Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kurungan buat si tertilang

Perkara tilang menumpuk. yang menyepelekan pengadilan tilang bisa dihukum kurungan. pihak kejaksaan mengharapkan koordinasi yang lebih baik untuk melaksanakan hukuman badan itu. (hk)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANG-undang memang memberikan kemungkinan buat hakim untuk menghukum pelanggar lalulintas dengan hukuman kurungan. Misalnya di setiap STNK (surat tanda nomor kendaraan) bisa dibaca, ancaman kurungan 3 bulan atau denda Rp 10.000 bagi pengemudi yang tidak dapat menunjukkan STNK (pasal 5 a UULAJR). Tetapi yang biasa terjadi hakim memilih hukuman denda, termasuk bagi yang tidak hadir ketika sidang. Karena merasa akan mendapat hukuman denda yang tak seberapa akibatnya para terhukum tak menghadiri sidang dan hanya datang untuk membayar denda. Lebih parah lagi perkara tilang pun menumpuk. Tapi ketika kordinator perkara tilang, Hakim Henky Izmu Azhar SH di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mingguminggu lalu menjatuhkan hukuman kurungan buat tersangka yang tidak hadir, orang pun kaget. Pengadilan tiba-tiba dipenuhi oleh mereka yang terkena tilang. "90% dari tersangka hadir sekarang ini, " kata petugas bagian tilang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat minggu lalu. Kenapa Henky tiba-tiba galak? "Saya bikin kejutan agar yang terkena tilang mematuhi perintah untuk datang ke pengadilan, " ujarnya. Kordinator perkara tilang ini cukup puyeng akibat banyaknya tersangka tilang yang tidak datang ketika disidangkan. Apalagi ketika ada instruksi untuk tidak menahan satupun surat-surat orang yang melanggar lalulintas. Pengadilan jadi sepi, tapi perkara tilang semakin menumpuk. "Di lemari saya ada 10.000 perkara tilang, yang orangnya tidak datang sampai hari ini," kata Henky mengungkapkan kekesalannya. Jejak Henky segera diikuti rekannya Hakim Suwandono SH di pengadilan yang sama. "Saya hanya menyarankan hakim-hakim lain, mereka juga punya kebebasan untuk memutus perkara," kata Henky. Rekannya Suwandono SH memilih siapa-siapa yang akan dijatuhi hukuman kurungan dan siapa yang kena denda. "Tergantung salahnya juga," kata Suwandono. Hukuman badan yang dijatuhkan minggu lalu itu rata-rata 14 hari kurungan. Mendengar berita ada putusan kurungan, yang terkena buru-buru datang dengan berbagai alasan, seperti sakit, atau kena musibah. Hakim memberikan hak verzet (perlawanan) kepada mereka untuk membuktikan, kalau ada yang terkena musibah, ada yang meninggal misalnya, harus nnenunjukkan surat kematian kalau sakit, surat dokter. "Ada yang disuruh pulang untuk mengambil surat kematian saudaranya," kata Henky. Rata-rata verzet mereka masih diterima dan merubah hukuman kurungan menjadi denda. Harus narik Kasie Perkara Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Suharto SH, setuju dengan putusan Hakim Henky. "Kami akan segera menjalankan kalau keputusan itu sudah mempunyai kekuatan hukum," ujarnya. Tetapi keluhan datang dari stafnya, Wansyukri, yang mengurusi perkara tilang. "Sulit mencari alamat mereka dan dari mana biayanya," katanya. Karena itu Wansyukri belum tahu kapan terhukum yang tidak datang itu akan diberitahu. Ia menunjuk salah satu berkas yang orangnya tidak muncul. "Bagaimana mencarinya kalau polisi menulis alamat tanpa nomor rumah, RT atau RW," keluhnya. Karena itu ia mengharapkan ada kordinasi yang lebih rapi kalau hukuman kurungan mau diterapkan. Beberapa orang di antara yang terkena tilang rninggu ini membenarkan mereka takut mendapat kurungan. "Tetapi seandainya tanpa kurungan pun saya akan datang, karena kalau tidak dendanya lebih tinggi," kata seorang sopir colt Sulistyo. Sebaliknya banyak juga di antara terhu kum yang datang terlambat dan tidak tahu kalau hukuman sekarang berat. "Ah masa iya," kata Sudirman seorang pemuda yang tertangkap membawa sepeda motor tanpa SIM. Ia datang sehari setelah vonis. Agus seorang pengemudi Metro Mini yang ditangkap karena menyimpang dari trayek juga mengatakan tidak tahu adanya hukuman kurungan. "Saya tidak datang, karena harus narik kemarin," katanya. Seorang pelajar, Ahmad Arief, ketika memohon verzet kepada Hakim Suwandono memberikan alasan sakit. Tetapi ketika panitera menanyakan surat sakitnya, dijawab, "tidak ada." Untungnya hakim masih mau merobah putusannya. Maklum, masih permulaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus