DI Malaysia, tak seorang pun pembawa barang terlarang narkotik bisa lolos dari hukuman mati. Tahun lalu, lebih dari sepuluh orang mati di tiang gantungan -- termasuk dua orang Australia. Tapi, dua pekan lalu, seorang warga negara Jerman Barat -- untuk pertama kali -- bisa terhindar dari ancaman maut itu. Frank Foerster Edald Heinrich, 25, memang mujur. Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia, yang mengadili dengan tuduhan memiliki barang terlarang itu, telah membebaskannya dari tuntutan hukum. Ceritanya berawal pada perjalanan liburan, November 1983. Kala itu, Frank Foerster bertemu dengan dua orang teman seperjalanan. Mereka kemudian berkongsi menyewa kamar Hotel Swiss, di Penang. Polisi, yang entah dari mana mendapat info adanya penghuni hotel yang membawa narkotik, segera menggerebek penginapan itu. Mereka memeriksa kamar 44 dan 46, tapi tanpa hasil. Tibalah giliran kamar 48, kamar yang ditempati Foerster dan kedua temannya. Inspektur Bhupinder kemudian memeriksa sebuah travelling bag yang terlindung oleh selembar handuk. "Tapi saya tidak ingat siapa yang meletakkan handuk itu di situ," kata Foerster di muka sidang. Di dalam tas itu ternyata ditemukan sebuah tas plastik dengan tiga kondom berisikan benda padat berwarna aneh. Kepada hakim, perwira polisi beserban itu mengaku tidak tahu apa sebenarnya yang terdapat dalam kondom-kondom itu. "Tapi benda itu kelihatannya mencurigakan, dan saya menyangkanya candu. Saya baui benda tersebut, tapi tidak beraroma," ujar Bhupinder. Setelah itu, Bhupinder langsung membekuk Foerster. Penyidikan berikutnya memang berhasil membuktikan bahwa isi ketiga kondom itu 239 gram cannabis resin (hashish). Maka, pihak kepolisian pun beralasan menghadapkan Foerster ke pengadilan: melanggar pasar 29 Akta Dadah Berbahaya. Pasal tersebut dapat mengantar terdakwa ke liang kubur, jika hakim menerima cukup bukti tentang pemilikan hashish itu. Namun, dalam sidang yang berakhir dua pekan lalu itu, Hakim Edgar Joseph Jr. mengatakan, "Sidang pengadilan menerima penjelasan Foerster bahwa dia tidak pernah meletakkan hashish dalam tasnya. Malah ia tak tahu adanya narkotik di situ sampai Inspektur Bhupincler memperlihatkannya kepada Foerster." Mengapa? Kedua (bekas) teman sekamar itu memang sepakat mengirimkan kesaksian tertulis di bawah sumpah yang ditandatangani di Kedubes Malaysia di Bonn, Jerman Barat. Dalam pengakuan tadi, mereka menyatakan bahwa barang haram yang ditemukan polisi di kamar sewaktu penggeledahan itu adalah milik mereka. Jelas, pengakuan ini sangat membantu Foerster. Terutama untuk menangkis dalil-dalil para penyidik. Bahkan pengakuan ini menjadi salah satu pertimbangan hakim untuk membebaskan Foerster. Karena itulah Hakim Joseph berkeyakinan, bahwa narkotik yang ditemukan di dalam tas Foerster adalah hasil perbuatan salah seorang atau kedua teman seperjalanan itu. Fakta menunjukkan, Foerster-lah yang membukakan pintu dan membiarkan polisi masuk ke kamar. Ketika petugas keamanan itu masuk, ada dua penghuni lain di kamar itu. "Tapi tak seorang pun di antara mereka yang ditahan untuk disidik dan direkam keterangannya," kata Hakim Joseph. "Kali ini, polisi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali melihat kenyataan bahwa Foerster dibebaskan," Pengacara Rajasingam, ahli hukum yang mendampingi Foerster, berkomentar. Sejauh ini tidak jelas alasan mengapa kedua orang teman Foerster memberi kesaksian itu? Yang pasti, pekan lalu, kantor berita Reuters melaporkan bahwa dua rekan perjalanan yang memberikan pengakuan meringankan Foerster itu ternyata menarik kembali pengakuannya. Pengakuan mereka ternyata menjadi bumerang. Ketentuan hukum Jerman tidak membatasi locus pelanggaran. Karena itulah sekarang mereka harus berhadapan dengan aparat kejaksaan Wiesbaden, Jerman Barat. Dan sekalipun ancaman hukuman tidak akan seberat di Malaysia, yang pasti perkara kedua teman Foerster belum selesai. Sementara Foerster sendiri setelah terhindar dari hukuman mati, kini, tak ketahuan rimbanya. James R. Lapian, Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini