SATU per satu pejabat Orde Baru memperpanjang daftar nama tersangka korupsi. Kamis pekan lalu, giliran dua mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita dan I.B. Sudjana, dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Keduanya dituduh telah memanipulasi proyek kerja sama antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas sehingga merugikan keuangan negara sebesar US$ 24,8 juta atau senilai Rp 243,4 miliar. Sebelumnya, mantan Direktur Utama Pertamina, Faisal Abda'oe, dan Direktur PT Ustraindo, Partono H. Utoyo, menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
Baru sekarang dua mantan menteri itu ditetapkan sebagai tersangka memang terdengar agak janggal. Soalnya, kasusnya sudah lama, demikian pula pengusutannya oleh Kejaksaan Agung. Bahkan dulu, pada 1997, Sudjana pernah melaporkan Ginandjar kepada Presiden Soeharto. Hal itu berkaitan dengan skandal mark-up proyek Balongan senilai US$ 591 juta atau Rp 5,7 triliun. Tapi Soeharto minta agar kasus itu ditutup. Toh, Sudjana kembali menuduh Ginandjar terlibat proyek Migas Center senilai US$ 100 juta atau Rp 980 miliar. Ternyata, kini, keduanya justru menjadi tersangka dalam kasus korupsi Pertamina.
Kasus yang menyeret kedua mantan menteri itu bermula pada Desember 1992 dan Februari 1993. Saat itu, Pertamina meneken kontrak bantuan teknis dengan PT Ustraindo untuk sumur minyak di Pendopo, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Ginandjar, sebagai orang nomor satu di Departemen Pertambangan dan Energi dan Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina, menyetujui proyek tersebut.
Dalam perjanjian bantuan teknis itu disebutkan bahwa PT Ustraindo selaku kontraktor akan membiayai ongkos produksinya. Bila ongkos produksi melebihi pagu produksi, kontraktor akan memperoleh fee sekitar 29 persen per barel minyak. Masalahnya, proyek besar itu diberikan kepada Ustraindo tanpa melalui tender dan studi lapangan.
Ternyata, kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muljohardjo, sumur-sumur minyak yang diproyekkan itu masih bisa berproduksi. Ini berarti tak perlu ada bantuan teknis dari Ustraindo. Namun, proyek sudah berlangsung dan Ustraindo tak mengeluarkan biaya sesen pun.
Bahkan, perusahaan itu memperoleh fee dari produksi minyak dengan alasan sebagai pengganti biaya bantuan teknis. Menurut perhitungan sementara Kejaksaan Agung, Pertamina memberikan fee masing-masing US$ 3,5 per barel minyak dari sumur minyak di Bunyu, US$ 1,3 dari sumur Prabumulih, US$ 1,8 dari Pendopo, serta sekitar US$ 2 dari Jatibarang. Akibatnya, negara merugi sebesar US$ 18 juta atau sekitar Rp 176,4 miliar.
Ketika Ginandjar turun takhta dan digantikan Sudjana, kontrak tersebut diperbarui dengan menambah klausul non-shareable oil fee. Pagu produksi minyak yang dulunya 16 ribu pun diubah menjadi 9.000. Walhasil, Ustraindo kian diuntungkan. "Sudah tidak membiayai, Ustraindo justu mendapat bayaran sebesar US$ 2 per barel dari produksi sumur di Prabumulih," kata Muljohardjo. Akibat proyek haram yang dilanjutkan semasa Sudjana ini, diperkirakan negara merugi US$ 6,8 juta atau seharga Rp 66,6 miliar.
Namun, kuasa hukum Ginandjar, Muchyar Yara, menganggap tuduhan terhadap kliennya, apalagi penetapan status kliennya sebagai tersangka, amat berlebihan. Bahkan, Muchyar menduga perkembangan itu tak lepas dari permainan politik. Maklum saja, kata Muchyar, belum lama ini Presiden Abdurrahman Wahid sesumbar agar Jaksa Agung Marzuki Darusman mengusut 10 orang tersangka korupsi masa Orde Baru.
Apalagi, sebelumnya, Ginandjar juga sudah berkali-kali dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus Balongan, Paiton, dan perjanjian teknis di atas. "Cepat atau lambat, ia pasti dijadikan tersangka," kata Muchyar.
Sekalipun demikian, Muchyar merasa yakin bahwa Ginandjar tak melakukan pelanggaran hukum. Alasannya, persetujuan Ginandjar atas proyek bantuan teknis tersebut berdasarkan surat dari Menteri-Sekretaris Negara saat itu, Moerdiono, dan petunjuk Presiden Soeharto.
Yang jelas, kata Muchyar, sampai kini, surat panggilan dari Kejaksaan Agung untuk memeriksa Ginandjar sebagai tersangka belum diterimanya. Ginandjar sendiri hingga sekarang masih di Jepang dan akan kembali mengajar ke Amerika. Ketika kabar buruk itu disampaikan Muchyar kepada Ginandjar, "Ia hanya tertawa mendengar dirinya dijadikan tersangka," tutur Muchyar. Sementara Sudjana,melalui juru bicaranya Badrul Fadhil terkejut dengan pemberian status tersangka itu. "IB Sudjana hanya menandatangan saja, tanggungjawab ada pada Dirut Pertamina saat itu," kata Badrul.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini