PERSETERUAN antara Presiden dan parlemen agaknya tak kunjung ram-pung. Bahkan, dua pekan lalu, Presiden Abdurrahman Wahid sebelum berangkat ke Timur Tengah telah menyurati Jaksa Agung Marzuki Darusman. Isi suratnya, Presiden menyetujui tindakan Kejaksaan Agung untuk memanggil 50 anggota Panitia Khusus (Pansus) DPR yang menyelidiki kasus dana Bulog dan bantuan Sultan Brunei. Tampaknya, surat Gus Dur berkaitan dengan memorandum DPR tempo hari, yang menyimpulkan Presiden patut diduga terlibat dua kasus itu.
Hebatnya, Gus Dur tak maju sendirian. Dua anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Effendy Choirie dan Aly As'ad, sebelumnya menuntut ganti rugi Rp 1 miliar dari Pansus DPR di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Effendy, gugatan diajukan karena DPR dinilai tak adil. Ia menyebut usul 56 anggota dewan untuk pembentukan Pansus kasus penyimpangan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 2,007 triliun ditolak. Sebaliknya, DPR bersikukuh dengan pembentukan Pansus kasus dana Bulog di atas. Itu menunjukkan, "DPR bertindak tendensius untuk menyerang pribadi Gus Dur. Mereka harus minta maaf karena telah melukai nurani rakyat," kata Effendy.
Tak cuma Fraksi PKB yang menggugat DPR. Tiga tokoh yang populer pada kasus Bulog, Siti Farikha, Aris Junaidi, dan H. Masnuh, masing-masing juga menuntut ganti rugi Rp 1 miliar ke pengadilan yang sama. Menurut pengacara ketiga tokoh itu, Indra Sahnun Lubis, gugatan itu berpegang pada prinsip bahwa Pansus DPR tidak sah karena belum terdaftar dalam berita negara.
Selain gugatan perdata itu, Indra dengan bendera Tim Advokasi Penegak Supremasi Hukum juga melaporkan Pansus DPR ke kepolisian dengan tuduhan telah melakukan penghinaan terhadap Presiden. Menurut Indra, Pansus telah menyebarkan kebohongan karena tak ada saksi ataupun bukti yang menunjukkan Gus Dur menerima aliran dana Bulog maupun bantuan Sultan Brunei.
Akan halnya Kejaksaan Agung sepertinya sigap. Marzuki Darusman awal pekan lalu dalam acara pelantikan pejabat di kantornya menyatakan, dengan adanya izin Presiden untuk pemeriksaan 50 anggota Pansus DPR, tak ada alasan bagi anggota DPR untuk menolak panggilan kejaksaan. Sebagai tersangka? Bukan. Menurut Muljohardjo, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, pemanggilan anggota Pansus tak lebih sebagai saksi.
Argumentasi kejaksaan agak janggal. Sebab, saksi haruslah orang yang mengetahui, melihat, dan mendengar terjadinya suatu delik. Kategori itu jelas tak dipenuhi oleh anggota Pansus yang menyelidiki Buloggate dan Bruneigate. Yang jelas, sampai akhir pekan lalu surat pemanggilan dari Kejaksaan Agung belum jua meluncur.
Bahkan ajakan Marzuki untuk pertemuan informal dengan para pimpinan Pansus ditolak mentah-mentah. "Dia mau apa ketemu kita? Lobi atau bargaining? Kita tidak melayani yang begitu," kata Alvin Lie, bekas wakil ketua Pansus yang berasal dari Fraksi Reformasi. Alvin juga menyebut akan menolak bila surat panggilan itu akhirnya datang.
Bachtiar Chamsyah, bekas ketua Pansus Buloggate-Bruneigate yang juga Ketua Komisi V dari Fraksi Persatuan Pembangunan, melihat langkah pemerintah seperti dagelan. Ia khawatir hal itu bisa menjadi preseden buruk yang mengancam demokrasi. "Masa, kita yang memeriksa, kita juga yang diperiksa," ucap Bachtiar.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Sri Soemantri menyebut kedudukan Pansus cukup kuat. Apalagi anggota parlemen mempunyai kekebalan dalam menjalankan tugasnya. "Mereka boleh menolak kalau dipanggil kejaksaan," kata Soemantri. Gugatan perdata ke arah DPR dinilai Soemantri juga tidak tepat, karena Pansus legal. Kalaupun saat itu belum didaftarkan, itu hanya persoalan teknis.
Boleh jadi, upaya serangan balik pemerintah terhadap DPR tak bakal mulus. Tak mustahil pula Marzuki bisa menuai hantaman dari anggota dewan bila ia jadi datang ke rapat kerja Komisi II DPR pekan ini. Sebab, persoalan utamanya, yakni rekomendasi Pansus agar kejaksaan menindaklanjuti keterkaitan Gus Dur dengan dua kasus di atas, tak kunjung diurus kejaksaan.
Yusi, Bram, Iko, dan Pras
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini