MELALUI berbagai keluhan dan pengaduan masyarakat Kota Surabaya
tentang surat-surat yang tak pernah sampai ke alamatnya,
akhirnya sebuah tim dari Kantor Pos dan Giro Besar I Surabaya
melakukan razia. Beberapa rumah pengantar pos yang dicurigai
digrebek. Hasilnya, di rumah empat orang pengantar pos
ditemukan surat-surat yang sudah dibuka, maupun yang tetap
tertutup tapi tanpa prangko lagi.
Pengadilan Negeri Surabaya pekan lalu menghukum tiga dari empat
orang Pak Pos itu dengan 6 sampai 9 bulan penjara. Para karyawan
Kantor Pos dan Giro Besar I Surabaya ini, adalah Ponidi, Edy
Kriswanto dan Bambang Hidayat. Menurut hakim, mereka terbukti
telah membuka surat-surat yang seharusnya diantarkan ke
alamatnya. Surat-surat itu mereka rusak untuk mendapatkan
prangko yang telah distempel dan juga, bila kebenaran, mengambil
uang yang ada di dalam surat itu.
Di rumah Ponidi misalnya, tim dari Kantor Pos & Giro Besar I
Surabaya yang melakukan razia menemukan berbagai surat dengan
bermacam alamat (dalam Kota Surabaya) satu ransel penuh yang
sudah dirusak. Di persidangan kemudian, Ponidi mengakui
mengambil prangko bekas dari surat-surat itu dan juga kalau ada
uang. "Kalau suratnya sampai rusak saya bakar saja, tapi kalau
masih baik, saya teruskan ke alamatnya," kata Ponidi yang sudah
19 tahun bekerja sebagai Pak Pos.
Surat-surat yang dicurinya, NNr Ponidi di persidangan, dibukanya
di rumah. Prangkonya ia lepaskan dengan air dan sabun. Kemudian
prangko itu ia cuci untuk menghilangkan bekas stempel kantor pos
di prangko itu. Prangko bekas ini kemudian ia kumpulkan dan
dijual dengan harga "miring". Sepuluh buah prangko bekas Rp 100
dijual kembali oleh Ponidi dengan harga Rp 650.
Selama melakukan usaha terlarang itu, Ponidi mengaku berhasil
mendapatkan uang Rp 75 ribu. "Ya lumayan juga," komentar Hakim
Soeradi yang memimpin persidangan.
Dua rekan Ponidi, Bambang Hidayat dan Edy Kriswanto, juga
mengakui tuduhan jaksa. Bedanya, Bambang dan Eddy hanya membuka
surat-surat yang dicurigainya berisi uang, tapi tidak mengambil
prangkonya. Bambang 35 tahun, mengaku sudah dua kali mendapat
uang dari cara itu. Pertama sekitar bulan Juni lalu, ia berhasil
mendapatkan uang Rp 10 ribu di dalam surat. Bulan berikutnya,
Bambang menemukan lagi Rp 5 ribu dari surat yang dibukanya.
Bambang yang sudah 8 tahun menjadi karyawan kantor pos itu
mendapat ganjaran - tertinggi dari hakim, 9 bulan penjara.
EDY Kriswanto yang sudah bekerja ù 5 tahun dengan gaji Rp 40 ribu
sebulan juga mengaku pernah mengambil uang Rp 2 ribu dari surat
yang dibukanya. Di rumahnya tim menemukan tiga pucuk surat yang
disimpan Edy. Karena kesalahannya lebih kecil dari Bambang, Edy
dijatuhi hukuman 6 bulan, sama dengan Ponidi.
Satu-satunya tersangka yang bebas dari hukuman adalah
Soekarmianto. Ia dibebaskan dari tuntutan hukuman, karena ia
selalu mungkir di persidangan. Tim yang merazia rumahnya memang
menemukan prangko-prangko bekas. Tapi, kata Soekarmianto,
koleksi prangkonya itu berasal dan surat-surat yang diterimanya
dari keluarganya sendiri. Pembebasan Soekarmianto mendapat
sambutan gembira dari istri dan anak-anaknya.
Hukuman yang lebih berat ternyata datang dari Kantor Pos dan
Giro Besar I, Surabaya. Ketiga Pak Pos yang terbukti bersalah
itu, dijatuhi hukuman pecat.
Membuka surat memang suatu "dosa" yang tiada ampunnya bagi
pegawai kantor pos, kata Humas Direktorat Pos & Giro, Tasrizal
Salam. Hukuman untuk itu, katanya, tidak dapat ditawar lagi:
pecat seumur hidup dan tidak dibolehkan melamar lagi menjadi
pegawai pos. Sebelum di Surabaya, kata Tasrizal, hukuman yang
sama pernah dijatuhkan kepada tiga pegawai pos di Padang, tahun
1971.
Hukuman paling berat bagi pegawai pos itu, menurut Tasrizal,
terpaksa diambil karena, "surat-surat merupakan periuk nasinya
orang pos. " Sebab itu pula orang pos tidak mungkin dibenarkan
membuka surat-surat. Surat buntu sekalipun baru bisa dibuka,
setelah PN Pos & Giro mendapat izin dari Mahkamah Agung. Karena
itu: hati-hatilah Pak Pos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini