Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah cinta yang berkepanjangan kisah cinta yang berkepanjangan

Terdakwa dalam kasus penganiayaan djajus sugito dan istri (kisah cinta heri-ninung), citpo martoyo, di vonis oleh pengadilan negeri ambarawa, naik banding. (hk)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAH cinta Heri-Ninung masih akan berkepanjangan. Jaksa yang mendakwa orangtua Ninung, Tjipto Martojo dan istri, serta tiga orang kakaknya ke pengadilan dengan tuduhan menyandera dan menganiaya Djajus Sugito suami-istri, orangtua Heri, pekan lalu menyatakan naik banding. Jaksa Haryono, dan terutama Djajus serta istrinya, Musyayaroh, rupanya kecewa terhadap vonis Hakim Ketua Iskandar Joenaini di Pengadilan Negeri Ambarawa dua pekan lalu. Dalam putusan itu Tjipto, 60 tahun, pemilik rumah makan dan pengusaha kopi Eva di Bedono, Ambarawa, divonis sembilan bulan penjara. Ia terbukti melanggar pasal 351 (1) dan pasal 333 (1) KUHP. Anaknya, Budi Hartono dan Y. Darmawan, masing-masing kena 7 bulan dan 4 bulan penjara. Semuanya potong tahanan. Sedangkan Budi Sulistyo, kakak kandung Ninung yang menjabat Kepala Desa Bedono, dan ibunya, Nyonya Christina, dinyatakan bebas. Djajus dan Musyayaroh rupanya menganggap vonis itu terlalu ringan. Terutama bila dihubungkan dengan tuntutan jaksa yang menghendaki Tjipto dihukum tiga tahun dan istrinya, Nyonya Christina, 10 bulan penjara. Apalagi dulu, mereka cukup terhina dan menderita. Selama tiga minggu mereka disekap dan dianiaya, sampai mata kanan Djajus yang disundut dengan rokok, nyaris buta. Ia dituduh Tjipto sekeluarga tak mau memberitahu di mana Ninung berada, setelah Heri membawa pacarnya itu lari, Maret lalu (TEMPO, 10 April). Sebaliknya Tjipto tampak gembira mendengar vonis hakim, antara lain karena ia tak harus segera masuk penjara. Menjelang sidang dua pekan lalu itu, bahkan ia sempat membuat lelucon. Turun dari mobilnya, ia memperkenalkan seorang gadis manis berbaju biru yang nampak ceria. "Ini Ninung, calon direktris kopi Eva. Anak Pak Tjipto manis, kan?" katanya. Gadis yang ditunjuk hanya tersenyum-senyum, dan orang berdesakan ingin melihat. Ternyata kemudian gadis itu bukan Indraningrum alias Ninung yang menghilang bersama Heri selama tujuh bulan--melainkan adiknya, Djati. Menjalin cinta sejak di SMA Kristen Salatiga, Heri dan Ninung terus berpacaran sampai Heri kuliah di Akademi Perindustrian dan Ninung masuk FH Atmajaya, keduanya di Yogyakarta. Hubungan mereka tak direstut. Agaknya seperti dalam kisah roman klasik: ayah Heri hanya seorang sederhana, menjabat Kepala Kantor Kecamatan Luar Kota Salatiga. Agama pun berbeda. Heri Islam dan Ninung Katolik Lagi pula, gadis berusia 20 tahun itu mau dijodohkan dengan seorang calon dokter. Maka keduanya pun lari. Tapi Ninung kini sudah berada lagi di rumah orangtuanya di Bedono, Ambarawa. Tanggal 30 Oktober lalu ia di jemput ibunya dari Banjarmasin. Menurut Heri yang kini nampak kurus dan kusut, ia dan Ninung berada di kota itu sejak 27 Maret, naik kapal laut le,vat Surabaya. Haji Yani, orangtua teman kuliah Heri, menolong dan kemudian menikahkan mereka di hadapan penghulu pada 3 April, setelah Ninung menyatakan diri masuk Islam. "Mbah Yani tahu penderitaan kami dan tak ingin kami hidup bersama tanpa nikah," kata Heri. Ia bahkan sudah bekerja di BRI Sampit, sebagai pegawai honorer. Heri mengizinkan istrinya untuk dibawa ketika Nyonya Tjipto menjemput inung di Banjarmasin. Alasan Ny. Tjipto, Ninung hanya "dipinjam" lima hari berhubung ayahnya sakit. Dinanti lima hari tak muncul, Heri segera menyusul. Tak berari langsung ke Bedono, ia menemui Sumarya, Lurah Banyubiru, rnasih keluarga ibu Ninung. Baru pada 6 November ia muncul di rumah orangtuanya di Salatiga dan disambut hangat. Tapi ayahnya, Djajus, jengkeketika Heri menyodorkan "misi perdamaian" Yaitu: agar Djajus memberi maaf lahir lbatin kepada Tjipto dan memintakan kepada hakim agar orangtua Ninung dihukum ringan. Ia juga meminta agar layahnya mencabut tuntutan ganti rugi Isebesar Rp 138,9 juu. Merasa penderitaannya yang dulu belum hilang, Djajus menolak misi perdamaian itu dengan tegas. Surat tolakannya itu dibacakan jaksa pada sidang 18 November lalu, setelah sebelumnya majelis hakim juga membacakan "misi perdamaian" Heri. Dan misi itu pun kandas. Apalagi, menurut jaksa, perkara Tjipto bukan delik aduan yang bisa gugur bila pihak pelapor mencabut pengaduannya. Akhirnya mejelis hakim memutuskan tetap membacakan vonis hari itu. Ternyata, meski masih kecewa dan jengkel, sikap Diajus sedikit melunak. Keesokan hari setelah vonis atas TJipto dijatuhkan, ia bersama anaknya, Heri, menemui Hakim Iskandar Joenaini yang juga Ketua Pengadilan Negeri Ambarawa, di rumahnya. Terus terang Djajus meminta agar Hakim Iskandar -untuk atas nama keluarganya -- melamar Ninung. Iskandar menolak permintaan itu. "Saya tak mau ikut campur dalam soal keluarga," katanya. Heri jadi lemas. Meski kangen, ia memang tak berani menemui Ninung ke Bedono. Ninung sendiri, sekembali dari Banjarmasin, kabarnya sakit dan mengalami shock. Bagaimana sikap Tjipto? "Saya tak pernah merasa menikahkan Ninung," katanya tegas. Jadi, ia tak mengakui pernikahan Heri-Ninurig yang dilakukan secara Islam. Bakal panJang juga kisah cinta Heri-Ninung ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus