JANDA itu bernama Puti Sari. Umurnya 80 tahun, penduduk
Pakanbaru (Riau). Dialah contoh orang yang sampai benar-benar
merasa penat menguber keadilan. Ia terlibat dalam sengketa tanah
yang cuma 3.000 mÿFD luasnya -- sebuah perkara yang berumur 15
tahun. Menanti putusan demi putusan, mulai tingkat pertama,
banding sampai kasasi, katanya "bak berkeringat dalam air".
Terlampau meletihkan.
Puti sari menggugat lawannya, Zainal dkk, yang dituduhnya
menyerobot tanah warisan suaminya. Sengketa, yang dimulai 1962,
masuk ke pengadilan perdata 1966. Setahun kemudian putusan
tingkat pertama memenangkan Puti Sari. Lawan naik banding.
Putusan banding, yang tetap memenangkan penggugat, baru muncul
setelah delapan tahun ditunggu (1974). Zainal dkk. masih
mengulur waktu dengan naik kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai
panjang juga leher Nenek Puti menunggu putusan pengadilan
tertinggi. Setelah lima tahun berlalu tanpa kabar, Puti mengutus
anaknya, Firdaus, coba-coba bertanya ke Mahkamah Agung.
Kabar baik dari Jakarta. Mahkamah Agung memenangkan perkara
Puti. Dan, asal tahu saja, putusan kasasi sebenarnya telah
dikirim dari Jakarta lewat setahun dari 1979 ketika Firdaus
mengurusnya. Ketika ditanya tentang kelambatan itu. pejabat
pengadilan hanya menjawab, "Oh, masih banyak perkara yang lebih
lama dari itu." Begitulah cerita Firdaus kemudian.
Menang dari satu ke lain tingkat pengadilan, selain memakan
umur benar, tak cukup menggembirakan. Meski putusan sudah kuat
sejak 1978, begitulah ceritanya, baru Juni lalu Pengadilan
Negeri Pakanbaru melaksanakannya. Itu pun, kata Puti Sari,
setelah ia hampir setiap hari merengek-rengek di hadapan
pejabat pengadilan dan membayar eksekusi Rp 310 ribu.
Setelah eksekusi, bukan berarti urusan Puti Sari dengan
pengadilan jadi selesai. Dibantu seregu polisi, pengadilan
memang dapat mengangkat kedai milik Zainal dkk. dari tanah
sengketa. Puti Sari sempat pula memagar dan memasang tulisan,
"Dilarang masuk tanpa izin." Tapi, bekas lawannya toh
seenaknya saja melangkahi pagar dan kembali membangun gubuk.
Untuk menguasai kembali tanahnya Nenek Puti terpaksa kembali
berurusan dengan pengadilan, setelah melaporkan
penyerobot-penyerobot tanahnya ke polisi. Bulan ini perkara
pidana berlangsung. Apa putusannya belum lagi jatuh. Tapi, lama
berpengalaman dengan pengadilan, Puti Sari sudah keburu patah
hati. Bukankah bila penyerobot tanahnya dihukum urusan belum
selesai. Mereka masih bisa naik banding, kasasi -- dan entah
upaya hukum apalagi yang akan ditempuh.
Tapi urusan Puti Sari masih bernasib lumayan. Banyak perkara
yang resminya masih mendekam di pengadilan tapi berkasnya entah
ke mana. Misalnya seperti tercatat di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat: 63 perkara banding dari 1968 s.d. 1980 seharusnya
dikirim ke Pengadilan Tinggi. Tapi ternyata berkasnya tak dapat
ditemukan lagi.
Belum lagi yang terhitung macet. Ada perkara yang belum juga
dikirim ke pengadilan banding, meski sudah hampir 20 tahun
berkasnya menghuni gedung pengadilan. Memang, dari 1962 s.d.
1980, terdapat 433 perkara perdata dan pidana yang belum dikirim
ke Pengadilan Tinggi untuk dimintakan banding.
Ada lagi sejumlah besar perkara, sekitar 829, yang tak tentu
nasibnya. Inilah perkara perdata dan pidana yang ditangguhkan
pemeriksaannya dengan berbagai alasan -- sampai waktu yang tak
ditentukan. Sementara ada pula perkara yang sebenarnya sudah
selesai tapi tak juga diberitahukan kepada "pemiliknya". Yaitu,
265 putusan banding (dari 1965 s.d. 1980), dan 130 perkara
kasasi (sejak 1967).
Angka-angka itu baru dari sebuah pengadilan di Jakarta.
Kebetulan, Ketuanya, Soedijono mau membuka dan
memperlihatkannya. Di pengadilan-pengadilan lain -- entah di
berbagai Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi -- kalau
saja ada yang sudi membongkarnya, diperkirakan tak akan jauh
berbeda dengan yang ada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Di Mahkamah Agung sendiri perkara tak kurang pula tinggi
tumpukannya. Berapa? Angka yang pasti belum diperoleh. Tapi
salah seorang hakim agung, Hendrotomo, berani menyatakan:
"Banyak, banyak sekali . . . Lebih 7 ribu, tapi di bawah 10
ribu."
Mengapa begitu banyak? Beberapa sebab bisa dikemukakan. Misalnya
untuk membahas perkara perdata, yang kadang-kadang kasusnya
menyangkut hal-hal yang belum ditentukan undang-undang, bisa
makan waktu enam bulan. Banyak juga perkara yang terpaksa
ditunda-tunda, sambil menunggu kelengkapan administrasi. Padahal
surat bukti penting pun kadang-kadang dilupakan si pencari
keadilan.
Faktor sang Ketua Mahkamah Agung, menurut Hendrotomo (55 tahun),
purnawirawan jenderal angkatan darat berbintang dua ini, juga
ikut menentukan lambat dan cepatnya proses perkara kasasi.
Oemar Seno Adji, katanya sering membawa para hakim agung
berdiskusi panjang tentang sebuah perkara. "Itu memang baik,
berguna, tapi 'kan kurang praktis?," kata Hendrotomo. "Itu
memang penyakit profesor . . ." tambahnya.
Seno Adji tak membenarkan apa yang dikatakan Hendrotomo. Perkara
yang naik kasasi memang membanjir selama ia duduk pada jabatan
puncak hakim (1974 s.d. 1981). Namun begitu, katanya, perkara
yang belum terselesaikan hanya sekitar 3.000 buah.
Tunggakan perkara yang begitu, katanya, biasa terjadi di
Mahkamah-Mahkamah Agung negara lain Pada 1979, lanjutnya,
Mahkamah Agung RI punya sekitar 5 ribu perkara, sementara
Pakistan menyimpn sampai 16 ribu. "Jadi bukan kita tok yang
mengalami begitu," katanya membandingkan.
Benar seperti kata Hendrotomo, Profesor dan Guru Besar Hukum
Pidana UI berusia 65 tahun itu, memang tak pernah memandang
enteng suatu perkara. "Penyelesaian perkara," katanya, "tidak
boleh hanya dipandang dari sudut kuantitas dan mengorbankan
kualitas." Namun begitu, lanjutnya, setiap bulan pengadilan
puncak militer, agama dan umum itu katanya bisa menyelesaikan
300 perkara setiap bulan.
Dengan rendah hati Seno Adji, ketika melepas toga jabatannya 21
Februari lalu, menyatakan toga yang diterimanya dari Prof.
Subekti dan Prof. Kusumahatmadja (Ketua-Ketua Mahkamah Agung
sebelumnya) dirasakannya "terlalu besar bagi kami". Hal itu
dulu, ketika diminta Presiden menjabat Ketua Mahkamah Agung,
sudah pernah pula dikemukakannya. Ia memerlukan waktu 14 hari
mempertimbangkan permintaan Presiden dan bertanya pada diri
sendiri, "Apakah saya yang tidak pernah menjadi hakim ini
sanggup menjadi Ketua Mahkamah Agung?"
Tentang hukum perdata, katanya merendah, ia juga tak banyak
tahu. Dan dengan niat dan kesediaan belajar, akhirnya diterima
juga jabatan terhormat tersebut. "Dan sampai sekarang ini pun,"
katanya, "saya tetap berpendapat tidak tahu semua hal."
Tapi, tentu saja ia tahu banyak kritik yang harus diterima
Mahkamah Agung, semasa ia menjabat di sana. Bahkan umurnya pun
dipersoalkan orang: mengapa tak juga pensiun meski umurnya telah
melebihi batas yang ditentukan. Tak jarang ahli hukum sepuh ini
terpaksa menanggapi kecaman -- meski sering lebih banyak diam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini