Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bersihkan pengadilan, sapu baru soal lama

Upaya penertiban badan peradilan, & masalah kedudukkan hakim yang akhir-akhir ini kurang berperan dalam menegakkan hukum. pelantikan ketua ma (mudjono), jaksa agung (ismail saleh) menteri kehakiman .(hk)

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUAN penertiban dalam tubuh badan-badan peradilan adalah agar kekuasaan kehakiman benar-benar ampuh dalam menegakkan hukum dan memberi rasa keadilan pada masyarakat. (Pidato Presiden pada pengambilan sumpah Ketua Mahkamah Agung RI). ALI Said, Ismail Saleh, Mudjono apakah ke-3 nama ini yang disebut tiga pendekar penegak hukum Pemunculan ketiga jenderal lulusan PTHM (Perguruan Tinggi Hukum Militer) tersebut, yang dilantik 18 Februari lalu, tampaknya memang dalam usaha penertiban dunia peradilan, yang belakangan ini berjalan dengan cukup sambutan. Orang umumnya memang memandang lembaga peradilan dengan mencemooh. Untuk mengambil contoh kecil saja: martabat hakim di mata mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia sudah sangat merosot. Ini tercermin dari pengumpulan pendapat, atau poll menjelang diskusi di FH-UI tentang kedudukan hakim akhir pekan lalu. Mungkin karena Opstib baru saja mengumumkan kebejatan praktek beberapa hakim senior di Pengadilan Negeri akarta Pusat, 83% dari 167 mahasiswa yang ikut dalam poll itu, menyatakan tak berminat menjadi hakim. Alasannya, di samping merasa tak ada panggilan, ada yang terus terang khawatir profesi hakim tak dapat menyejahterakan kehidupan mereka. Yang terang, kesan yang dibangun para hakim selama ini cukup jelek di mata mahasiswa kurang berperan dalam penegakan hukum. Tak bisa dielakkan, kesan ada kekuatan ekstrajustisial yang mempengaruhi kekuasaan hakim, sangat mendalam. Baik pengaruh dari penguasa maupun dari sebuah benda yang bernama uang. Adnan Buyung Nasution, pembicara dalam diskusi yang meriah itu (di samping Hakim Tinggi Bismar Siregar), merumuskan dalam kata-kata ketidakpercayaan mahasiswa akan lembaga yang sekarang: "Dengan sistem hukum dan politik sekarang ini," kata Buyung, "betapa pun hebatnya tiga pendekar hukum, tidak akan membawa angin baru." Mudjono, Ketua Mahkamah Agung yang baru, menurut Buyung, memang hebat. Mulai dari cara bekerjanya ("betah di kantor sampai larut malam"), kejujurannya ("boleh dibilang lugu") sampai dengan ketegasannya ("berani bcrsikap keras kepada hakim senior"). Kata Buyung, semua itu tak usah diragukan lagi. Tapi sistem hubungan pemerintah-pengadilan atau judikatif-eksekutif "hanya membuat Mudjono seperti dikorbankan dalam medan yang bisa menghancurkannya sendiri." Advokat dan juga Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta itu seperti hendak mengembalikan urusan pada persoalan lama. Kedudukan hakim di sini belum pas benar: Mahkamah Agung hanya mengurus hakim-hakimnya dari segi teknis justisial. Selebihnya urusan administrasi, penempatan personil dan yang penting: gaji -- diurus atau dikuasai eksekutif, Departemen Kehakiman. Atau dengan kalimat klise, kepalanya ibarat berada di Mahkamah Agung, perutnya masih diurus Departemen Kehakiman. Karena masalah perut begitu penting, kata Buyung, maka dalam sistem yang berlaku sekarang ini hakim "lebih merasa sebagai pejabat negara, ambtenaar, daripada menjadi hakim yang otonom." Akibat lebih jauh, katanya, "bisa kita lihat selama ini: jaksa dan hakim yang satna-sama pegawai negeri, sering terlihar memanipulasi undang-undang dan peraturan -- apalagi bila perkara sudah menyangkut kepentingan pemerintah." Apa yang dikemukakan Buyung, sebenarnyalah, bukan hal baru -- meskipun ia dapat saja mengemukakan contoh-contoh baru. Soal itu sudah menjadi perdebatan sejak 10 tahun terakhir ini. Yaitu sejak lahirnya Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970. Ketentuan baru, yang diharapkan mendudukkan para hakim pada tempatnya yang terpisah dari deretan pegawai negeri, dinilai sangat mengecewakan. Beberapa yang menyangkut kedudukan hakim -- seperti organisasi, administrasi dan keuangan tadi -- memang masih diatur di bawah kekuasaan eksekutif. Meskipun dalam peraturan yang sama ditegaskan adanya peradilan yang bebas dari campur tangan badan atau instansi mana pun. Sejak itu, hingga kini, masih dipertanyakan: adakah undang-undang tentang kekuasaan peradilan yang bebas itu juga melepaskan tekanan terhadap hakim? Memang tidak semua hakim mudah tunduk kepada tekanan dari luar. Meski, tak bisa tidak, lebih banyak sikap mereka yang terbentuk oleh hirarki kepegawaian loyal kepada si pemberi gaji. Pada mulanya, tahun-tahun pertama berlakunya UU yang mengatur kedudukan hakim, bekas Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata (70 tahun) pernah mengatakan: "Harus dipisahkan antara kebebasan personil dan institusional". Kebebasan institusional, kata pengacara tua ini, boleh merupakan langkah awal sebelum muncul ketentuan bagi kekuasaan judikatif mengurus personilnya sendiri. Banyak hakim yang merasa telah mengenyam kebebasan institusional itu. Namun tak kurang pula yang mengeluh. Misalnya, dalam kasus Pluit, ada yang merasa terpaksa membebaskan Endang Wijaya dari tahanan karena harus memenuhi "permintaan" instansi lain. Sedangkan seorang anggota DPR, V.B. da Costa, tak kurang-kurang pula mengetengahkan beberapa bukti -- kelepaksaan atau bukan -- bahwa badan pengadilan tertinggi negara memenuhi permintaan pihak eksekutif yang dianggapnya melanggar kebebasan institusional pengadilan. Da Costa malah sampai mencerca Mahkamah Agung, dengan mengatakannya telah berpraktek anti justitieel dan bahkan curang. SERANGAN yang agak terbuka ialah ketika Endang Wijaya, yang oleh pengadilan dilepaskan dari tahanan, tiba-tiba di tangkap dan ditahan Laksusda Jaya. Kalangan hukum serentak menuduh Laksus "mencampuri kewenangan pengadilan". Seno Adji ketika itu menjawab campur tangan tersebut dengan tak kurang pedasnya: "Bahkan Presiden saja tak pernah mengungkit-ungkit putusan pengadilan". Sementara itu kebebasan personil, yang belum juga memperoleh bentuk, sudah lama tak jadi pembicaraan -- sebelum Buyung Nasution bicara minggu lalu. Hingga 10 tahun berlalu, peraturan tersendiri tentang gaji dan tunjangan hakim, masih merupakan janji undang-undang. Begitu pula kebebasan personil, setelah institusional, seperti diharapkan orang macam Mr. Lukman, rupanya macet. Adnan Buyung Nasution -- seperti banyak yang lain -- ingin pemisahan mutlak antara kekuasaan badan eksekutif dan judikatif. "Mengapa tidak menyerahkan segala macam urusan gaji, pengangkatan dan penempatan hakhn sepenuhnya kepada Mahkamah Agung?" katanya. Namun Presiden Soeharto, seperti sambutannya dalam upacara pengambilan sumpah Ketua Mahkamah Agung dan para Hakim Agung yang baru, pekan lalu masih belum menyinggung soal pemisahan kekuasaan. Yang harus dikembangkan, kata Presiden, justru kerjasama. "Tentu saja," sambung Presiden, "dalam mengembangkan kerjasama tadi, kedua-duanya harus teguh menjalankan wewenang dan tugas masing-masing."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus