Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mudjono, Tanpa Tank & Buldozer

Dilantik menjadi ketua Mahkamah Agung, memulai tugas barunya di MA dan rencana kerjanya. Sebelumnya dia telah menjabat Menteri Kehakiman selama 3 tahun.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI kantornya yang baru, di sebuah gedung tua di Jalan Lapangan Banteng Timur, Jakarta, ia tak perlu merasa canggung lagi. Pertama-tama ia minta agar meja kerjanya, sebuah meja berukir, diletakkan menghadap ke selatan. Jenderal berbintang dua dan kakek berumur 54 tahun yang punya 3 cucu ini sama sekali tak hendak mengesankan seperti umumnya seorang ketua lembaga pengadilan tertinggi negara -- sarat dengan ilmu hukum dan, misalnya, berbicara tentang Contempt of court. Jangankan tahu mengurus perkara kasasi, berpengalaman menjadi hakim banding pun, kata bekas Ketua Pengadilan Tentara ini, ia tak pernah. Menerima jabatan tertinggi bidang judikatif, lanjutnya, hanya dengan semangat seorang manager: mengurus agar pengadilan di mana-mana berjalan baik dan tak ada perkara menumpuk tak keruan. Menggambarkan tumpukan perkara yang harus dibereskannya di MA ia berkata: "Kalau boleh membawa tank dan buldozer tentu akan saya kerahkan." Belum lagi mengawasi, agar para hakim melayani para pencari keadilan secara bersih. Untuk itu, salah satu rencananya, membentuk beberapa wilayah -- semacam Kowilhan, begitulah. Di setiap wilayah akan ditempatkan hakim agung sebagai pengawas dan perwakilan. Tentu saja bila rencana itu dianggap dapat diuji manfaatnya. Di MA, katanya, tentu saja ia tak dapat menindak para hakim dengan cara-caranya ketika menjabat Menteri Kehakiman. Kini, beres dan tidaknya para hakim, katanya, dapat dinilai bila pencari keadilan mempergunakan upaya hukum kasasi. Pengusutan dan penyidikan terhadap tingkah-laku hakim, lanjutnya, hanya bisa dilakukan Dep. Kehakiman. "Saya tidak boleh tiba-tiba menegur." Dalam hal penyelesaian perkara ia tak ingin pihak eksekutif mencampuri urusan hakim. Tapi, pintu terbuka bagi Inspektur Jenderal Depkeh yang ingin memeriksa berkas, "untuk mencari bahan bila ada sangkaan pungli atau yang lain -- tapi bukan memeriksa dalam arti justisial." Begitu pun, katanya, MA tak akan mencampuri urusan administrasi dan personil hakim. Bila sebuah pengadilan membutuhkan seorang hakim, katanya, mutasi sepenuhnya akan diserahkan kepada Depkeh. MA hanya mengajukan persyaratan jabatan dan "siapa orangnya terserah Menteri Kehakiman." Dengan begitu, kata Mudjono, para hakim akan tahu siapa kepala mereka. Disumpah 18 Februari lalu, bekas Sekjen DPR/MPR (1972 - 1978) menerima jabatan dari Prof. Oemar Seno Adji tiga hari kemudian. Tentang alih jabatan ini, katanya "Semuanya ini adalah kehendak Allah . . . " Menjabat sebagai Menteri Kehakiman selama tiga tahun, katanya sambil menunjuk gedung Depkeh di Jalan Hayam Wuruk, "kalau saya tidak sekolah di sana, mungkin kurang mapan." Tapi untuk tidak dikatakan sok tahu, ia pun berkata, "biasanya jadi mualim di dermaga memang lebih pintar dari yang di kapal."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus