Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akar Kekerasan Seksual di Kampus

Aturan khusus untuk mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi belum sepenuhnya berfungsi. Ada faktor relasi kuasa.

29 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Rektorat Universitas Pancasila di Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta, 26 Februari 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kejahatan seksual di lingkungan kampus belum sepenuhnya bisa dihapuskan meski pemerintah telah menerapkan aturan khusus.

  • Relasi kuasa yang timpang membuat korban takut untuk melaporkan perbuatan pelaku.

  • Isu kekerasan seksual di perguruan tinggi kembali mencuat setelah Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno dilaporkan oleh dua karyawannya.

JAKARTA – Kejahatan seksual di lingkungan kampus belum sepenuhnya bisa dihapuskan meski pemerintah telah menerapkan aturan khusus untuk mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi. Paling tidak, pada 2021, Inspektorat Jenderal Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) menerima 24 laporan untuk ditangani. Pada 2022, jumlah laporan masih sama, yaitu 24 kasus. Sedangkan pada tahun lalu jumlah laporan hanya 17 kasus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun ini, isu tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi kembali mencuat setelah Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno dilaporkan oleh dua karyawan perempuannya. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya telah memanggil Edie untuk diperiksa pada 26 Februari lalu. Namun Edie tidak memenuhi panggilan dengan alasan tengah mengikuti kegiatan kampus. “Kami telah menjadwal ulang pemeriksaan pada 29 Februari 2024,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi, kemarin.

Adapun juru bicara Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri, mengatakan Edie tidak memiliki jadwal kegiatan di kampus pada 26 Februari lalu. Bahkan, pada hari itu, Edie tidak terlihat berada di kampus. “Mungkin ada kegiatan di luar,” kata Putri. Sedangkan pengacara Edie, Raden Nanda Setiawan, belum memberi konfirmasi. Dia tidak menjawab pesan singkat dan telepon dari Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah sering terjadi. Masalah ini muncul karena di lembaga pendidikan memiliki banyak akar persoalan. “Mulai dari kelemahan regulasi kampus hingga lemahnya edukasi dan sosialisasi,” ujarnya.

Pada umumnya, kata Doni, kekerasan seksual di kampus timbul karena relasi kuasa. Biasanya terjadi antara dosen dan mahasiswa, antarkaryawan yang kedudukannya lebih tinggi, maupun sesama mahasiswa junior dengan seniornya.

Doni menuturkan, ketimpangan relasi kuasa yang dialami membuat perempuan jadi korban. Untuk penanganannya, dia mengingatkan bahwa sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno. Dok. TEMPO/Seto Wardhana

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini sependapat dengan Doni. Menurut dia, hubungan relasi kuasa yang timpang membuat pelaku merasa bisa berbuat sesuka hati. Faktor ini juga yang sering kali membuat korban tidak berani melaporkan perbuatan pelaku. Sehingga pelaku kerap lolos dari jerat hukum. “Biasanya itu yang paling sulit. Dalam banyak kasus yang diterima Komnas Perempuan, ini impunitas tinggi,” kata Theresia.

Theresia juga menyatakan, selain karena faktor trauma, korban biasanya enggan melapor karena ketidakpastian hukum. “Walaupun kita sudah punya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang progresif, tapi dia masih menghadapi tantangan, terutama dalam konteks cara pikir si aparat penegak hukum,” kata Theresia.

Pada praktiknya, kata Theresia, aparat penegak hukum agak kaku dalam menghadapi kasus dugaan pelecehan seksual. Terlebih pada peristiwa pelecehan yang tidak sampai merusak fisik, misalnya meraba. “Sejak UU TPKS diundangkan, pelecehan (meraba) itu sedikit sekali. Yang masuk biasanya kasus pelecehan yang fisik seperti pemerkosaan,” ucapnya.

Dalam kasus di Universitas Pancasila, kata Theresia, semestinya kepolisian dapat mempertimbangkan juga durasi pelaporan dari peristiwa yang terjadi. Pelaku kerap berkilah tindakannya itu dilakukan tidak sengaja. Padahal, dengan adanya pelaporan, itu menunjukkan korban sudah memperhitungkan bahwa perbuatan pelaku bukanlah ketidaksengajaan, melainkan sebuah modus pelecehan seksual.

“Kalau korban sampai melapor, itu artinya ada sesuatu yang berulang. Kemungkinan itu bisa saja terjadi,” kata Theresia. “Dia (pelaku) berulang kali (melakukan aksinya) dan korban merasa tidak nyaman.”

Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatahillah Akbar, menilai Undang-Undang TPKS sebenarnya telah mempermudah tugas polisi dalam mengusut perkara pelecehan seksual. Pasal 24 undang-undang tersebut menyatakan kasus ini bisa dibawa ke pengadilan dengan hanya keterangan dari saksi korban. Untuk meyakini bahwa korban jujur soal adanya pelecehan seksual tersebut, kata Akbar, polisi bisa meminta bantuan saksi ahli. “Seperti ahli psikolog atau psikiater yang menunjukkan ada trauma dan kebenaran cerita korban tadi,” kata dia.

Doni Koesoema mengatakan, dalam kasus kekerasan seksual di kampus sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kasus di Universitas Pancasila, menurut dia, juga harus ditangani oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sesuai dengan amanat peraturan menteri tersebut. Penanganan kasus dilakukan secara berjenjang menurut regulasi yang ditetapkan.

Namun, kata Doni, dibutuhkan orang-orang berintegritas di dalam Satgas PPKS agar tidak terpengaruh oleh rektor sekalipun. “Kalau satgasnya tidak berintegritas, malah menutup-nutupi,” tuturnya.

Hasil investigasi Satgas PPKS, menurut dia, pun mesti dilaporkan kepada Kemdikbudristek. Apabila penanganan di tingkat Satgas PPKS juga bermasalah, pihak Kementerian juga bisa menurunkan tim langsung untuk menyelidiki.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdikbudristek, Nizam, menuturkan bahwa kasus dugaan kekerasan seksual oleh Rektor Universitas Pancasila turut ditangani oleh inspektorat jenderal dengan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah 3 DKI Jakarta. Penanganan kasus Edie Toet Hendratno juga merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Apabila terbukti melakukan dugaan kekerasan seksual, ada tiga sanksi administratif yang bisa diberikan kepada pelaku. Sanksi yang tersedia berupa sanksi ringan, sedang, dan berat. Untuk saat ini, kata Nizam, Kemdikbudristek sedang menunggu hasil penelusuran dari Satgas PPKS. “Kita juga harus mengedepankan perlindungan terhadap korban atau pelapor," katanya.

Penanganan kasus ini turut diperhatikan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Inspektur Jenderal Kemdikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan Inspektorat sudah menerima laporan bahwa Edie Toet dinonaktifkan dari jabatan rektor. Dia meminta agar proses hukum terhadap Edie dipantau. “Maka kita tunggu proses hukumnya,” ujar Chatarina.

Edie Toet dilaporkan ke polisi oleh dua karyawan Universitas Pancasila berinisial RZ dan D. “D itu karyawan honorer, sementara RZ dulunya di bagian humas Universitas Pancasila," ujar Amanda Manthovani, pengacara korban.

Berdasarkan keterangan kedua korban, kata Amanda, kekerasan seksual terhadap RZ terjadi pada Februari 2023, sementara terhadap D terjadi pada kisaran Desember 2023-Januari 2024. RZ melapor ke Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024, sementara D melapor ke Badan Reserse Kriminal Polri pada akhir Januari 2024.

RZ, kata Amanda, baru melaporkan kasus ini karena takut. Selain karena pelaku adalah pemimpin kampus tempatnya bekerja, RZ merasa pernah mendapat intimidasi. Bahkan RZ sempat dimutasi oleh Edie setelah kejadian itu. "Rektor itu bilang, 'Saya tidak mau kalau ada RZ di mana pun ada kegiatan Universitas Pancasila. Saya tidak mau ada dia,'” kata Amanda menirukan pernyataan kliennya.

RZ, menurut Amanda, akhirnya mau melaporkan kasus ini atas desakan dari keluarga dan suami karena selalu penuh rasa ketakutan dan trauma. Bahkan RZ tak sepenuhnya siap saat melaporkan kasus ini ke polisi.

Trauma itu, kata Amanda, tak lepas dari relasi kuasa yang terbentuk antara kliennya dan pelaku. Pelaku yang memiliki posisi lebih tinggi membuat kliennya tak mudah untuk melapor. “Itu sangat berat lho bawahan itu punya kekuatan memberontak untuk melapor. Luar biasa kalau korban ini mau melapor," kata Amanda.

Pengacara Edie, Raden Nanda Setiawan, membantah jika kliennya disebut terlibat pelecehan seksual. Dia justru menilai laporan kedua korban tersebut janggal karena dilakukan menjelang pemilihan Rektor Universitas Pancasila pada Maret mendatang. "Terlebih lagi isu pelecehan seksual yang terjadi satu tahun lalu. Terlalu janggal jika baru dilaporkan pada saat ini dalam proses pemilihan rektor baru," ucapnya.

Aksi memperingati Hari Perempuan Internasional, salah satunya terkait dengan kekerasan seksual, di kampus di Bandung, Jawa Barat, 2022. TEMPO/Prima Mulia

Buntut dari kasus dugaan pelecehan seksual ini, mahasiswa Universitas Pancasila menggelar aksi di depan kampus pada 27 Februari 2024. Mereka membentangkan poster dengan berbagai kalimat tuntutan penolakan terhadap segala bentuk pelecehan seksual serta meminta agar Edie Toet dicopot dari jabatannya.

Aksi berlanjut hingga massa tumpah ke jalan, lalu memblokade Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Mahasiswa membakar kardus dan kayu di depan gedung rektorat serta membakar ban di pinggir jalan sebagai wujud protes kepada rektor.

Setelah kasus ini mencuat ke permukaan, Yayasan Pembina dan Pendidikan Universitas Pancasila (YPPUP) menonaktifkan Edie Toet Hendratno karena dilaporkan atas dugaan kekerasan seksual. Penonaktifan Edie berdasarkan hasil rapat pleno pada 26 Februari 2024. “Kami menyampaikan bahwa seluruh anggota YPPUP merasa sangat prihatin dan segera melakukan koordinasi sejak Jumat malam, 23 Februari 2024," kata Sekretaris YPPUP Yoga Satrio dalam keterangan tertulis.

Ketua YPPUP Siswono Yudo Husodo telah menunjuk Sri Widyastuti sebagai pelaksana tugas rektor hingga dilantiknya rektor baru. Siswono menjelaskan, sejak setahun yang lalu, yayasan telah mempersiapkan pergantian rektor sesuai dengan statuta yang telah disahkan, di mana pada prinsipnya rektor dapat dipilih melalui dua cara, yaitu penunjukan oleh yayasan atau melalui proses pemilihan. Adapun saat ini yayasan telah memutuskan untuk menggelar pemilihan rektor secara terbuka untuk mendapatkan figur yang kredibel.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | M. FAIZ ZAKI | MOH. KHORY ALFARIZI | YUNI ROHMAWATI | RICKY JULIANSYAH | ANTARA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus