Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan korupsi bukan disebabkan oleh gaji rendah, melainkan karena keserakahan dan karakter manusia.
Kasus Gazalba Saleh, kata Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha, membuktikan bahwa kenaikan gaji tidak cukup untuk mencegah orang melakukan korupsi.
Peneliti dari Pukat UGM menyebutkan ada suatu kultur yang melembaga di dunia peradilan Indonesia, yakni judicial corruption.
SIDANG perkara gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang Gazalba Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 5 Agustus 2024, mengungkap gaji fantastis hakim agung. Dalam kesaksiannya, Kepala Bagian Perencanaan Kepegawaian Mahkamah Agung Citra Maulana mengatakan Gazalba menerima gaji pokok sejumlah Rp 77.128.000 setiap bulan.
Selain mengantongi gaji puluhan juta, hakim agung nonaktif Gazalba Saleh masih menerima honorarium penanganan perkara yang besarnya bervariasi, bergantung pada banyaknya kasus yang bisa diselesaikan dalam waktu 90 hari. Citra menyebutkan honorarium itu bisa mencapai Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara MA, Suharto, mengkonfirmasi besaran gaji dan tunjangan hakim agung. "Gaji pokok sekitar Rp 5 juta dan tunjangan sekitar Rp 72 juta. Jadi take-home pay bisa Rp 77 juta," ujarnya ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo pada Ahad, 8 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain gaji tersebut, kata Suharto, sejak akhir 2021 ada insentif penyelesaian perkara yang rampung dalam waktu 90 hari. Insentif itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Namun ia tak bisa memastikan berapa banyak rata-rata take-home pay hakim agung jika ditambahkan dengan honorarium tersebut.
Sebab, insentif tersebut bergantung pada jumlah perkara yang diselesaikan oleh setiap hakim agung. Setiap kamar juga berbeda besarannya. Bahkan hakim agung dalam satu kamar bisa menerima jumlah honor berbeda. Insentif tersebut langsung masuk ke rekening hakim agung.
Kendati memiliki gaji dan remunerasi yang besar, sejumlah hakim agung terjerat kasus korupsi. Hakim agung pertama yang menjadi terpidana kasus suap adalah Sudrajad Dimyati. Ia ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 22 September 2022.
Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati mengikuti sidang vonis secara daring di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Jawa Barat, 30 Mei 2023. TEMPO/Prima Mulia
Sudrajad didakwa terlibat korupsi karena menerima suap US$ 80 ribu ketika mengadili kasus Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Pada 30 Mei 2023, hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 3 bulan.
Selain Sudrajad Dimyati, kini hakim agung nonaktif Gazalba Saleh terseret kasus korupsi. Pada Kamis, 5 September 2024, ia dituntut pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 6 bulan. Gazalba diduga menerima suap Rp 37 miliar untuk perkara peninjauan kembali perkara pungutan liar di Pelabuhan Samarinda dengan terdakwa Jafar Abdul Gaffar.
Hakim agung nonaktif itu juga diduga menerima gratifikasi sejumlah S$ 18 ribu serta penerimaan lain sebanyak S$ 1,12 juta, US$ 181 ribu, dan Rp 9,42 miliar.
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Liza Farihah, mengungkapkan penyebab hakim agung terjerat korupsi kendati menerima gaji dan remunerasi yang jumlahnya besar. "Gaji besar ternyata tidak membuat perilaku korup berkurang atau hilang," ujarnya kepada Tempo lewat aplikasi perpesanan, Ahad, 8 September 2024.
Menurut Liza, akar masalah judicial corruption adalah sistem yang memberikan celah korupsi, misalnya gaya hidup hedonisme, ketiadaan role model di pengadilan, dan sistem pengawasan yang lemah.
Liza mengatakan Mahkamah Agung adalah pengadilan kasasi yang tugas utamanya melihat penerapan hukum, bukan melihat ataupun memutus fakta. Misalnya, dalam perkara kasasi pidana, hakim agung seharusnya tidak menaikkan atau menurunkan vonis, melainkan berfokus pada apakah penerapan hukum di pengadilan sebelumnya benar atau tidak, serta apakah ada isu hukum yang perlu dijawab MA atau tidak.
"Tapi, pada kenyataannya, hakim agung pidana jadi bisa memutus soal fakta dan menaikkan atau menurunkan vonis," tutur Liza.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani mengatakan terdapat banyak faktor yang membuat hakim agung melakukan korupsi meski sudah diberi gaji dan remunerasi yang cukup banyak.
"Yang pertama, secara fundamental, korupsi terjadi bukan karena gaji rendah, melainkan karena keserakahan dan karakter manusia," kata Julius lewat pesan suara kepada Tempo.
Kedua, ia menilai sistem juga tidak menunjang perilaku antikorupsi di lingkungan peradilan. Julius menjelaskan, produk hakim atau putusan pengadilan tidak akan bisa dikoreksi. Bahkan, ujar dia, Tuhan tidak bisa mengoreksi putusan hakim. Inilah yang membuat profesi hakim menjadi absolut.
Selain itu, proses pemeriksaan hakim hanya dilakukan di tataran perilaku dan etik. "Artinya, kalau dia korupsi pun, sepanjang berperilaku baik dan tetap dianggap beretika, dianggap tidak ada masalah," ucap Julius.
Ia juga menggarisbawahi sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, yang sudah lama sekali dikebiri. Julius menuding Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) nyaris tidak berfungsi sama sekali. Sementara itu, Komisi Yudisial hanya menangani kasus-kasus politis. Ia mencontohkan putusan majelis hakim terhadap terdakwa perkara pembunuhan Gregorius Ronald Tannur yang berkaitan dengan petinggi partai.
Penyebab hakim agung masih melakukan korupsi juga diungkap peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman. Dia memandang ada suatu kultur yang melembaga di dunia peradilan Indonesia, yakni judicial corruption. Hal ini terlihat dari operasi tangkap tangan KPK terhadap hakim di berbagai tingkat pengadilan, dari tingkat pertama, banding, hingga kasasi.
"Meskipun para hakim agung sudah memiliki tingkat penghasilan yang sangat bagus, karena ini merupakan suatu bentuk kebiasaan, itu tidak mudah hilang," tutur Zaenur ketika dihubungi pada Ahad malam, 8 September 2024.
Zaenur menuturkan bentuk judicial corruption tidak jauh-jauh dari jual-beli perkara. Dalam proses ini, ada aktor-aktor yang biasa disebut sebagai makelar kasus atau markus, yaitu penghubung pihak beperkara dengan pihak yang berwenang, seperti penyidik dari kepolisian, kejaksaan, ataupun hakim.
"Nah, jejaring markus ini melembaga di semua tingkat pengadilan, dari pengadilan tingkat pertama di pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan agama, sampai pengadilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung," ujar Zaenur.
Zaenur menyebutkan pihak-pihak yang berperan sebagai markus kadang kala adalah pegawai dengan pangkat yang sangat rendah. Tapi mereka adalah orang-orang kepercayaan yang mengurus pihak-pihak beperkara serta memiliki maksud dan tujuan memenangi kasus yang terdakwanya bersedia membayar sejumlah uang.
Dalam konteks korupsi yang dilakukan hakim agung, hal itu tidak mungkin terjadi karena kebutuhan atau corruption by need lantaran kebutuhannya telah terpenuhi. Karena itu, kasus rasuah hakim agung termasuk corruption by greed atau korupsi karena keserakahan. "Tentu solusinya ada di pengawasan, ada di penegakan aturan," kata Zaenur.
Di sisi lain, peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan cukup sulit menjustifikasi perilaku korup hakim semata-mata karena faktor gaji dan remunerasi. "Faktanya, remunerasi hakim pun paling tinggi sejak 2013 dibanding ASN (aparatur sipil negara) lain," ucapnya kepada Tempo.
Artinya, ia menilai, persoalan korupsi peradilan perlu dipandang lebih sistemis. "Justru faktor terbesar yang menghambat reformasi yudisial terletak pada besarnya ruang mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman," ujar Alvin.
Ia menuturkan intervensi independensi kekuasaan kehakiman itu dilakukan lewat politisasi seleksi hakim agung, tarik-ulur Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, ataupun minimnya kewenangan pengawasan Bawas MA dan Komisi Yudisial. "Selain tentu saja krisis integritas para hakim itu sendiri."
Karena itu, Alvin menilai perlu agenda reformasi untuk membentengi lembaga peradilan dari intervensi cabang kekuasaan lain yang tidak hanya bersifat administratif. Ia menyarankan pemerintah mendorong jaminan keamanan dan status hakim terpisah dari ASN dalam RUU Jabatan Hakim. Selain itu, pemerintah harus mendukung kecukupan anggaran Mahkamah Agung, termasuk saat pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedua, memperkuat kedudukan Komisi Yudisial dalam mekanisme shared responsibility (berbagi tanggung jawab) dengan Mahkamah Agung perihal kewenangan pengawasan internal dan eksternal. Ini termasuk melibatkan lembaga lain, seperti KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. "Selain itu, mendukung penguatan posisi Bawas MA dalam pembenahan sistem dan mekanisme pengawasan internal agar setara dengan eselon I."
Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha mengatakan kasus Gazalba Saleh membuktikan bahwa kenaikan gaji dan kesejahteraan pegawai saja tidak cukup untuk mencegah orang melakukan korupsi. Menurut Praswad, Mahkamah Agung harus mengevaluasi kasus ini secara komprehensif dan secara kelembagaan.
Karena itu, ia menilai deterrence effect (efek deteren) melalui OTT yang konsisten dan terus-menerus wajib dilaksanakan secara berkesinambungan oleh KPK. "Ini membuktikan bahwa semua doktrin pejabat yang mengatakan OTT tidak efektif adalah omong kosong belaka," ucap Praswad.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo