Ubaid, di daerah perkotaan yang umumnya kedua orang tua bekerja, keberadaan TPA saat ini menjadi kebutuhan masyarakat. "Yang harus dikuatkan pengawasan dan pembinaan. Jangan hanya menyalahkan," katanya.

Ia pun mendorong pemerintah menutup TPA yang tidak berizin. Sebab, menurut Ubaid, TPA ilegal seperti itu kerap menawarkan harga yang lebih murah ketimbang TPA yang sudah mengantongi izin. Dia khawatir banyak orang tua yang terbuai oleh biaya murah tersebut tanpa memperhatikan faktor operasionalnya yang tidak sesuai dengan standar. Ubaid pun menilai pemerintah perlu membuat aturan soal kualifikasi bagi pengasuh atau pendamping TPA. 

Garis polisi terpasang di tempat terjadinya perkara penganiayaan anak di Wensen School Indonesia, Harjamukti, Kota Depok, Jawa Barat, 2 Agustus 2024. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi pun sepakat bahwa pemerintah harus membuat aturan soal kualifikasi pengasuh atau pendamping TPA. Menurut dia, mengurus anak balita bukanlah perkara mudah. Anak-anak di usia tersebut, menurut dia, memiliki kuantitas gerak yang banyak dan emosi yang belum stabil. Karena itu, diperlukan pendamping yang betul-betul tahu cara menghadapi mereka. "Tidak semua orang bisa mengatasi. Kalau perlu, ada tes psikologi," ujar Seto.

Selain itu, pria yang akrab disapa Kak Seto tersebut menekankan pentingnya pengawasan setiap saat oleh orang tua. Dia menilai setiap TPA perlu memiliki kamera keamanan alias CCTV yang terhubung secara daring agar orang tua bisa ikut mengawasi kondisi anak-anaknya melalui gawai dari tempat kerja. 

Seto pun setuju pemerintah setempat bertindak tegas terhadap TPA yang tak memiliki izin. Dia menilai pengawasan terhadap TPA tak berizin tersebut harus melibatkan semua pihak, dari pemerintah, RT/RW setempat, hingga orang tua. "Karena daycare dibutuhkan, khususnya di perkotaan. Kalau memang enggak ada izin, mohon segera ditutup," ujar Seto.

Kak Seto pun mewanti-wanti agar orang tua lebih waspada dalam memilih TPA. Untuk memastikan keselamatan dan keamanan si anak, menurut dia, orang tua sebaiknya memeriksa lebih dulu profil pendiri serta pendamping. Selain itu, orang tua harus melihat apakah TPA tersebut memiliki fasilitas yang layak dan memadai bagi anak. 

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar sepakat bahwa kurangnya kompetensi para pengasuh menjadi salah satu penyebab sering terjadinya kekerasan di TPA. Hal itu, menurut dia, karena minimnya pelatihan yang diberikan oleh pemilik TPA kepada para pengasuh.

Selain itu, menurut dia, rasio antara pengasuh dan anak yang tidak seimbang menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan. Situasi menjadi lebih buruk ketika pemerintah setempat dan manajemen daycare kurang melakukan pengawasan. Sama seperti Kak Seto, Nahar meminta orang tua perlu lebih berhati-hati dalam memilih daycare untuk anaknya. "Termasuk kurangnya kesadaran orang tua untuk mengecek lebih dulu dan penegakan hukum dari instansi yang memberi izin," ujarnya saat dihubungi secara terpisah. 

Ricky Juliansyah berkontribusi dalam tulisan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2021 dan bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus