UNDANG-undang memang memberikan kemungkinan buat hakim untuk
menghukum pelanggar lalulintas dengan hukuman kurungan. Misalnya
di setiap STNK (surat tanda nomor kendaraan) bisa dibaca,
ancaman kurungan 3 bulan atau denda Rp 10.000 bagi pengemudi
yang tidak dapat menunjukkan STNK (pasal 5 a UULAJR).
Tetapi yang biasa terjadi hakim memilih hukuman denda, termasuk
bagi yang tidak hadir ketika sidang. Karena merasa akan mendapat
hukuman denda yang tak seberapa akibatnya para terhukum tak
menghadiri sidang dan hanya datang untuk membayar denda. Lebih
parah lagi perkara tilang pun menumpuk.
Tapi ketika kordinator perkara tilang, Hakim Henky Izmu Azhar SH
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mingguminggu lalu menjatuhkan
hukuman kurungan buat tersangka yang tidak hadir, orang pun
kaget. Pengadilan tiba-tiba dipenuhi oleh mereka yang terkena
tilang. "90% dari tersangka hadir sekarang ini, " kata petugas
bagian tilang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat minggu lalu.
Kenapa Henky tiba-tiba galak? "Saya bikin kejutan agar yang
terkena tilang mematuhi perintah untuk datang ke pengadilan, "
ujarnya. Kordinator perkara tilang ini cukup puyeng akibat
banyaknya tersangka tilang yang tidak datang ketika disidangkan.
Apalagi ketika ada instruksi untuk tidak menahan satupun
surat-surat orang yang melanggar lalulintas. Pengadilan jadi
sepi, tapi perkara tilang semakin menumpuk. "Di lemari saya ada
10.000 perkara tilang, yang orangnya tidak datang sampai hari
ini," kata Henky mengungkapkan kekesalannya.
Jejak Henky segera diikuti rekannya Hakim Suwandono SH di
pengadilan yang sama. "Saya hanya menyarankan hakim-hakim lain,
mereka juga punya kebebasan untuk memutus perkara," kata Henky.
Rekannya Suwandono SH memilih siapa-siapa yang akan dijatuhi
hukuman kurungan dan siapa yang kena denda. "Tergantung salahnya
juga," kata Suwandono.
Hukuman badan yang dijatuhkan minggu lalu itu rata-rata 14 hari
kurungan. Mendengar berita ada putusan kurungan, yang terkena
buru-buru datang dengan berbagai alasan, seperti sakit, atau
kena musibah. Hakim memberikan hak verzet (perlawanan) kepada
mereka untuk membuktikan, kalau ada yang terkena musibah, ada
yang meninggal misalnya, harus nnenunjukkan surat kematian
kalau sakit, surat dokter. "Ada yang disuruh pulang untuk
mengambil surat kematian saudaranya," kata Henky. Rata-rata
verzet mereka masih diterima dan merubah hukuman kurungan
menjadi denda.
Harus narik
Kasie Perkara Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Suharto SH, setuju
dengan putusan Hakim Henky. "Kami akan segera menjalankan kalau
keputusan itu sudah mempunyai kekuatan hukum," ujarnya. Tetapi
keluhan datang dari stafnya, Wansyukri, yang mengurusi perkara
tilang. "Sulit mencari alamat mereka dan dari mana biayanya,"
katanya. Karena itu Wansyukri belum tahu kapan terhukum yang
tidak datang itu akan diberitahu. Ia menunjuk salah satu berkas
yang orangnya tidak muncul. "Bagaimana mencarinya kalau polisi
menulis alamat tanpa nomor rumah, RT atau RW," keluhnya. Karena
itu ia mengharapkan ada kordinasi yang lebih rapi kalau hukuman
kurungan mau diterapkan.
Beberapa orang di antara yang terkena tilang rninggu ini
membenarkan mereka takut mendapat kurungan. "Tetapi seandainya
tanpa kurungan pun saya akan datang, karena kalau tidak dendanya
lebih tinggi," kata seorang sopir colt Sulistyo. Sebaliknya
banyak juga di antara terhu kum yang datang terlambat dan tidak
tahu kalau hukuman sekarang berat. "Ah masa iya," kata Sudirman
seorang pemuda yang tertangkap membawa sepeda motor tanpa SIM.
Ia datang sehari setelah vonis.
Agus seorang pengemudi Metro Mini yang ditangkap karena
menyimpang dari trayek juga mengatakan tidak tahu adanya hukuman
kurungan. "Saya tidak datang, karena harus narik kemarin,"
katanya. Seorang pelajar, Ahmad Arief, ketika memohon verzet
kepada Hakim Suwandono memberikan alasan sakit. Tetapi ketika
panitera menanyakan surat sakitnya, dijawab, "tidak ada."
Untungnya hakim masih mau merobah putusannya. Maklum, masih
permulaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini