SAMPAI pekan kemarin kalangan bisnis masih membicarakan
hilangnya perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman
modal dalann negeri PMDN). Jumlahnya bukan sedikit. Ada 295 dari
2.668 perusahaan yang terdaftar di seluruh Indonesia. Tak jelas
apakah perusahaan itu masih beroperasi atau sudah bubar. Yang
pasti alamatnya tak bisa ditemukan oleh BKPM.
Berita itu tersiar setelah selesainya rapat kerja BKPM (pusat)
dan BKPMD (daerah) yang berlangsung di Jakarta pertengahan
Februari. Hasil pendataan kembali (her registrasi) terhadap PMA
dan PMDN, yang dimulai akhir 1980 rupanya menjadi bahan
pembicaraan dalam pertemuan 4 hari itu.
Pendataan kembali PMA/PMDN yang dilaksanakan BKPM, bekerjasama
dengan Biro Pusat Statistik itu nampaknya cukup penting,
terutama dalam menyusun skala prioritas investasi. Semula memang
ada yang curiga kalau pendataan kembali atau sensus itu akn
berkaitan dengan perpajakan. Tapi penjabat Ketua BKPM Ismail
Saleh SH ketika itu menyingkirkan kecemasan tadi. "Tak ada
sangkut pautnya dengan pajak. Kami hanya ingin tahu jerohan
semua perusahaan yang ditangani BKPM. Saya tidak malu kalau tak
punya gambaran yang tepat tentang PMDN dan PMA. Sebab penilaian
atau judgment saya bisa keliru," katanya.
Bagi Deputi Bidang Perencanaan dan Promosi KPM, Ir. Anwar
Ibrahim "menghilangnya" perusahaan-perusahadn itu antara lain
disebabkan tak mau melapor kalau pindah alamat. Tapi dia
mengakui juga kesulitan untuk mengetahui PMA dan PMDN yang
terpencar di mana-mana itu tak lepas dari soal belum sempurnanya
pengawasan. "Aparat pengawasan masih sangat terbatas, dan BKPM
masih mendasarkan diri pada pekerjaan manual," ulasnya.
Ada yang berpendapat, perusahaan-perusahaan itu tak perlu
"menghilang" dengan mengabaikan kewajibannya untuk lapor, asal
ada peraturan yang tegas untuk masalah itu. Sebab, seperti yang
diakui Anwar Ibrahim tidak ada sanksi atau hukuman buat mereka
yang tak melapor. "Bahkan perusahaan yang tidak melaporkan
perkembangan perusahaannya pun tidak terkena sanksi apa-apa,"
katanya.
Mencabut Izin Usaha
Tapi ke mana hilangnya perusahaan-perusahaan itu? Ketua BKPMD
DKI Soebagio Tardjo SH memperhitungkan akibat kurangnya
kesadaran melapor. "Ada yang menghentikan usahanya karena tak
dapat kredit. Juga karena tak tercapainya persesuaian dengan
partner asing," katanya kepada TEMPO.
Jakarta sendiri cukup banyak menderita kehilangan. Dari 830 PMDN
sebanyak 108 tak diketahui rimbanya. Sedangkan PMA yang tercatat
403 buah, begitu didata kembali ternyata "hilang" 25 buah. Ada
yang memperkirakan di antara yang "hilang" itu termasuk yang
menyingkir agak keluar dari daerah DKI, karena tak kuat ditekan
harga tanah yang mahal.
Kepada mereka yang "menghilang" itu BKPMD DKI akan memasang
iklan. Menurut Soebagio dalam waktu kurang lebih 1 bulan kalau
tak juga melapor, BKPMD akan mengusulkan untuk mencabut izin
usaha mereka.
Lepas dari persoalan hilangnya berbagai alamat perusahaan tadi,
pengawasan yang dilakukan memang sangat terbatas. Ini terbentur
pada kurangnya personil. Tenaga pengawas yang ada di Jakarta
kabarnya hanya mampu mengawasi 400 perusahaan dalam setahun.
Padahal perusahaan yang ada berjumlah di atas 1.000.
Tak pelak lagi, masalah penanaman modal yang "hilang" itu
merupakan salah satu pekerjaan rumit yang menghadang Ketua BKPM
yang baru, Ir. Suhartoyo. Sebagai Dirjen Perindustrian yang
kemudian menjadi Dirjen Industri Logam dan Mesin (ILM) -- selama
hampir 15 tahun, dia bukan orang yang kemarin sore dalam urusan
investasi.
Dilantik pada 27 Februari ini, insinyur lulusan UGM yang pandai
mendalang itu belum mau banyak bicara. "Saya akan melanjutkan
seperti yang dikarakan Pak Ismail Saleh, yaitu pengawasan yang
ketat serta menghidupkan koordinasi," katanya menjawab TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini