BERZINAH saja sudah cukup untuk menggemparkan penduduk sebuah desa. Apalagi seperti yang terjadi di Desa Burean, Kecamatan Amarasi, sekitar 60 km dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perbuatan itu dilakukan seorang ibu muda dengan dua pemuda yang kebetulan ditemuinya di jalanan. Dan inilah yang tidak bisa diampuni: berzinah ramai-ramai itu dilakukan di gereja desa itu. Perbuatan tidak senonoh, yang terjadi awal bulan lalu, itu sempat meresahkan penduduk Burean. Sebagian dari penduduk bahkan tidak lagi menggunakan gereja, yang mereka anggap sudah kotor itu, untuk tempat beribadat. Tetapi soal rumit itu ternyata akhir bulan lalu diselesaikan dengan gampang oleh pemuka desa. Tanpa melalui prosedur yang berbelit-belit, peradilan adat di desa itu berhasil mengembalikan ketenteraman penduduknya -- memang itulah salah satu tujuan hukum untuk mencapai ketertiban di masyarakat. Melalui peradilan adat itu kedua lelaki yang dianggap mengotori gereja dan penduduk desanya, Jeremias Bureni, 27, dan Alosius Fini, 25, dihukum membayar denda satu karung beras dan seekor babi senilai Rp 265 ribu, sementara si ibu rumah tangga yang melayani mereka, Margaretha Nenoharan, 29, diganjar hukuman denda Rp 10 ribu. "Vonis adat" itu memang pantas dijatuhkan kepada ketiga orang tadi. Suatu hari, awal September, Margaretha, yang tinggal bersama suaminya di Terbatan, berangkat menuju kampung asalnya Burean, sekitar 5 km dari tempat tinggalnya, untuk melihat mertuanya yang lagi sakit. Ia, yang biasa bolak-balik antardesa itu, memang berangkat sendiri dengan menggendong bayinya yang baru berusia 8 bulan. Ketika sampai di Desa Burean, sekitar pukul 19.30, seorang pemuda, Jeremias, menghampiri Margaretha dan menawarkan diri untuk mengantarkan ibu dan anak itu. Bersama Jeremias ada pemuda lain, Alosius. Margaretha tidak menolak tawaran itu. Tapi, menjelang sampai di rumah mertuanya, entah siapa yang mengajak, rombongan itu berbelok ke sebuah gereja kecil di pinggir jalan. Di tempat suci itulah perbuatan terkutuk itu terjadi. Kedua pemuda tadi secara bergantian menggauli Margaretha di hadapan bayinya. Tapi, entah kenapa, Alosius kemudian meninggalkan Margaretha dan Jeremias yang tengah bergumul, melaporkan kejadian itu ke pemuka desa. "Ada orang berzinah di gereja," katanya. Karena laporan itu, penduduk berbondong-bondong mendatangi gereja. Tapi di tempat itu penduduk hanya menemukan Margaretha dan bayinya -- Jeremias sudah keburu kabur. Penduduk, yang menyangka Margaretha diperkosa, jadi ribut dan menuntut agar Jeremias ditangkap. Alosius, malam itu, terhindar dari amukan penduduk yang tidak menyangka bahwa saksi pelapor itu juga terlibat. Tapi, setelah Margaretha diperiksa pamong desa, persoalan menjadi jelas. Yang terjadi hanyalah perzinahan antara dua lelaki dan seorang wanita. Apalagi, setelah Jeremias menyerahkan diri dan mengungkapkan kejadian itu, persoalan semakin jadi jelas. Semula perkara itu akan diserahkan ke polisi. Tapi, kata pemuka adat di desa itu Biomata, 60, rencana itu dibatalkan karena pihak yang berperkara meminta penyelesaian secara adat. Artinya, kendati persoalan berbau pidana, akan diselesaikan secara damai. Kebetulan pula, kasus perzinahan semacam itu di dalam ketentuan hukum pidana termasuk kategori delik aduan tidak ada perkara jika pihak suami tidak mengadu. Begitulah, dipimpin Biomata, persidangan adat dilangsungkan. Margaretha hadir di sidang didampingi suaminya, Dominggus Nenoharan, dan mertuanya. Ia pun mengaku secara jujur, "Saya khilaf," katanya. Alosius di sidang itu juga mengaku polos, "Saya hanya sebentar melakukan. Jeremias yang lebih banyak berperan." Sayangnya, Jeremias, yang semula sudah menyerahkan diri, menjelang sidang menghilang sehingga hanya diwakili keluarganya. Dominggus juga ditanyai majelis adat apakah ia bisa memaafkan kesalahan istrinya. "Secara adat ia sangat berperan menentukan hasil persidangan itu," kata Biomata. Untunglah, Dominggus pemaaf. Lelaki itu mengulurkan tangannya kepada istrinya. "Saya memaafkan kesalahannya -- ia khilaf," kata Dominggus, yang membuat haru para hadirin. Vonis pun jatuh. Semua denda itu, menurut Biomata, akan digunakan untuk doa syukuran guna membersihkan kembali desa yang sudah dikotori ketiga orang tadi. "Desa harus dibersihkan kembali. Dan semua penduduk desa akan diundang dalam upacara itu, agar mereka juga tahu bahwa persoalan itu sudah selesai," kata Biomata. Sekaligus pula upacara itu dimaksudkan sebagai tempat bagi semua warga desa memaafkan anggotanya dan menerima mereka kembali di masyarakat. Bulan ini juga upacara itu direncanakan sudah bisa berlangsung. Sebab, sejak awal bulan, semua "terhukum" sudah mencicil hukumannya. Keluarga Jeremias, misalnya, menyanggupi membayar Rp 155 ribu. "Dari hasil penjualan sapi piaraan Jeremias," kata keluarganya. Tapi dibenarkankah penyelesaian secara adat itu? Di bidang perdata, hukum adat memang masih berlaku, selama para pihak bisa menerima. Tapi untuk pidana -- yang seharusnya tunduk pada hukum nasional? Biomata menyebutkan semua penyelesaian adat itu tidak menutup penyelesaian pidana. Untuk kasus di atas memang pidananya sudah terhapus karena suami Margaretha bersedia damai. Lagi pula, kata Biomata, penyelesaian adat sekarang ini sudah jauh lebih ringan daripada masa lalu -- pada masa lalu si terdakwa harus dihukum dengan siksaan. "Tambahan pula, sekarang, kalau orang yang pernah dihukum secara adat melakukan kesalahan lagi, ia akan diserahkan ke polisi," kata Biomata. Cara adat yang mungkin perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan soal-soal pidana ringan -- tanpa prosedur berbelit-belit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini