Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UJUNG Jalan Pahlawan, Surabaya, kembali bikin berita. Setelah kasus "terjebak"-nya sopir Noor Ali dan Haryono, November lalu, kini ada Djunaedi Iskandar bernasib sama. Sopir truk pikap Isuzu kelas III A, yang berpelat hitam itu, awal bulan ini nyelonong ke Jalan Pahlawan untuk menyuplai berkarung-karung sandal di pertokoan Pasar Baru, Surabaya. Tapi, di Jalan Gemblongan, setelah ia melewati ujung Jalan Pahlawan itu, truknya disetop polisi. "Saudara kami tilang," kata petugas saat itu. Merasa tak bersalah Djunaedi ngotot. Sebab, Jalan Pahlawan yang disebutkan tadi hanya terlarang untuk truk kelas III A, yang berpelat kuning karena ada rambu "umum" di bawah tanda larangan itu. Apalagi, setiap hari, ia sudah biasa melewati jalan itu, dan tak ada apa-apa. Petugas kemudian membawanya ke tempat rambu itu dipasang. Ternyata, rambu bertulisan "umum" itu sudah hilang, entah dicopot siapa. Kendati D- junaedi masih berusaha bertahan, akhirnya ia terpaksa menandatangani surat tilang yang disodorkan petugas. "Nanti di pengadilan saja kalau mau bicara," begitu kata polisi. Beda kasus Djunaedi dengan kasus Noor Ali dan Haryono pada soal rambu "umum" itulah. Ketika kasus Noor Ali terjadi, tulisan "Umum" itu masih ada. Kendati begitu, dua polisi lalu lintas, Koptu. Tari Soepomo dan Peltu. Sapii, mengartikan rambu itu tak boleh dilalui semua truk jenis III A. Karena sama-sama ngotot, perkara dibawa ke pengadilan. Sopir Noor Ali dan Haryono membuat sejarah, karena menolak sidang tilang, yang lazim dilaksanakan dengan sistem rol - cara borongan dengan puluhan terdakwa. Tambahan lagi - untuk pertama kalinya terjadi di perkara tilang - mereka membawa dua pengacara, Yusnita dan Nyonya Becky Hananta. Kedua sopir itu tak sia-sia. Mereka dinyatakan tak bersalah, dan bebas (TEMPO 2 Januari 88). Berbeda dengan nasib Noor dan Haryono, Djunaedi justru dianggap bersalah oleh Hakim Soeparno di Pengadilan Negeri Surabaya dan didenda Rp 7 ribu. Kesalahannya justru karena menandatangani surat tilang itu. "Orang yang menandatangani surat tilang berarti menyatakan dirinya bersalah," kata Hakim. Merasa diperbedakan Hakim, Djunaedi tak langsung membayar denda, dan membawa perkaranya ke Pengacara Slamet. Dan Slamet berniat mengajukan kasasi. "Ini penting untuk mendapatkan kepastian hukum," ucap Slamet. Pengacara cuma-cuma itu mengkritik cara Hakim menghukum Djunaedi, hanya karena sopir itu menadatangani surat tilang. "Padahal, tidak jarang pelanggar lalu lintas menandatangani surat tilang karena merasa terpaksa," kata Slamet. Tapi belum sempat Slamet mengirimkan permohonan kasasi, pekan lalu, Djunaedi tiba-tiba bertekuk lutut. Ia memutuskan membayar denda, yang Rp 7 ribu itu. "Saya 'kan butuh STNK dan SIM," kata Djunaedi. Jika kasasi, ia khawatir perkara itu berlarut-larut. "Bisa 'ndak makan keluarga saya. Saya tak bisa cari duit, malah bikin repot," kata bapak tiga anak itu. Anehnya, di ujung Jalan Pahlawan itu, rambu tulisan "Umum", yang tadinya hilang, kini sudah kembali ke tempatnya semula. Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Jawa Timur, Letkol. Ivan Sihombing, pemasangan kembali rambu itu dilakukan PU Kodya Surabaya dan DLLAJR. "Karena belum ada dasar hukum untuk mencabutnya," kata Ivan Sihombing. Hanya saja akibat rambu itu raib beberapa hari, Djunaedi menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo