Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kepalang basah

Ahli waris Haji Thahir, diwakili Iibrahim Thahir pada posisi serba salah. Pihaknya terpaksa atau tidak harus diam di persidangan, meskipun menjadi bulan-bulanan pihak pertamina.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAH simalakama, itulah sebutan yang mungkin tepat bagi pihak ahli waris Haji Thahir, yang diwakili salah seorang putra almarhum, Ibrahim Thahir. Sebagai tergugat kedua, setelah Kartika Thahir, mereka harus tampil di persidangan. Berbeda dengan Kartika, yang boleh memukul balik pihak Pertamina, pihak ahli waris terpaksa atau tidak harus diam, walau kubu mereka tak luput dari bulan-bulanan "digebuki" pihak Pertamina. Posisi mereka semakin tak jelas karena mereka tak bisa pula terang-terangan berpihak pada penggugat, Pertamina selain menjadi aneh, kalau persekongkolan semacam itu terang-terangan, hakim bisa menggugurkan mereka sebagai pihak yang berperkara. Padahal, kehadiran mereka sebagai pihak dalam perkara itu dibutuhkan Pertamina karena mereka disiapkan sebagai cadangan. Bila sewaktu-waktu Pertamina kalah, mereka akan tampil sebagai ahli waris melawan Kartika. Konon, kalau itu terjadi, pihak Ibrahim harus menyerahkan seluruh hasilnya kepada Pertamina. "Keluarga kami hanya ingin perkara itu cepat selesai, agar nama Bapak tidak lagi teraniaya," Satu-satunya harapan Ibrahim dalam perkara itu, seperti pernah diungkapkannya kepada TEMPO. Toh posisi serba salah itu tak tertahankan oleh pengacara keluarga Thahir, Harry Wee, sekitar 70 tahun, yang harus tampil di persidangan. Sebab, selain harus menjadi pihak yang "diam" sikap itu aneh untuk acara pengadilan Singapura - Harry di persidangan pekan lalu tak luput dari bulan-bulanan sindiran rekannya, Bernard Eder, dan juga pengacara Pertamina David Hunt. Pada persidangan Kamis pekan lalu, misalnya, David Hunt - untuk membuktikan klaimnya menuntut Kartika dan ahli waris - melampirkan berkas-berkas perkara mereka di Pengadilan Tokyo. Sebab, sebelum berperkara di Singapura, ketika Pertamina belum ikut berperkara, Kartika sempat menuntut uang simpanan di Bank Sumitomo itu di Pengadilan Tokyo, sekitar 1976. "Saya kira tergugat Eder tak keberatan menyerahkan berkas-berkas itu, apalagi rekan saya Harry Wee, yang di sidang ini hanay sebagai pihak basa-basi (courtesy)." Ucapan Hunt itu segera dibalas Eder. "Saya keberatan berkas-berkas itu dibawa ke sidang, tapi saya tak tahu sikap rekan yang disebelah saya ini..." ujar Eder tersenyum mengejek. Dialog itulah yang rupanya tak berkenan di hati pengacara senior Singapura ini. Bekas ketua organisasi advokat Singapura itu, khabarnya mengultimatum Ibrahim agar menentukan sikap di persidangan Singapura pekan ini, apakah harus menyerang balik sebagaimana layaknya tergugat atau terang-terangan membela Pertamina. "Kalau tidak, saya akan melakukan apa yang seharusnya saya lakukan sebagai pengacara," ujar Harry kepada Ibrahim. Sikap Harry Wee itu memang sangat beralasan. Sebab, dengan sindiran-sindiran tadi, David Hunt dalam re-amandemennya, selain memukul habis Kartika, alamarhum Haji Thahir, juga menuding Ibrahim. Pihak Kartika dan Ibrahim, kata Hunt, pada 1977 pernah bersekongkol hendak mencairkan uang komisi Thahir dari Siemens, yang tercecer di sebuah Bank di Jerman sebesar DM 15.000.000. "Padahal, mereka tahu, mencoba memperoleh uang tersebut adalah melanggar hukum yang merugikan penggugat," ujar Hunt. Kegusaran Harry Wee itu akhir pekan lalu dilaporkan Ibrahim kepada tim Pertamina. Buntutnya, berkembang isu bahwa pihak Ibrahim akan menyatakan mundur sebagai pihak dari perkara tersebut. Artinya, pihak Ibrahim melepaskan klaimnya terhadap harta karun itu. Kabar tersebut tentu mengagetkan. Sebab, bila itu benar, Pertamina harus berperang sendirian - tanpa cadangan. Akibatnya, bila kalah, uang itu sepenuhnya milik Kartika Thahir. Namun, semua kabar itu, setelah ahli waris Thahir mengadakan rapat keluarga hari Minggu lalu, terbantah sudah. "Pihak keluarga akan tetap menjadi pihak dalam perkara itu, sudah tanggung, kepalang basah," kata pengacara keluarga di Indonesia, Rudhy A. Lontoh. Karni Ilyas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus