MEMASUKI kantornya yang baru, di sebuah gedung tua di Jalan
Lapangan Banteng Timur, Jakarta, ia tak perlu merasa canggung
lagi. Pertama-tama ia minta agar meja kerjanya, sebuah meja
berukir, diletakkan menghadap ke selatan. Jenderal berbintang
dua dan kakek berumur 54 tahun yang punya 3 cucu ini sama sekali
tak hendak mengesankan seperti umumnya seorang ketua lembaga
pengadilan tertinggi negara -- sarat dengan ilmu hukum dan,
misalnya, berbicara tentang Contempt of court.
Jangankan tahu mengurus perkara kasasi, berpengalaman menjadi
hakim banding pun, kata bekas Ketua Pengadilan Tentara ini, ia
tak pernah. Menerima jabatan tertinggi bidang judikatif,
lanjutnya, hanya dengan semangat seorang manager: mengurus agar
pengadilan di mana-mana berjalan baik dan tak ada perkara
menumpuk tak keruan. Menggambarkan tumpukan perkara yang harus
dibereskannya di MA ia berkata: "Kalau boleh membawa tank dan
buldozer tentu akan saya kerahkan."
Belum lagi mengawasi, agar para hakim melayani para pencari
keadilan secara bersih. Untuk itu, salah satu rencananya,
membentuk beberapa wilayah -- semacam Kowilhan, begitulah. Di
setiap wilayah akan ditempatkan hakim agung sebagai pengawas dan
perwakilan. Tentu saja bila rencana itu dianggap dapat diuji
manfaatnya.
Di MA, katanya, tentu saja ia tak dapat menindak para hakim
dengan cara-caranya ketika menjabat Menteri Kehakiman. Kini,
beres dan tidaknya para hakim, katanya, dapat dinilai bila
pencari keadilan mempergunakan upaya hukum kasasi. Pengusutan
dan penyidikan terhadap tingkah-laku hakim, lanjutnya, hanya
bisa dilakukan Dep. Kehakiman. "Saya tidak boleh tiba-tiba
menegur."
Dalam hal penyelesaian perkara ia tak ingin pihak eksekutif
mencampuri urusan hakim. Tapi, pintu terbuka bagi Inspektur
Jenderal Depkeh yang ingin memeriksa berkas, "untuk mencari
bahan bila ada sangkaan pungli atau yang lain -- tapi bukan
memeriksa dalam arti justisial."
Begitu pun, katanya, MA tak akan mencampuri urusan administrasi
dan personil hakim. Bila sebuah pengadilan membutuhkan seorang
hakim, katanya, mutasi sepenuhnya akan diserahkan kepada Depkeh.
MA hanya mengajukan persyaratan jabatan dan "siapa orangnya
terserah Menteri Kehakiman." Dengan begitu, kata Mudjono, para
hakim akan tahu siapa kepala mereka.
Disumpah 18 Februari lalu, bekas Sekjen DPR/MPR (1972 - 1978)
menerima jabatan dari Prof. Oemar Seno Adji tiga hari kemudian.
Tentang alih jabatan ini, katanya "Semuanya ini adalah kehendak
Allah . . . "
Menjabat sebagai Menteri Kehakiman selama tiga tahun, katanya
sambil menunjuk gedung Depkeh di Jalan Hayam Wuruk, "kalau saya
tidak sekolah di sana, mungkin kurang mapan." Tapi untuk tidak
dikatakan sok tahu, ia pun berkata, "biasanya jadi mualim di
dermaga memang lebih pintar dari yang di kapal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini