Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Meraih Gelar Doktor

Koesno Sastromihardjo, meraih gelar doktor, dengan disertasi berjudul "keefektifan pengajaran fisika dengan metode modul, PPSI dan metode konvensional". (pdk)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ditanya bidang studi mana yang paling penting di SMA, jawabnya bisa banyak. Tapi Koesno Sastromihardjo jelas dari semula memasalahkan pelajaran fisika di SMA. Dia kemudlan menjadikannya sebuah disertasi untuk meraih doktor. Di IKIP Jakarta November lalu dia mendapat predikat sangat memuaskan untuk disertasinya berjudul Keefektifan Pengajaran Fisika dengan Metode Modul, PPSI dan Metode Konvensional. Orang kelahiran Magetan (Jawa Timur, 1935 itu tertarik meneliti metode pengajaran yang bagaimana yang paling cocok untuk menanamkan cinta pada fisika. Koesno Sastromihardjo kini mengajar fisika di IKIP Jakarta. Dia memilih memperbandingkan tiga metode mengajar fisika di SMA, karena memang itulah yang kini dipraktekkan di SMA di Indonesia. Metode modul memang hanya diterapkan di Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP. PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) adalah metode yang dianjurkan oleh Kurikulum 1975. Dan metode konvensional adalah metode mengajar yang seolah-olah tanpa metode. Tujuan utamanya, agar murid mengerti bahan pelajaran, titik. Dengan mengambil sampel di tiga sekolah di Jakarta (SMAN VI, SMAN XXI dan SMPP I), kesimpulan yang diperolehnya pantas diperhatikan. Ternyata metode modul menghasilkan murid yang mempunyai hasil belajar baik sekali. Dalam sistem yang mengharuskan siswa aktif sendiri mempelajari paket modul itu -- guru hanya menjadi pembimbing -- siswa tidak hanya menjadi hafal dalil-dalil. Tapi mereka menjadi paham bagaimana dalil-dalil itu terbuktikan, karena mereka memang diharuskan aktif mencari sendiri. Sementara itu metode pengajaran konvensional, yang membuat murid lebih pasif hanya menerima ceramah guru saja. Sepintas memang memberi kesan berhasil. Bila soal ulangan telah menyimpang sedikit dari yang pernah diajarkan, meski sebenarnya masih ada dalam lingkup masalah yang pernah diberikan, ternyata siswa tidak paham. Boleh disimpulkan, metode pengajaran konvensional lebih membuat siswa trampil menghafal, tapi tidak memahami sebaik-baiknya. Adapun metode PPSI terletak di antara yang dua tadi. Metode ini pun mendorong siswa untuk aktif sendiri. Tapi karena PPSI tidak memberi kesempatan siswa belajar sendiri, menurut kecepatan belajar mereka masing-masing, hasilnya kurang memuaskan. Memang dari 431 siswa dari sembilan kelas dari tiga sekolah tersebut yang dijadikan responden, diperoleh kesimpulan bahwa bagi siswa yang mempunyai inteligensi tinggi, perbedaan metode ternyata tidak berpengaruh. "Tidak terdapat interaksi antara metode pengajaran dan intelegensi siswa," kata Koesno. Jadi, keaktifan dan kemandirian para siswa dalam mempelajari ilmu alam ternyata bisa meningkatkan prestasi belajar mereka. Ini memang sesuai dengan sejumlah penelitian tentang metode pengajaran lewat modul. Menurut Koesno, modul mempunyai dampak positif terhadap prestasi belajar siswa. Kesimpulan sampingannya kita sebenarnya tidak perlu khawatir akan kekurangan guru. Metode yang baik, dan tidak membutuhkan guru banyak, justru bisa menjadikan siswa memahami pelajaran dengan lebih baik. Disertasi setebal 432 halaman itu didukung penelitian selama sekitar. 21 tahun (hingga 1980). Caranya, tiga guru fisika di tiga sekolah tersebut diminta Koesno mengajar dengan metode PPSI dan konvensional. Sesudah itu baru Koesno mengajar juga dengan metode modul. Hasil belajar siswa setelah mengikuti metode masing-masing kemudian dibandingkan. Adakah ayah dari empat anak itu akan mengusulkan metode modul untuk semua sekolah di Indonesia? Ini memang bukan kewajiban promovendus. Tapi mengingat rencana pemerintah untuk memadukan Kurikulum 1975 dengan metode PPSP IKIP, penelitian Koesno tentu sangat bermanfaat. Yang penting, kata Koesno pada TEMPO di rumahnya pekan lalu, "pengajaran bisa membuat siswa aktif, tidak hanya mendengarkan penjelasan guru saja." Maksudnya, murid pun haruslah dipandang sebagai subyek dan bukan obyek, yang hanya perlu dijejali informasi. Dengan cara itu semua pelajaran terbuka untuk dicintai siswa dan karenanya siswa bisa mengembangkannya menurut minat dan kapasitas masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus