Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karir Inspektur Jenderal Lis-tyo Sigit Prabowo melesat cepat. Pada 2014, ia menjadi ajudan Presiden Joko Widodo dengan pangkat komisaris besar. Lima tahun kemudian, dia menjadi lulusan Akademi Kepolisian 1991 pertama yang pundaknya bakal disemati tiga bintang dengan menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal.
Kepada Tempo pada Jumat, 13 Desember lalu, di kantornya, Sigit bercerita tentang kedekatannya dengan Jokowi dan prioritasnya memimpin Bareskrim.
Anda dekat dengan Presiden Jokowi sejak dia menjabat Wali Kota Solo?
Saya berdinas tak terlalu lama di Solo, hanya setahun. Kami bersinergi di musyawarah pimpinan daerah. Kalau ada masalah, kami turun. Saya menjadi kapolres di periode beliau yang kedua. Setelah itu, masih ada dua kapolres bersama Pak Jokowi.
Hanya Anda yang dekat dengan Jokowi?
Itu mesti tanya ke Pak Jokowi. Saya cuma melaksanakan tugas.
Apa peristiwa khusus yang membuat Anda dekat dengan beliau?
Ada bom bunuh diri di Gereja Kepunton. Peristiwa itu bersamaan dengan beliau mem-branding Kota Solo sebagai tujuan wisata. Ini membuat turis takut. Kami bersepakat, Solo tak boleh dipersepsikan sebagai kota mencekam. Saya bilang ke Pak Jokowi, kalau mau bikin acara internasional, saya amankan. Intinya, apa pun yang beliau kerjakan saya dukung.
Setelah Jokowi terpilih sebagai presiden, Anda diminta menjadi ajudan?
Waktu itu bersamaan dengan saya mau ke Sespimti (Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri). Saya ucapkan selamat dan minta doa restu. Beliau lalu menawari saya menjadi ajudan. Waktu itu sudah ada yang terpilih. Saya kemudian mengikuti tes bersama tiga teman polisi. Saya dipanggil dan terpilih.
Saat menjadi Kepala Kepolisian Daerah Banten, Anda sempat ditolak oleh ulama karena nonmuslim....
Mungkin karena mereka belum mengenal saya. Makin mereka mengenal saya, persepsi negatif akan berkurang. Saya mendatangi tokoh ulama. Saya bilang, “Saya datang melaksanakan tugas keamanan. Saya siap menjadi pelayan Bapak-bapak.” Ketika mereka ada masalah, kami cepat merespons.
Anda menjadi Kepala Polda Banten bersamaan dengan naiknya kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)....
Mungkin saya dicoba. Beliau (Jokowi) ingin menunjukkan Indonesia itu majemuk dan Pancasila.
Anda ikut meredam ulama sewaktu kasus Ahok mencuat?
Waktu itu kan banyak demo. Saya ajak mereka, kalau mau menyampaikan pendapat, cukup di Banten. Saat massa dari daerah lain bergerak (ke Jakarta), di Banten kan kebanyakan istigasah.
Sebelum demo 4 November 2016, Anda membawa ulama Banten bertemu dengan Jokowi?
Pernah juga. Mereka itu kan kadang enggak paham sosok Presiden. Ada hambatan karena ada komunikasi yang tidak baik.
Sejak kapan Anda dekat dengan kelompok ulama?
Sewaktu menjadi Kapolres Pati, saya dekat dengan Kiai Sahal (Sahal Mahfudz, Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Sewaktu bertugas di Solo, saya ke Ngruki. Solo kan daerah yang agak keras. Banyak laskar di sana. Setelah saya berbicara dengan mereka, persoalan agama tidak menjadi masalah lagi. Ketika Abu Bakar Ba’asyir tidak jadi dibebaskan, sempat ada gejolak di sana. Saya berkomunikasi dengan mereka untuk menenangkan.
Apa target sebagai Kepala Bareskrim?
Ada beberapa pekerjaan rumah. Selama di Divisi Profesi dan Pengamanan, saya mendapat banyak pengaduan, terutama soal petugas reserse. Ini menjadi bahan evaluasi, bagaimana reserse bisa memberikan pelayanan yang sama. Penyidik bisa lebih humanis, tidak membeda-bedakan, memberikan kepastian hukum dan keadilan.
Banyak reserse nakal, ya?
Hal-hal kayak begitu kan enggak boleh. Banyak program pemerintah yang harus kami kawal.
Kasus Novel Baswedan bagaimana?
Sekarang tim teknis kan sudah bekerja. Begitu dilantik, saya akan mengkonsolidasikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo