Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kuncinya di tangan dukun

Hendri, 17, siswa SMP Negeri 17 Serang, tewas dibunuh oleh delapan siswa temannya. Versi lain pembunuhnya adalah empat orang residivis yang menginginkan sepeda motor korban. (krim)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAKWAAN terhadap kedelapan siswa SLTP itu tidak main-main: melakukan pembunuhan berencana. Yang dibunuh bukan orang jauh-jauh, melainkan rekan mereka sendiri, Hendri, 17, bintang voli di sekolahnya di SMP Negeri 17 Serang, Jawa Barat. Kedelapan terdakwa itu, yang diadili di Pengadilan Negeri Serang sejak Senin pekan lalu, memasuki ruang sidang mengenakan seragam sekolah putih biru. Menurut Jaksa Mahidin, para remaja tanggung itu digerakkan oleh Hadi (bukan nama sebenarnya), 15, teman sekelas korban, yang kini menjadi terdakwa utama. Hadi, kata Jaksa lagi, mulanya naksir anak baru bernarna Susi. Tapi Susi kelihatannya lebih lengket kepada Hendri. Perang dingin antara Hadi dan Hendri - keduanya sama-sama anak polisi - kian runcing. Apalagi, sejak SD dulu, kabarnya, kedua anak itu memang sudah sering berselisih paham. Hadi, yang bertubuh kecil dan berkulit hitam, kata Jaksa, lalu mengontak teman-temannya yang kita sebut saja namanya sebagai Firman, Sapri, dan Riza untuk mematangkan rencananya menghabisi Hendri. Menjelang hari pembunuhan, empat rekan lain, yaitu Adi, Wely, Dodo, dan Mulana juga bukan nama sebenarnya - ikut bergabung, setelah dijanjikan imbalan sejumlah uang oleh Hadi. Uang itu sendiri, kata Jaksa, dicuri Hadi dari lemari orangtuanya. Pada hari yang ditentukan, 12 Agustus 1984, Hendri mula-mula diajak ke rumah Riza untuk minum minuman keras. Setelah agak mabuk, Hendri diajak naik minicab milik orangtua Hadi, dan dibawa ke Desa Lebak Pulus. Di sebuah kebun, Hendri diturunkan. Lalu, begitu tuduh Jaksa, Hadi memukul kepala korban dari belakang dengan menggunakan sepotong kayu. Dodo menusuk dengan pisau lipat, dan Hadi - yangkalap - menambahinya dengan tusukan obeng ke arah punggung. Yang lain ikut menghajar sampai Hendri tergeletak tak berdaya. Penduduk yang menemukan mayat Hendri segera menguburkannya - karena dikira mayat tak dikenal. Namun, pada 8 September, mayat digali kembali dan dikenali oleh Komarudin sebagai mayat anaknya. Menurut polisi, kasus itu terungkap setelah Dodo ditangkap polisi karena terlibat perkelahian dan mabuk-mabukan. Sewaktu diperiksa, ia membeberkan kasus pembunuhan yang menimpa Hendri. Tapi, orangtua para terdakwa tak yakin bahwa anak mereka telah membunuh. Hal itu berdasarkan keterangan para terdakwa, yang mengaku terpaksa menandatangani berita acara pemeriksaan karena tak tahan siksaan. "Semua pengakuan itu kami buat karena sudah tak tahan siksaan," tulis mereka dalam sepucuk surat. Surat pengakuan itulah yang dibawa para orangtua terdakwa ke kapolda Jawa Barat, ketika menyampaikan pengaduan akhir Januari lalu. Hadi, misalnya, mengaku sering dipukul atau disundut dengan rokok. Hal tersebut dikuatkan keterangan seorang dokter, yang menyatakan menjumpai bekas sundutan rokok dan pukulan benda tumpul di tubuh para terdakwa. "Kalau tak ingat, saya sudah nekat menyerang polisi," ujar Amurudin, orangtua Hadi, kepada Dedy Iskandar dari TEMPO . Memang, ada sebuah versi yang menyebutkan bahwa pembunuh Hendri bukanlah kedelapan terdakwa remaja yang kini tengah diadili itu. "Dodo dan Hadi selama ini bermusuhan, tak pernah bertegur sapa. Mana mungkin mereka membunuh bersama-sama?" kata sebuah sumber. Yang membunuh Hendri, kata sumber itu, adalah empat residivis - yaitu Cecep, Ayi, Bela, dan Engkin -yang memang sedang dicari polisi Serang. Keempat nama itu pertama kali keluar dari mulut Rachmat, 29, seorang tersangka pembunuh sepasang suami-istri, yang belum lama ini ditangkap polisi. Sewaktu menemui seorang dukun di Cipaleas agar jejaknya tak diketahui, begitu pengakuannya, ia berjumpa dengan empat orang yang tadi telah disebut. Keempatnya mengaku sebagai yang bertanggung jawab atas terbunuhnya seorang pelajar SMP, karena mereka mengincar sepeda motor korban, yang sampai kini memang tak diketahui rimbanya. Namun, kata sumber TEMPO, kata-kata Rachmat itu tak bisa diteliti seberapa jauh kebenarannya. Soalnya, dukun yang disebut-sebut tak hendak memberi keterangan lebih jauh. Bisa jadi karena ia tak ingin dilibatkan. Entahlah. Yang jelas, persidangan yang dipimpin Hakim tampaknya memang bakal menarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus