Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah nenek puti dan 5000 perkara

Tunggakan perkara di pengadilan dan mahkamah agung & kisah janda puti sari (80 th), penduduk pekanbaru riau, menunggu putusan banding dalam sengketa tanah.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANDA itu bernama Puti Sari. Umurnya 80 tahun, penduduk Pakanbaru (Riau). Dialah contoh orang yang sampai benar-benar merasa penat menguber keadilan. Ia terlibat dalam sengketa tanah yang cuma 3.000 mÿFD luasnya -- sebuah perkara yang berumur 15 tahun. Menanti putusan demi putusan, mulai tingkat pertama, banding sampai kasasi, katanya "bak berkeringat dalam air". Terlampau meletihkan. Puti sari menggugat lawannya, Zainal dkk, yang dituduhnya menyerobot tanah warisan suaminya. Sengketa, yang dimulai 1962, masuk ke pengadilan perdata 1966. Setahun kemudian putusan tingkat pertama memenangkan Puti Sari. Lawan naik banding. Putusan banding, yang tetap memenangkan penggugat, baru muncul setelah delapan tahun ditunggu (1974). Zainal dkk. masih mengulur waktu dengan naik kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai panjang juga leher Nenek Puti menunggu putusan pengadilan tertinggi. Setelah lima tahun berlalu tanpa kabar, Puti mengutus anaknya, Firdaus, coba-coba bertanya ke Mahkamah Agung. Kabar baik dari Jakarta. Mahkamah Agung memenangkan perkara Puti. Dan, asal tahu saja, putusan kasasi sebenarnya telah dikirim dari Jakarta lewat setahun dari 1979 ketika Firdaus mengurusnya. Ketika ditanya tentang kelambatan itu. pejabat pengadilan hanya menjawab, "Oh, masih banyak perkara yang lebih lama dari itu." Begitulah cerita Firdaus kemudian. Menang dari satu ke lain tingkat pengadilan, selain memakan umur benar, tak cukup menggembirakan. Meski putusan sudah kuat sejak 1978, begitulah ceritanya, baru Juni lalu Pengadilan Negeri Pakanbaru melaksanakannya. Itu pun, kata Puti Sari, setelah ia hampir setiap hari merengek-rengek di hadapan pejabat pengadilan dan membayar eksekusi Rp 310 ribu. Setelah eksekusi, bukan berarti urusan Puti Sari dengan pengadilan jadi selesai. Dibantu seregu polisi, pengadilan memang dapat mengangkat kedai milik Zainal dkk. dari tanah sengketa. Puti Sari sempat pula memagar dan memasang tulisan, "Dilarang masuk tanpa izin." Tapi, bekas lawannya toh seenaknya saja melangkahi pagar dan kembali membangun gubuk. Untuk menguasai kembali tanahnya Nenek Puti terpaksa kembali berurusan dengan pengadilan, setelah melaporkan penyerobot-penyerobot tanahnya ke polisi. Bulan ini perkara pidana berlangsung. Apa putusannya belum lagi jatuh. Tapi, lama berpengalaman dengan pengadilan, Puti Sari sudah keburu patah hati. Bukankah bila penyerobot tanahnya dihukum urusan belum selesai. Mereka masih bisa naik banding, kasasi -- dan entah upaya hukum apalagi yang akan ditempuh. Tapi urusan Puti Sari masih bernasib lumayan. Banyak perkara yang resminya masih mendekam di pengadilan tapi berkasnya entah ke mana. Misalnya seperti tercatat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: 63 perkara banding dari 1968 s.d. 1980 seharusnya dikirim ke Pengadilan Tinggi. Tapi ternyata berkasnya tak dapat ditemukan lagi. Belum lagi yang terhitung macet. Ada perkara yang belum juga dikirim ke pengadilan banding, meski sudah hampir 20 tahun berkasnya menghuni gedung pengadilan. Memang, dari 1962 s.d. 1980, terdapat 433 perkara perdata dan pidana yang belum dikirim ke Pengadilan Tinggi untuk dimintakan banding. Ada lagi sejumlah besar perkara, sekitar 829, yang tak tentu nasibnya. Inilah perkara perdata dan pidana yang ditangguhkan pemeriksaannya dengan berbagai alasan -- sampai waktu yang tak ditentukan. Sementara ada pula perkara yang sebenarnya sudah selesai tapi tak juga diberitahukan kepada "pemiliknya". Yaitu, 265 putusan banding (dari 1965 s.d. 1980), dan 130 perkara kasasi (sejak 1967). Angka-angka itu baru dari sebuah pengadilan di Jakarta. Kebetulan, Ketuanya, Soedijono mau membuka dan memperlihatkannya. Di pengadilan-pengadilan lain -- entah di berbagai Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi -- kalau saja ada yang sudi membongkarnya, diperkirakan tak akan jauh berbeda dengan yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di Mahkamah Agung sendiri perkara tak kurang pula tinggi tumpukannya. Berapa? Angka yang pasti belum diperoleh. Tapi salah seorang hakim agung, Hendrotomo, berani menyatakan: "Banyak, banyak sekali . . . Lebih 7 ribu, tapi di bawah 10 ribu." Mengapa begitu banyak? Beberapa sebab bisa dikemukakan. Misalnya untuk membahas perkara perdata, yang kadang-kadang kasusnya menyangkut hal-hal yang belum ditentukan undang-undang, bisa makan waktu enam bulan. Banyak juga perkara yang terpaksa ditunda-tunda, sambil menunggu kelengkapan administrasi. Padahal surat bukti penting pun kadang-kadang dilupakan si pencari keadilan. Faktor sang Ketua Mahkamah Agung, menurut Hendrotomo (55 tahun), purnawirawan jenderal angkatan darat berbintang dua ini, juga ikut menentukan lambat dan cepatnya proses perkara kasasi. Oemar Seno Adji, katanya sering membawa para hakim agung berdiskusi panjang tentang sebuah perkara. "Itu memang baik, berguna, tapi 'kan kurang praktis?," kata Hendrotomo. "Itu memang penyakit profesor . . ." tambahnya. Seno Adji tak membenarkan apa yang dikatakan Hendrotomo. Perkara yang naik kasasi memang membanjir selama ia duduk pada jabatan puncak hakim (1974 s.d. 1981). Namun begitu, katanya, perkara yang belum terselesaikan hanya sekitar 3.000 buah. Tunggakan perkara yang begitu, katanya, biasa terjadi di Mahkamah-Mahkamah Agung negara lain Pada 1979, lanjutnya, Mahkamah Agung RI punya sekitar 5 ribu perkara, sementara Pakistan menyimpn sampai 16 ribu. "Jadi bukan kita tok yang mengalami begitu," katanya membandingkan. Benar seperti kata Hendrotomo, Profesor dan Guru Besar Hukum Pidana UI berusia 65 tahun itu, memang tak pernah memandang enteng suatu perkara. "Penyelesaian perkara," katanya, "tidak boleh hanya dipandang dari sudut kuantitas dan mengorbankan kualitas." Namun begitu, lanjutnya, setiap bulan pengadilan puncak militer, agama dan umum itu katanya bisa menyelesaikan 300 perkara setiap bulan. Dengan rendah hati Seno Adji, ketika melepas toga jabatannya 21 Februari lalu, menyatakan toga yang diterimanya dari Prof. Subekti dan Prof. Kusumahatmadja (Ketua-Ketua Mahkamah Agung sebelumnya) dirasakannya "terlalu besar bagi kami". Hal itu dulu, ketika diminta Presiden menjabat Ketua Mahkamah Agung, sudah pernah pula dikemukakannya. Ia memerlukan waktu 14 hari mempertimbangkan permintaan Presiden dan bertanya pada diri sendiri, "Apakah saya yang tidak pernah menjadi hakim ini sanggup menjadi Ketua Mahkamah Agung?" Tentang hukum perdata, katanya merendah, ia juga tak banyak tahu. Dan dengan niat dan kesediaan belajar, akhirnya diterima juga jabatan terhormat tersebut. "Dan sampai sekarang ini pun," katanya, "saya tetap berpendapat tidak tahu semua hal." Tapi, tentu saja ia tahu banyak kritik yang harus diterima Mahkamah Agung, semasa ia menjabat di sana. Bahkan umurnya pun dipersoalkan orang: mengapa tak juga pensiun meski umurnya telah melebihi batas yang ditentukan. Tak jarang ahli hukum sepuh ini terpaksa menanggapi kecaman -- meski sering lebih banyak diam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus