Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Hitam Pemutihan Sawit

Kejaksaan Agung mengusut korupsi pemutihan sawit di kawasan hutan oleh KLHK. Kebocoran uang negara sekitar Rp 300 triliun. 

 

14 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, 3 September 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBOYONG empat kotak dokumen, penyidik Kejaksaan Agung meninggalkan Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada Kamis, 4 Oktober 2024, pukul 00.27 WIB. Mereka juga menyita barang bukti elektronik dari penggeledahan selama 15 jam itu. “Terutama terkait dengan proses pelepasan kawasan hutan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar ketika dimintai konfirmasi ulang, Ahad, 13 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harli menyatakan penggeledahan tersebut berkaitan dengan penyidikan kasus korupsi tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit periode 2005 hingga 2024. Menurut dia, diduga telah terjadi penguasaan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencarian barang bukti itu dilakukan tim penyidik di ruangan Sekretariat Jenderal KLHK serta Sekretariat Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian. Penyidik juga menyisir ruangan direktorat yang membidangi pembayaran penerimaan negara bukan pajak berupa provisi sumber daya hutan-dana reboisasi (PSDH-DR), direktorat yang membidangi pelepasan kawasan hutan, direktorat yang membidangi penegakan hukum, serta biro hukum.

Suasana penggeledahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus di Jakarta, 3 September 2024. TEMPO/Dede Leni Mardianti

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yakin kasus itu terkait dengan wewenang KLHK ihwal sanksi administratif berupa denda yang harus dibayarkan perusahaan kelapa sawit yang membuka lahan di kawasan hutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 310A dan Pasal 310B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. "Sudah pasti konteks itu karena tidak ada urusan lain dalam konteks tata kelola sawit di KLHK," ujar Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian, Ahad, 13 Oktober 2024.

Dalam regulasi ini, pemerintah menyediakan dua konsep keringanan bagi perusahaan yang telanjur menanam sawit di kawasan hutan. Perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan akan diputihkan atau dilegalkan. Areanya akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Dengan catatan, mereka memenuhi persyaratan sebelum 2 November 2023. Jika tidak, mereka akan dikenai sanksi berupa pembayaran denda administratif dan atau izin usahanya dicabut sesuai dengan Pasal 110A UU Cipta Kerja. Data KLHK menyebutkan total luasan area perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan yang diputihkan mencapai 3,37 juta hektare. 

Bagi perusahaan yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku tapi beroperasi di kawasan hutan, diberi kesempatan satu "daur" sejak masa panen dan harus membayar denda administratif. Ketentuan lama masa "daur" diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Masa daur atau siklus diatur paling lama 25 tahun sejak masa tanam. Wewenang penarikan denda administratif tersebut berada di KLHK. 

Peta Pemutihan Kebun Sawit KLHK

Terdapat 2.130 perusahaan yang teridentifikasi bakal dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja. Data Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum KLHK per 28 Maret 2024 menyebutkan ada 365 perusahaan yang mengajukan pemutihan dari total 2.130 perusahaan. Mengutip laporan Koran Tempo pada 14 Mei 2024, Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan mengatakan tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi menemukan hanya 155 perusahaan yang membayar PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar dari total perusahaan yang mengajukan pemutihan.

PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan. Selain data tersebut, ada 49 perusahaan yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B. Nilai yang sudah dibayarkan baru Rp 175,5 miliar dari delapan perusahaan.

Melihat masih minimnya perusahaan yang memenuhi kewajiban padahal tenggat waktu pengajuan pemutihan sudah berakhir pada November tahun lalu, Uli Arta tidak heran jika regulasi yang memberi keringanan perusahaan tersebut membuka celah korupsi. Menurut Uli, sejak awal, regulasi keringanan yang diatur dalam UU Cipta Kerja memang bermasalah.

Pertama, soal tidak adanya transparansi data inventarisasi perusahaan yang dikenai sanksi yang masuk kategori Pasal 110A atau Pasal 110B. "Dari jumlah perusahaan yang mengajukan pemutihan, meski sudah melewati tenggat, apakah KLHK sudah memberikan denda? Datanya enggak transparan. Peluang muncul tindak pidana korupsi," ujar Uli.

Celah lain, menurut Uli, ada dalam ketentuan Pasal 110B. Perusahaan diberi kesempatan melanjutkan operasinya sampai satu daur sebelum akhirnya harus mengembalikan fungsi lahan sebagai kawasan hutan. Dia menyebutkan tidak ada yang bisa menjamin lahan tersebut akan kembali menjadi kawasan hutan. "Sekali lagi enggak ada transparansi data," ucapnya. 

Uli meminta KLHK tegas memproses pidana perusahaan yang sudah jelas melanggar ketentuan dengan cara langsung mencabut izinnya. Terhadap konsep pemutihan kawasan hutan, Uli lebih setuju jika cara yang dikedepankan adalah pencabutan izin ketimbang mengatur denda administratif yang tidak efektif.

Ia menyebutkan, sebelum UU Cipta Kerja disahkan, pemerintah sudah punya regulasi soal pemberian keringanan kepada perusahaan-perusahaan nakal. Sebelumnya regulasi itu diatur dalam PP tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan.

Dalam PP Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, misalnya, perusahaan yang beraktivitas ilegal di kawasan hutan diberi waktu tiga tahun untuk memenuhi persyaratan agar mereka bisa diputihkan menjadi area kawasan yang legal. Alih-alih menegakkan hukum, pemerintah menerbitkan lagi Pasal 110A dan Pasal 110B UU Cipta Kerja.

Ihwal ketentuan Pasal 110B, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh mengatakan telah mengaudit temuan adanya kebocoran uang negara senilai Rp 300 triliun. "Itu Pasal 110B saja, lainnya masih proses audit," ujarnya, Ahad, 13 Oktober 2024. Ia tidak menjelaskan apakah hitungan itu terkait dengan sanksi administratif perusahaan di KLHK. Namun ketentuan Pasal 110B yang jelas merupakan kewenangan KLHK dan mengatur soal pembayaran denda administratif.

Adapun Badan Pemeriksa Keuangan belum bisa dimintai konfirmasi ihwal apakah mereka juga mengaudit soal denda administratif perusahaan sawit di KLHK atau tidak. “Saya belum tahu, belum bisa akses ke sistem, lagi libur," ujar Kepala Sub-Auditorat Investigasi Kekayaan Negara/Daerah yang Dipisahkan BPK Hasby Ashidiqi.

Advocacy and Campaign Manager Pantau Gambut Wahyu Perdana sependapat dengan Walhi. Menurut Wahyu, KLHK tidak bisa menyelesaikan tindakan nakal perusahaan hanya dengan denda administratif. Sebab, selain pelanggaran administratif, potensi kerugian negara lebih besar pada deforestasi.

Tidak terbukanya data perusahaan yang membayar denda administratif juga merupakan celah timbulnya tindak pidana korupsi. "Kita enggak tahu mana yang sudah bayar. Kalau data itu enggak terbuka, risiko korupsinya dua kali lipat," ujarnya. Ia menyebutkan kerusakan kawasan hutan akibat kebakaran juga bisa menjadi pintu tindak pidana korupsi. Menurut Wahyu, dari luas kebun sawit yang berada di kawasan hutan, sekitar 407 ribu hektare berada di area kesatuan hidrologis gambut yang berpotensi terjadi kebakaran. Dalam kasus kebakaran, perusahaan sering tidak ditindak. "Ini juga jadi celah korupsi." 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2021 dan bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus