Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOROTAN lampu kamera televisi dan kilauan jepretan fotografer dengan rakus "melahap" tumpukan duit yang diletakkan di sebuah meja salah satu ruang gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah para juru kamera TV dan fotografer "mengabadikan" benda itu, dua pegawai BRI dengan cepat memasukkan kembali duit itu ke sebuah tas besar dan membawanya pergi. "Jumlahnya sekitar Rp 5 miliar," kata Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean.
Itulah barang bukti berupa uang sitaan perkara rekanan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melibatkan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU. Kamis pekan lalu, uang yang sebelumnya tersimpan di brankas KPK itu akan disimpan di Bank Rakyat Indonesia. Menurut Tumpak, duit itu terdiri dari pecahan Rp 1,6 miliar, US$ 368 ribu, dan 82 lembar travelers cheque senilai Rp 530 juta.
Uang sitaan itu akan dibenamkan ke dalam 16 rekening di Bank BRI Cabang Veteran, Jakarta Pusat, atas nama KPK. Bunganya, kata Tumpak, masuk ke kas negara. Selain uang, KPK juga menyita sebidang tanah di pinggiran Bogor atas nama Hamdani. Luasnya sekitar 750 meter persegi.
Uang itu sebagian ditemukan di ruang kerja Hamdani di KPU, ketika Mei lalu sejumlah penyidik KPK menggeledah ruang kerjanya tersebut. Di sanalah KPK menemukan uang tunai dan travelers cheque senilai Rp 2 miliar. "Selain dari hasil penemuan saat penggeledahan, ada juga uang yang berasal dari pengembalian sejumlah orang," ujar Tumpak.
Sejak kasus suap Mulyana mencuat, banyak pihak yang selama ini mengantongi dana saweran rekanan KPU seperti kebakaran jenggot. Satu per satu, tanpa diminta, mereka mengembalikan duit kolekan itu ke KPK. Mereka, antara lain, Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin sebesar US$ 45 ribu (sekitar Rp 427 juta), dan mantan Sekretaris Jenderal KPU Safder Yussac sebesar US$ 14 ribu (Rp 133 juta).
Tak hanya orang KPU, dua pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga menerima duit itu segera buru-buru mengembalikan duit kolekan rekanan KPU itu. Mereka Ketua Tim Audit BPK untuk KPU Djapiten Nainggolan (Rp 550 juta) dan Wakil Ketua BPK Abdullah Zaeni (Rp 100 juta).
Semua penerima duit itu sudah diperiksa KPK dan bahkan di antaranya kini sedang disidang di pengadilan ad hoc korupsi. Nazaruddin Syamsuddin dan Hamdani kini menyandang status tersangka. Adapun Pelaksana Harian Sekretaris Jenderal KPU, Sussongko Suhardjo, sejak dua pekan lalu harus berhadapan dengan para hakim pengadilan antikorupsi.
KPK belum mengambil sikap terhadap mereka yang mengembalikan duit itu. KPK, ujar Tumpak, masih meneliti, misalnya, apakah pemberian duit tersebut karena berhubungan dengan jabatannya atau tidak. "Mereka menerima dalam rangka apa? Penyidik masih mendalami kasus ini," ujarnya.
Tumpak memberi contoh dana yang ada pada Djapiten Nainggolan. Usai pemeriksaan KPK pada 16 Juni lalu, Djapiten mengaku menerima Rp 550 juta dari KPU. Uang itu untuk biaya perjalanan mingguan tim auditor. Dengan pengakuan itu, kata Tumpak, penyidik masih menyelidiki apakah uang transpor seperti itu dibolehkan.
Contoh lain diberikan Tumpak adalah pengembalian uang oleh Abdullah Zaeni. Usai pemeriksaan KPK pada 15 Juni lalu, Zaeni mengaku sempat menerima uang Rp 100 juta dari KPU saat menjadi Ketua Panitia Anggaran DPR. Uang itu diterima pada 2 September 2004 sebagai kado pernikahan anaknya. Lalu, Zaeni mengembalikannya. Tapi, rupanya, KPK tak begitu saja percaya. "Itu katanya. Tapi, setahun tidak dibuka-buka," ujar Panggabean.
Bagi Tumpak, pemeriksaan kasus pengembalian dana itu bukan lagi persoalan sulit. Sebab, barang bukti sudah diambil dan para penerima dana yang mengembalikan itu sudah diperiksa. Menurut Panggabean, pihaknya tetap akan memprioritaskan kasus dugaan korupsi di KPU. "Kami dikejar terus (oleh masyarakat), tersangka kasus KPU lainnya mana?" ujarnya.
Kendati demikian, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku itu memastikan tetap akan menyelidiki kasus pengembalian dana KPU. "Meski uangnya dikembalikan, ini tidak menghapuskan dugaan tindak pidana yang mereka dilakukan," ujarnya. Mereka, kata Panggabean, untuk sementara berstatus saksi. Dan tidak tertutup kemungkinan meningkat statusnya menjadi tersangka.
Pemberian hadiah atau semacamnya ini lazim disebut sebagai gratifikasi. Soal gratifikasi itu sudah diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Korupsi (Pasal 11) dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (Pasal 16).
Menurut Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, ada persoalan hukum perihal gratifikasi itu. Menurut dia, Undang-Undang KPK memang mencantumkan gratifikasi. Hanya, kata Erry, Undang-Undang KPK itu baru berlaku pada akhir 2003. "Jadi, perlu diketahui kapan terjadinya gratifikasi," ujarnya. Penyidik KPK, kata Erry, juga mempertimbangkan motivasi terjadinya gratifikasi.
Praktisi hukum pidana sekaligus pengajar Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menilai para penerima dana batil KPU itu bisa dijerat Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. "Kalau persoalan ini tidak dilanjutkan, percuma saja pasal itu ditaruh di undang-undang," ujarnya.
Menurut Indriyanto, setiap pegawai negeri yang menerima pemberian dikategorikan gratifikasi. Undang-undang, kata dia, sudah memberi warning bahwa gratifikasi wajib dilaporkan dalam 30 hari. Jika jumlahnya di atas Rp 10 juta, pejabat itu melapor ke KPK. Dan jika di bawah Rp 10 juta, cukup melapor ke kejaksaan. "Menurut aturan, jika masa itu berlalu, bisa dikategorikan suap," ujarnya. Dalam undang-undang, kata Indriyanto, tidak mengenal istilah uang lelah, uang transpor, atau uang ucapan terima kasih. "Seorang pejabat yang memberi janji bahkan sudah bisa dianggap gratifikasi, meski belum ada uangnya," katanya.
Seperti Tumpak, Indriyanto menegaskan, meski uang dikembalikan, bukan berarti tindak pidananya terhapus. "Pengembalian itu bukan justifikasi atau alasan mereka lepas dari jerat hukum," ujarnya. Pengembalian uang itu, kata dia, malah mengukuhkan adanya tindak pidana dan dugaan suap di antara mereka.
Pekan lalu Tempo menyambangi Abdullah Zaeni ke kantornya di BPK untuk meminta konfirmasi perihal duit Rp 100 juta "kado pernikahan" anaknya. Tapi, melalui sekretarisnya, ia menolak diwawancarai. "Tak ada yang perlu ditambahkan," demikian ujarnya lewat sekretarisnya. Menurut Abdullah, keterangan soal itu sudah disampaikan usai pemeriksaan di KPK, Juni lalu. Nainggolan juga sama. Ia tak mau menjawab pertanyaan soal uang yang telah dikembalikan itu. "Semua sudah saya jelaskan usai pemeriksaan di KPK. Lagi pula, saya sudah habis-habisan di media massa," ujarnya, Kamis pekan lalu.
Sukma N. Loppies, Agriceli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo