Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pak Pos Mencari Perangko

Tiga pengantar pos dari kantor pos & giro besar i surabaya, divonis pengadilan negeri surabaya, terbukti membuka & menemukan uang, mengambil perangko surat-surat yang seharusnya mereka antar. (hk)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELALUI berbagai keluhan dan pengaduan masyarakat Kota Surabaya tentang surat-surat yang tak pernah sampai ke alamatnya, akhirnya sebuah tim dari Kantor Pos dan Giro Besar I Surabaya melakukan razia. Beberapa rumah pengantar pos yang dicurigai digrebek. Hasilnya, di rumah empat orang pengantar pos ditemukan surat-surat yang sudah dibuka, maupun yang tetap tertutup tapi tanpa prangko lagi. Pengadilan Negeri Surabaya pekan lalu menghukum tiga dari empat orang Pak Pos itu dengan 6 sampai 9 bulan penjara. Para karyawan Kantor Pos dan Giro Besar I Surabaya ini, adalah Ponidi, Edy Kriswanto dan Bambang Hidayat. Menurut hakim, mereka terbukti telah membuka surat-surat yang seharusnya diantarkan ke alamatnya. Surat-surat itu mereka rusak untuk mendapatkan prangko yang telah distempel dan juga, bila kebenaran, mengambil uang yang ada di dalam surat itu. Di rumah Ponidi misalnya, tim dari Kantor Pos & Giro Besar I Surabaya yang melakukan razia menemukan berbagai surat dengan bermacam alamat (dalam Kota Surabaya) satu ransel penuh yang sudah dirusak. Di persidangan kemudian, Ponidi mengakui mengambil prangko bekas dari surat-surat itu dan juga kalau ada uang. "Kalau suratnya sampai rusak saya bakar saja, tapi kalau masih baik, saya teruskan ke alamatnya," kata Ponidi yang sudah 19 tahun bekerja sebagai Pak Pos. Surat-surat yang dicurinya, NNr Ponidi di persidangan, dibukanya di rumah. Prangkonya ia lepaskan dengan air dan sabun. Kemudian prangko itu ia cuci untuk menghilangkan bekas stempel kantor pos di prangko itu. Prangko bekas ini kemudian ia kumpulkan dan dijual dengan harga "miring". Sepuluh buah prangko bekas Rp 100 dijual kembali oleh Ponidi dengan harga Rp 650. Selama melakukan usaha terlarang itu, Ponidi mengaku berhasil mendapatkan uang Rp 75 ribu. "Ya lumayan juga," komentar Hakim Soeradi yang memimpin persidangan. Dua rekan Ponidi, Bambang Hidayat dan Edy Kriswanto, juga mengakui tuduhan jaksa. Bedanya, Bambang dan Eddy hanya membuka surat-surat yang dicurigainya berisi uang, tapi tidak mengambil prangkonya. Bambang 35 tahun, mengaku sudah dua kali mendapat uang dari cara itu. Pertama sekitar bulan Juni lalu, ia berhasil mendapatkan uang Rp 10 ribu di dalam surat. Bulan berikutnya, Bambang menemukan lagi Rp 5 ribu dari surat yang dibukanya. Bambang yang sudah 8 tahun menjadi karyawan kantor pos itu mendapat ganjaran - tertinggi dari hakim, 9 bulan penjara. EDY Kriswanto yang sudah bekerja ù 5 tahun dengan gaji Rp 40 ribu sebulan juga mengaku pernah mengambil uang Rp 2 ribu dari surat yang dibukanya. Di rumahnya tim menemukan tiga pucuk surat yang disimpan Edy. Karena kesalahannya lebih kecil dari Bambang, Edy dijatuhi hukuman 6 bulan, sama dengan Ponidi. Satu-satunya tersangka yang bebas dari hukuman adalah Soekarmianto. Ia dibebaskan dari tuntutan hukuman, karena ia selalu mungkir di persidangan. Tim yang merazia rumahnya memang menemukan prangko-prangko bekas. Tapi, kata Soekarmianto, koleksi prangkonya itu berasal dan surat-surat yang diterimanya dari keluarganya sendiri. Pembebasan Soekarmianto mendapat sambutan gembira dari istri dan anak-anaknya. Hukuman yang lebih berat ternyata datang dari Kantor Pos dan Giro Besar I, Surabaya. Ketiga Pak Pos yang terbukti bersalah itu, dijatuhi hukuman pecat. Membuka surat memang suatu "dosa" yang tiada ampunnya bagi pegawai kantor pos, kata Humas Direktorat Pos & Giro, Tasrizal Salam. Hukuman untuk itu, katanya, tidak dapat ditawar lagi: pecat seumur hidup dan tidak dibolehkan melamar lagi menjadi pegawai pos. Sebelum di Surabaya, kata Tasrizal, hukuman yang sama pernah dijatuhkan kepada tiga pegawai pos di Padang, tahun 1971. Hukuman paling berat bagi pegawai pos itu, menurut Tasrizal, terpaksa diambil karena, "surat-surat merupakan periuk nasinya orang pos. " Sebab itu pula orang pos tidak mungkin dibenarkan membuka surat-surat. Surat buntu sekalipun baru bisa dibuka, setelah PN Pos & Giro mendapat izin dari Mahkamah Agung. Karena itu: hati-hatilah Pak Pos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus