NASARUDIN baru saja selesai membersihkan sebuah mangkuk keramik, ketika ia menyambar sebuah koran terbitan Jakarta. Tiba-tiba pandangan matanya terhenti pada sebuah gambar dalam koran itu. Diambilnya lagi mangkuk bermotif teratai warna biru. Ia memperhatikan mangkuk itu lebih saksama. Dan ia terkejut. "Sebab, ciri gambar yang di koran itu persis dengan mangkuk yang baru saya beli," tutur Nasarudin, 50 tahun, pemilik Elita Art Shop di Surabaya. Ketika membeli mangkuk keramik itu, Nasar belum tahu bahwa dari Museum Jakarta telah hilang 20 benda purbakala -- terdiri (lari vas, kendi, buli-buli, piring, dan mangkuk). Pada 6 Oktober lalu, seorang laki-laki mengaku asal Karawang bertamu ke toko Nasarudin. Pemuda yang diperkirakan berusia 26 tahun itu menyebut namanya Didin Kamarudin. Ia menawarkan sebuah mangkuk keramik berdiameter 35 cm, dengan dua retak di bibir dan di dasarnya. "Sepintas tampak kotor dan kurang terawat," tutur Nasar. "Semula, ia menawarkan harga Rp 7,5 juta," cerita Nasar lagi. Baginya, harga itu terlalu tinggi. Tawar-menawar di kios berukuran 2 x 3 m itu buntu. Didin, lelaki sopan dengan tinggi sekitar 160 cm, kulit sawo matang, dan rambut berombak itu, langsung ngeloyor. Sorenya, Didin nongol lagi, tapi ke rumah Nasar di Gang Keputran Pasar Kecil sekitar 100 meter dari tempat dia berdagang. Pemuda itu menawarkan lagi barang yang dibawa siangnya, dengan tawaran harga yang juga sama. Kemudian, entah mengapa, Didin mau banting harga. Dan harga yang disepakati: sepersepuluh dari harga penawaran semula. "Murah. Dan itu tak saya bayar tunai. Hanya Rp 400 ribu. Sisanya akan saya bayar paling lambat sepuluh hari," tutur Nasar. Namun, koran yang dilihatnya itu membuat Nasar gelisah. "Saya yakin, keramik yang saya beli itu barang yang hilang dari Museum," katanya. "Saya jadi takut." Ia lantas menyusul ke Losmen Famili di Kawatan Bubutan, tempat Didin menginap. Tapi orang yang dicarinya dan rekannya bernama Ujang, menuju ke Bali. Karena itu, Nasar memutuskan mengadu ke Polda Ja-Tim. Itu pada 10 Oktober, sekitar pukul 10 pagi. "Saya melapor karena takut salah dan dituduh pencurinya," katanya. Di situ, Nasar menceritakan liku-liku keramik yang dibelinya dari Didin. Lewat seminggu, tak ada lanjutan dari pihak kepolisian. Nasar pindah mengeluh pada H. Mahfoed, pedagang barang antik terkenal di Surabaya. Mahfoed pernah juga ditawari piring dan mangkuk bermotif ikan warna biru dan putih. Tapi urung dibeli, karena harganya Rp 12,5 juta. Mahfoed menyarankan agar Nasar segera menyerahkan mangkuk itu ke Mabes Polri di Jakarta. Mereka kemudian terbang menuju Jakarta, 19 Oktober lalu Mahfoed membiayai perjalanan itu. Di Jakarta, di hadapan tiga perwira polisi, Nasar menyerahkan mangkuk itu untuk pelacakan lebih lanjut. Tiga hari kemudian, kedua pedagang antik asal Surabaya itu pulang. Dan setelah itu sungguh di luar dugaan Nasar. Baru tiba sehari di Surabaya, rumah Nasar didatangi sejumlah polisi dari Jakarta. "Seisi rumah sampai ke kolong tempat tidur digeledah. Begitu juga toko," kata Nasar. Ia dan Mahfoed dibawa ke kantor polisi. "Saya diinterogasi sampai pukul 7 malam," tuturnya. Mangkuk keramik bermotif teratai itu kini berada di tangan Polda Jakarta untuk dicocokkan dengan registrasi Museum. Hasilnya? Polisi masih bungkam. Namun, kabarnya, jejak yang ditunjukkan Nasar masih tetap ditelusuri. Sumber TEMPO di Museum Nasional sebaliknya belum yakin bahwa mangkuk dari Nasar itu berasal dari Museum Gajah. "Kami belum bisa memastikan," ujarnya. Bunga S., Priyono S. (Jakarta), dan Budiono Darsono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini