Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CATATAN ”kesuksesan” Bulog tak saja berhasil dengan cepat mengimpor beras atawa menstabilkan harga, tapi juga mengirim petingginya ke bui. Korupsi, penjualan aset, dan penyelewengan dana nonbujeter untuk kepentingan di luar urusan jual-beli beras, penyebab terbanyak yang mengubah para pejabat Bulog itu menjadi pesakitan.
Salah satu yang paling legendaris adalah ”kasus Budiadji”. Kepala Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur ini ditangkap satuan pelaksana khusus pada 1977 karena mengkorupsi dana penjualan beras Rp 7,6 miliar. Budiadji diajukan ke meja hijau dan oleh Pengadilan Negeri Balikpapan divonis penjara seumur hidup. Berkat grasi dari Presiden Soeharto, hukumannya jadi 20 tahun penjara. Setelah mendapat kado remisi berkali-kali, pada 1985 Budiadji pun bebas.
Pada 1990 giliran putra Soeharto, Hutomo ”Tommy” Mandala Putra, menggangsir duit Bulog. Lewat perjanjian tukar guling, dengan bendera PT Goro Bhatara Sakti, Tommy mencaplok lahan pergudangan Dolog seluas 30 hektare di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam perjanjiannya, lahan itu akan ditukar dengan 63 hektare tanah plus fasilitas perumahan karyawan Bulog di Marunda, Jakarta Utara.
Namun, meski lahan dan gudang Dolog sudah beralih ke Goro, tanah pengganti belum dibebaskan sepenuhnya. Sebaliknya, Bulog justru sudah mengucurkan dana Rp 20 miliar untuk pembebasan tanah itu. Kasus tukar guling ini masuk kejaksaan. Mereka yang terlibat dalam kasus ini pun satu per satu diajukan ke pengadilan.
Tommy, misalnya, dihukum 18 bulan penjara plus denda Rp 30 miliar. Hanya, berbeda dengan rekannya Ricardo Gelael, urusan hukuman Tommy ini jadi panjang lantaran ia terlibat dalam pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Gelael memilih langsung masuk bui dan tak berapa lama bebas. Hokiarto, pengusaha yang mengaku memiliki lahan di Marunda, bebas. Sedangkan Kepala Bulog Beddu Amang dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Pada Maret lalu, Beddu sudah bebas dari penjara.
Peristiwa terheboh menyangkut penilapan duit Bulog adalah ”kasus Soewondo”. Mengaku tukang pijat sekaligus utusan Abdurrahman Wahid yang ketika itu presiden, Soewondo berhasil memperdaya Wakil Kepala Bulog, Sapuan, untuk mencairkan duit Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Bulog Rp 35 miliar.
Kasus ini lalu berkembang menjadi drama politik yang panas. Pada 23 Juli 2001 MPR mencabut mandat Gus Dur. Selain menjungkalkan Gus Dur, kasus ini membuat Sapuan meringkuk dua tahun di penjara. Harapannya menjadi Kepala Bulog, karena telah membantu Gus Dur seperti dijanjikan Soewondo, tak pernah menjadi kenyataan. Sowoendo juga diganjar tiga setengah tahun penjara.
Bustanil Arifin, Kepala Bulog terlama dalam sejarah Bulog, juga hampir masuk penjara lantaran duit beras ini. Pada 1990 pria berkepala licin yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Soeharto itu mengeluarkan dana Rp 10 miliar untuk pembelian tanah milik putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Kejaksaan Agung menghitung ada penggelembungan dana hingga Rp 8,2 miliar dalam pembelian tanah seluas 4.000 meter persegi itu. Belakangan, pemeriksaan terhadap Bustanil dihentikan. Pernyataan resmi kejaksaan, tak ada bukti Bustanil melakukan korupsi.
Pejabat tertinggi Bulog terakhir yang masuk penjara adalah Rahardi Ramelan. Rahardi tersandung kasus dana nonbujeter senilai Rp 40 miliar yang juga menyeret Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung. Dana yang mestinya untuk bantuan masyarakat miskin itu diduga mengalir ke kantong Akbar Tandjung. Pengadilan negeri menghukum Akbar tiga tahun penjara, tapi di Mahkamah Agung Akbar dinyatakan tak bersalah.
Ini berbeda dengan nasib Rahardi, yang harus meringkuk dua tahun di penjara. ”Saya ditinggalkan dan jadi korban,” kata Rahardi, yang ketika itu dikenal sebagai ”orang Golkar”. Rahardi kini sudah bebas dan menyepi di rumahnya di kawasan Cibubur, Jakarta Selatan. Ia memilih menjadi dosen ketimbang terlibat lagi di dunia politik.
Duit beras Bulog memang bisa membuat orang gelap mata. Kini korban pun terus menyusul.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo