Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti dan Pendiri Lokataru Haris Azhar telah menjadi korban judicial harassment dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi mengatakan Haris dan Fatia telah dikriminalisasi menggunakan perangkat hukum untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Secara umum, dilanjutkannya kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia,” kata kuasa hukum Haris Azhar dan Fatia, Muhammad Isnur, sekaligus Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) saat ditemui di kantor YLBHI di Jakarta Pusat, Ahad, 2 April 2023. Isnur juga mewakili YLBHI dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 53 organisasi nonpemerintah di bidang advokasi hukum dan perlindungan HAM.
Ancaman serius bagi kebebasan sipil
Menurut Isnur, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. Selama beberapa tahun terakhir, kebebasan berekspresi di Indonesia tak kunjung mengalami kemajuan. Hal ini ditandai dengan masifnya penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa terhadap demonstrasi secara berlebihan, kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis yang mengkritik pemerintah dan sejumlah pelanggaran lainnya.
Selain itu, Undang-undang ITE kembali menjadi momok bagi kebebasan berpendapat di ruang digital. Berbagai pasal karet yang ada dalam undang-undang ini terbukti telah memakan banyak korban.
“Belum lagi penggunaan instrumen hukum tersebut begitu diskriminatif, sebab hanya akan menjerat mereka yang dikategorisasikan sebagai bukan simpatisan pemerintah,” ujar Isnur.
Isnur menuturkan sengan UU ITE yang tak kunjung direvisi oleh pemerintah, masyarakat semakin enggan berpendapat di platform media sosialnya masing-masing karena takut dikriminalisasi. Langkah pemerintah untuk mengeluarkan pedoman implementasi pun tak efektif berjalan. Produk hukum semacam ini, menurut Koalisi, diperparah dengan kemunculan pasal-pasal anti-demokrasi di KUHP baru yang baru disahkan akhir tahun 2022 lalu.
Tak ada perlindungan untuk pembela HAM
Kemudian, proteksi terhadap kerja-kerja Pembela HAM (human rights defender) di Indonesia masih sangat lemah. Walaupun sudah ada beberapa instrumen seperti halnya Standar Norma dan Pengaturan (SNP) terkait Pembela HAM yang diterbitkan oleh Komnas HAM, nyatanya kerja pembelaan HAM seringkali dalam ancaman.
“Pembungkaman pun terus menerus dilakukan dengan berbagai cara oleh perangkat negara,” ujar Isnur.
Di sisi lain, ketika Pembela HAM meminta keadilan atas peristiwa yang menimpanya, saluran-saluran tersebut dalam rangka akuntabilitas pun tertutup. Hal ini pada akhirnya membuat mereka yang bekerja membela kepentingan publik berada pada kerentanan.
Selanjutnya, kritik publik merupakan bagian dari HAM dan unsur penting dalam negara demokrasi. Selain dilindungi oleh berbagai instrumen HAM baik nasional maupun internasional, aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari masyarakat sipil dalam mengawasi kerja pemerintah agar tak terjadi absolutisme kekuasaan.
Tak ada pembuktian
Selain itu, kritikan Fatia dan Haris tidak pernah dibuktikan sebaliknya, sehingga tak dapat diklasifikasikan sebagai berita bohong. Sampai sejauh ini, Luhut Binsar Panjaitan tidak pernah memaparkan data bantahan berkaitan dengan keterlibatannya pada praktik bisnis pertambangan yang ada di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.
“Hasil riset yang dibuat oleh sembilan organisasi masyarakat sipil yang menjadi landasan kritikan Fatia dan Haris juga seharusnya dibiarkan menjadi diskursus publik terkait permasalahan tambang di Papua, bukan justru dijadikan dasar pelaporan tindak pidana,” ujar Isnur.