BERLEBARAN tanpa sanak saudara ibarat makan sayur ketupat tak bergaram. Hambar. Begitulah suasana Idul Fitri yang kini mesti dikecap Hutomo Mandala Putra, terpidana 15 tahun penjara yang mendekam di bui Nusakambangan. Usai mengikuti salat Idul Fitri di Masjid At-Taubah yang terletak di tengah lapangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, dan setelah beramah tamah ala kadarnya dengan para penghuni penjara lain, Tommy langsung masuk kembali ke selnya.
Toh, pada Hari Raya, anak kesayangan Soeharto itu menerima sebuah "bingkisan Lebaran" dari pemerintah. Bersama Bob Hasan, tetangganya di penjara sekaligus orang kepercayaan ayahnya, Tommy dianugerahi remisi atau pengurangan masa hukuman selama 30 hari.
Sepintas, remisi bagi Tommy tampak biasa saja. Menurut Kepala LP Batu, Soemantri, usul agar Tommy mendapat diskon masa tahanan melalui jalur yang wajar. Datangnya murni dari tim pengawas LB Batu. Dari 171 narapidana yang mendekam di sana, 156 orang diusulkan mendapat potongan karena dianggap berkelakuan baik. Yang tak diusulkan memperoleh remisi adalah mereka yang dinilai melanggar disiplin penjara, divonis hukuman mati, atau pesakitan seperti Erwan, yang dipenjara seumur hidup karena terlibat peledakan bom BEJ.
Tapi, tak urung, kemurahan hati pemerintah ini menebar syak wasangka. Sumber TEMPO yang mengaku dekat dengan keluarga Soeharto, misalnya, mengungkapkan pemberian diskon ini tak lepas dari lobi Cendana ke segala penjuru. "Mulai dari kepala LP di Nusakambangan hingga ke Teuku Umar (rumah Presiden Megawati—Red.)," ujarnya. Lebih dari itu, katanya lagi, remisi ini cuma langkah awal. Berikutnya, klan Soeharto juga sedang menyiapkan sejumlah bukti baru untuk mengajukan peninjauan kembali kasusnya, supaya sang Pangeran Cendana tak lagi perlu meringkuk di hotel prodeo.
Kabar itu keras dibantah Soemantri maupun Rachso Bawono, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Jawa Tengah. "Remisi itu keluar karena ada peraturannya, bukan karena lobi Keluarga Cendana," Rachso menegaskan.
Toh, jika diteliti lagi, bau adanya perlakuan istimewa di balik remisi Tommy bukanlah tanpa alasan. Diskon masa tahanan ini yang kedua kali dianugerahkan kepadanya. Potongan yang pertama, juga selama sebulan, telah diberikan dalam rangka Hari Kemerdekaan 17 Agustus lalu—hanya dua minggu setelah ia divonis pengadilan. Adapun yang kedua dia dapatkan belum genap lima bulan setelah ia masuk bui, begitu resmi dinyatakan menjadi narapidana.
Padahal, Undang-Undang No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan tegas menyatakan remisi hanya boleh diberikan pada terpidana -- mereka yang telah divonis pengadilan. Sedangkan Keputusan Presiden (Keppres) 174/1999 menyatakan yang berhak mendapat remisi umum satu bulan adalah mereka yang telah menjalani masa pidana 6-12 bulan. Jadi, jika dihitung dari kapan ia divonis, Tommy belum berhak mendapat remisi.
Keistimewa ini tak kurang pernah dipertanyakan oleh Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. "Seseorang menjadi terpidana sejak vonisnya berkekuatan hukum tetap. Saat Tommy ditahan selama proses pengadilan, statusnya bukan terpidana," Bagir menegaskan.
Tapi Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra berpendapat lain. Menurut dia, masa pidana Tommy dihitung sejak menjalani tahanan, bukan terhitung sejak ia divonis. "Hal itu jelas disebut dalam Pasal 7 Keppres 174," kata Yusril.
Menanggapi polemik tersebut, Harkristuti Harkrisnowo, seorang ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, menyatakan persoalannya terletak pada isi Keppres 174, yang bertentangan dengan UU Pemasyarakatan yang kedudukannya jelas lebih tinggi. "Pemerintah harus merevisi Keppres itu," ujarnya. Di mata Harkristuti, berpegang pada keputusan presiden itu, pemberian remisi kepada Tommy memang bisa ditafsirkan tak melanggar hukum. Tapi yang jelas, katanya lagi, itu melanggar "rasa keadilan masyarakat".
Iwan S., Rommy F., Sohirin (Semarang), Syaiful Amin (Cilacap)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini