Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Putusan Aman Sementara

Pengadilan memenangkan gugatan pedagang Pasar Tanah Abang. Ada juga pedagang yang setuju pembongkaran.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH buruh bangunan tampak berhibuk di Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Di seberang pasar yang musnah dilahap api dua tahun lalu itu, di Blok F, suasana riuh-rendah oleh suara berjual-beli. Pemandangan sama terlihat di Metro Tanah Abang, yang berdampingan dengan dua pasar itu. Di tengah tiga blok ini ada empat blok lain yang dihuni sekitar 4.000 pedagang: blok B,C, D, dan E.

Tapi, pemandangan antara ketiga blok pertama dan blok B, C, D, dan E bak langit dengan bumi. Sementara Blok F dan Metro terlihat mentereng, Blok B hingga E kumuh renyuk. Bahkan Jalan Kebon Jati Raya, jalan masuk utama ke pasar itu, dikurung rapat pagar seng. Di kiri-kanan jalan itu, ratusan pedagang kaki lima berjejalan, menyatu dengan gegundukan sampah.

Agak ke dalam dari jalan utama itu, ada sebuah kios di pojok. Ramai. Di pintu kios ada tulisan "Sekretariat Tim Perwakilan Pedagang Tanah Abang". Jumat pekan lalu, sejumlah pedagang terlihat merubung seorang pria berambut putih. "Tuhan telah menggerakkan hati penegak hukum untuk menegakkan keadilan," kata pria itu, Agustinus Wandow. Sehari-hari pria 63 tahun ini menjabat sekretaris tim itu, seraya tetap berjualan.

Mereka memang sedang membicarakan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Barat dua hari sebelumnya. Pengadilan ini memenangkan gugatan pedagang Tanah Abang terhadap pengembang PT Sari Kebon Jeruk Permai dan Pemerintah DKI Jakarta serta PD Pasar Jaya. Pedagang menolak rencana Pasar Jaya membongkar blok B-E Pasar Tanah Abang, seperti yang diajukan Direktur Utama Pasar Jaya, Prabowo Soenirman, April tahun lalu.

Alasannya, pasar sudah tua dan tak layak pakai lagi. Di meja Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, rencana ini disetujui. Untuk merealisasi proyek itu, Pasar Jaya menggandeng Sari Kebon Jeruk. Tadi-nya para pedagang mengira yang akan dilakukan Pasar Jaya adalah merenovasi pasar, seperti yang didengungkan. "Ternyata renovasi itu maknanya pembongkaran," kata Agustinus, yang di kalangan pedagang biasa dipanggil "Papi".

Rencana itu menjadi persoalan besar bagi pedagang. Soalnya, setelah dibangun, para pedagang diwajibkan merogoh kocek untuk membeli kios. Kios yang berada di lantai dasar hingga lantai tiga?rencananya pasar dibangun 12 lantai?berharga Rp 1,1 miliar untuk jangka waktu 20 tahun. Dengan kata lain, hampir sepuluh kali harga sebelumnya.

"Jelas tak terjangkau," kata M.Z. Said, salah seorang pedagang. Di mata para pedagang, sistem yang diciptakan PD Pasar Jaya sangat memberatkan. Tapi, kendati diprotes para pedagang, Pasar Jaya tetap tak peduli. Proyek "renovasi" pasar jalan terus. Jalan Kebon Jati Raya pun segera dipagari seng untuk penampungan sementara pedagang. Tindakan ini membuat para pedagang melakukan unjuk rasa hingga ke Istana Negara, 5 Agustus tahun lalu.

DPRD DKI Jakarta lalu turun tangan dengan mengirimkan tim, November tahun lalu. Dewan meminta pembongkaran pasar ditunda. Pada bulan itu pula, lewat Pengacara Juniver Girsang, para pedagang melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Mereka menggugat Sari Kebon Jeruk dan Pemerintah DKI Jakarta serta PD Pasar Jaya agar pembongkaran pasar dibatalkan.

Lokasi pengajuan gugatan ini memang sempat menjadi perdebatan sengit. Namun, penggugat punya alasan, kantor Sari Kebon Jeruk berada di Jakarta Barat. Majelis hakim yang dipimpin Frans Liemena menerima alasan itu. Rabu pekan lalu, Frans pun mengetukkan palunya. Majelis hakim menyatakan mengabulkan gugatan para pedagang.

Menurut hakim, PT Sari Kebon Jeruk Permai, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan Pasar Jaya telah melakukan perbuatan melawan hukum. "Mereka merencanakan pembongkaran dan pembangunan kembali pasar tanpa pemberitahuan kepada pedagang," kata Frans. Majelis juga membatalkan nota kesepahaman antara PT Sari Kebon Jeruk Permai dan Pasar Jaya tentang proyek penataan dan peremajaan pasar regional Tanah Abang, yang dibikin pada 28 Juli 2004.

Alasan majelis, perusahaan itu ditunjuk langsung, tanpa proses tender. Hakim juga memerintahkan pembayaran ganti rugi materiil Rp 1,68 miliar per hari sejak diajukannya gugatan sampai sidang putusan, serta mengabulkan gugatan imateriil Rp 900 miliar. Putusan itu jelas tak memuaskan para tergugat. "Tapi, kami menghormati proses hukum," kata juru bicara Pemerintah DKI Jakarta, Catur Laswanto, kepada Ewo Raswa dari Tempo.

Pemerintah DKI dan Pasar Jaya mengajukan banding. "Walau kami kalah, perjalanan upaya hukum kami masih panjang," kata Prabowo Soenirman. Soal "perjalanan panjang" ini pun dipahami para pedagang. Kemungkinan kalah di tingkat lebih tinggi tetap ada. "Saya sadar betul itu," kata Agustinus. "Tapi, untuk masalah ini, saya rela mempertaruhkan nyawa," ia menambahkan.

Tak semua pedagang di blok itu, sebetulnya, menolak tempat berdagang mereka dibongkar. Ujang Kusumayana, misalnya. Pria yang mengaku koordinator "Persatuan Pedagang Asli Tanah Abang" itu setuju lokasi pasar mereka dibongkar. "Saya minta agar cepat-cepat saja dibongkar," ujar pedagang yang mengaku memiliki kios tekstil di Blok E itu. Menurut Ujang, kondisi pasar di blok B-E itu sudah berat. Umurnya sekitar 30 tahun. "Di sana-sini bocor," katanya. "Lagi pula, masa berlaku izin berdagang juga sudah habis. Kenapa harus ngotot?"

Agustinus mengaku, memang ada pedagang yang sudah habis masa izin berdagangnya. Tapi, katanya, di lantai empat ada pedagang yang kiosnya diperpanjang hak pakainya sampai 2024. "Artinya, tindakan ini saja sudah tak benar," katanya. Adapun soal bangunan yang rusak atau atap yang bocor, menurut Agustinus, seharusnya itu tanggung jawab PD Pasar Jaya. "Pedagang kan sudah membayar biaya perawatan tiap bulan," kata Ketua Perwakilan Pedagang Tanah Abang, Sofyan Mashud.

Menurut perhitungan Agustinus, setiap bulan tak kurang dari Rp 1 miliar duit yang mengalir ke kas PD Pasar Jaya dari pedagang Pasar Tanah Abang. Uang itu berasal dari biaya pengelolaan pasar yang disetor pedagang per bulan, Rp 71 ribu untuk setiap meter persegi kiosnya. Menurut Agustinus, dengan duit itu mestinya PD Pasar Jaya bisa merawat blok B-E, yang luasnya sekitar 27 ribu meter persegi. "Tapi lihat kondisi pasar ini," katanya. "Anda bisa menilai sendiri siapa yang salah."

Untuk sementara, para pedagang memang bisa menarik napas lega dan berjualan dengan aman. Entah sampai kapan.

Nurlis E. Meuko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus