NI Made Lunas, 30, jelas wanita Bali. Ia dilahirkan di pulau itu, ayah dan ibunya juga lahir di situ. Tapi yang menarik, pekan lalu, Made Lunas duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Denpasar. Ternyata, Made Lunas diadili karena lalai mendata ulang kedua anak kandungnya, Ni Wayan Ratna, 15, dan I Made Sudarsana, 11, yang didapatnya dari perkawinan dengan Walter Folle, warga negara Jerman Barat. Wanita Bali itu kenal dengan Folle pada 1970. "Ketika itu, ia sering mampir ke warung ibu saya," kata Made Lunas, yang hanya berpendidikan sampai kelas IV SD. Setahun setelah berkenalan, Folle, yang waktu itu Manager Advertising & Promotion PT Bali Art Print, menikahi Made Lunas. Tapi pada 1977 Folle memaki anak buahnya. Akibatnya, pengadilan memutuskan izin tinggalnya tidak diperpanjang lagi. Setelah menceraikan Made Lunas, 1980, Folle terpaksa balik ke negaranya. Tragis, memang. Sesuai dengan hukum kewarganegaraan di Indonesia, seorang anak hasil perkawinan campuran akan ikut kewarganegaraan ayahnya. Sebab itu, sampai saat ini, kedua anak itu masih berstatus warga negara Jerman Barat, dan memiliki paspor negara asing itu. Untuk menjalani naturalisasi, kedua anak itu harus menunggu sedikitnya berusia 17 tahun. Sebagaimana layaknya orang asing, Ni Wayan Ratna dan I Made Sudarsana, setiap jangka waktu tertentu, harus memperpanjang paspornya dari Kedubes Jerman Barat, dan meminta perpanjangan izin tinggal dari Imigrasi. Kecuali itu, kedua anak tadi juga harus mempunyai Surat Tanda Melapor Diri dari Kepolisian. Semua ketentuan itu, kata Made Lunas sudah dipenuhinya. Ia rupanya tidak tahu sama sekali bahwa Menteri Kehakiman mengumumkan kewajiban pendataan ulang bagi warga negara asing, 17 Juni 1985 lalu. Kendati pengumuman pendataan ulang itu disiarkan secara luas melalui media massa, dan jangka waktunya pun panjang - dari 2 Januari sampai 4 Juli 1986 - Made Lunas tidak mendengarnya. "Selama ini, bila saya terlambat memperpanjang izin tinggal anak saya, atau ada peraturan baru, saya selalu mendapat pemberitahuan dari Imigrasi, tapi kali ini tidak," ujar Made Lunas, yang kini menikah dengan duda beranak tiga, seorang desainer reklame. Kasus itu lebih menyedihkan bagi kedua anak yang tidak berdosa itu. I Made Sudarsana yang masih duduk di kelas IV SD itu, kata ibunya, tidak berhenti menangis setelah kasus kelalaian pendataan orang asing itu diusut yang berwajib. Sedangkan kakaknya, Ni Wayan Ratna, yang sudah duduk di kelas 2 SMP, merasa terpukul sekali karena diperbincangkan kawan-kawan sekolahnya setelah koran-koran memberitakan persidangan ibunya itu. "Saya sampai tidak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran," kata Wayan Ratna, yang di sekolahnya menduduki ranking kedua. "Mengapa saya harus dibeginikan. 'Kan saya orang Bali, sampai mati pun saya di Bali ini," kata gadis kecil dengan rambut dikepang dua itu, sambil menahan tangis. Menurut Hakim Sukendro Asmoro Djajaningrat, yang juga wakil ketua pengadilan, untuk kedua anak itu tetap berlaku ketentuan sebagaimana untuk warga negara asing lainnya. "Tidak ada kekecualian," katanya. Kepala Kanwil Imigrasi Bali Moh. Chodri Alamsyah juga tidak bisa menerima alasan Made Lunas bahwa ia tidak tahu ada pendataan ulang itu. "Jawaban tidak tahu itu adalah alasan yang paling tepat. Sebab, kalau mengaku tahu, sanksi hukumnya akan lebih berat," katanya. Mengadili semua orang asing yang melalaikan pendataan ulang itu, kata Alamsyah, merupakan penegakan hukum. "Dan bagi orang asing itu: di mana langit dipijak di situ seharusnya langit dijunjung," kata Alamsyah berpantun. Pendataan ulang bagi orang asing memang tidak sering. Dulu pernah dilakukan, tahun 1954. Barangkali Made Lunas sedang kejatuhan nasib sial. Sebab, pengadilan yang memeriksa perkaranya, berlangsung Kamis pekan lalu, memvonis Lunas membayar denda Rp 50.000. Karni Ilyas, Laporan Supriyanto Khafid (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini