Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA Ganda Priatna dan Emen Rustaman dipulihkan statusnya sebagai kepala sekolah. Tetapi keduanya tetap dipindah. Ganda Priatna, 52 tahun, menjadi kepala SD Pasir Indah, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, sedangkan Emen Rustaman, 49 tahun, menjadi kepala SD Cimaranggi I, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Keputusan Gubernur Jawa Barat ini diumumkan kepada wartawan oleh Wakil Gubernur Bidang Pemerintahan, Suryatna, di rumah makan Babakan Siliwangi, Bandung, Jumat malam pekan lalu. Wakil Gubernur memerintahkan Kepala Dinas P & K Jawa Barat agar menerbitkan SK yang baru, untuk menggantikan SK lama, yang menurunkan status Ganda dan Emen menjadi guru biasa. Kepala Dinas P dan K, Edie Sufyan, yang hadir malam itu, tak berbicara sedikit pun. Kebijaksanaan Gubernur ini disambut baik oleh Ganda dan Emen. "Saya sempat kaget setelah mendengar keputusan ini bahwa saya kembali menjadi kepala sekolah. Sebagai manusia biasa, kami harus bersyukur," kata Ganda. Kendatipun di tempat mengajarnya yang baru, Ganda kurang sreg, la menerimanya tanpa protes. "Itu 'kan perintah atasan,'' katanya. Tapi Ganda tak berniat memboyong keluarganya ke tempat tugas yang baru. Ia memilih pulang-pergi dengan naik sepeda motor, menempu- jarak sekitar 40 km. "Saya akan segera bertugas ke tempat yang baru itu, setelah ada SK. Saya tak akan berangkat tanpa membawa SK terlebih dahulu." Seperti diketahui, kedua guru ini dialihtugaskan dari SD Caringin I dan SD Tunas Harapan I Perumnas Cijerah - keduanya di Kecamatan Bandung Kulon - ke SD Cimaranggi I, Kabupaten Bandung, dan SD Pasir Indah di Kabupaten Subang. Alih tugas itu disertai dengan penurunan status dari kepala sekolah menjadi guru biasa. Mutasi tak biasa ini sebagai hukuman yang dijatuhkan Kepala Dinas P & K Jawa Barat, Edie Sufyan. Kedua guru itu, selaku Ketua dan Sekretaris PGRI Bandung Kulon, menulis surat rahasia yang ditujukan kepada PGRI Kodya Bandung. Isi surat, antara lain, mempersoalkan keresahan guru SD yang di bawah kendali dua departemen, Departemen P & K dan Depdagri. Edie Sufyan menganggap bahwa dengan surat itu keduanya menyerang kebijaksanaan pemerintah. Setelah kasus ini ramai ditanggapi, dan Gubernur Jawa Barat membentuk tim, hukuman yang dijatuhkan Edie Sufyan dianggap kurang tepat. Keputusan itu diambil setelah tim melakukan pemeriksaan terhadap Emen dan Ganda. Menurut Ganda, ia diperiksa sampai empat kali. Bahkan Jumat pagi pekan lalu ia masih dipanggil. Dalam pemeriksaan yang terakhir ini, Emen dan Ganda mengakui kesalahannya, dan minta maaf kepada Gubernur sebagai penguasa tunggal di daerah, dan juga minta maaf kepada Kepala Dinas P & K Jawa Barat. Malam harinya turunlah kebijaksanaan baru itu. "Mungkin gara-gara permintaan maaf itu akhirnya saya diangkat kembali sebagai kepala sekolah," kata Ganda, yang kini tak lagi murung. Sebenarnya, Ganda dan Emen suda , pernah menandatangani surat pernyataan bersedia mengajar di tempat tugasnya yang baru. Dan surat itu kemudian dijadikan dalih oleh Gubernur bahwa keduanya menerima pemutasian. Tapi sejak dipindah awal Januari lalu, Ganda baru mengajar lima kali. Begitu juga Emen. "Ketika saya mengajar di SD Cimaranggi I sebagai guru biasa, perasaan saya canggung dan tidak enak," kata Emen terus terang. "Wajar 'kan, namanya saja manusia." Kepada TEMPO, Wagub Suryatna menyebutkan, kedua guru itu memang bersalah dalam kaitannya dengan surat rahasia yang mereka buat. Menurut Suryatna, surat itu tidak didukung oleh fakta dan data, hanya sinyalemen pribadi. Misalnya tentang kenaikan pangkat otomatis. Ternyata, tak semua guru terlambat dalam hal kenaikan pangkat otomatis, seperti yang mereka tulis. Kesalahan yang lebih mendasar, permintaannya agar penanganan guru SD di bawah Departemen P dan K. "Berarti, kedua guru itu 'kan tak percaya pada cara kerja Pemda. Seolah-olah Pemda Jawa Barat tak mampu mengatur para guru sekolah dasar," tutur Suryatna. "Kalau punya keinginan seperti itu, sebaiknya disalurkan ke pusat. Sebab saran itu akan mengubah peraturan pemerintah yang selama ini mengatur masalah itu." Tapi bukankah Ganda dan Emen sudah menyalurkan sesuai dengan prosedur organisasi PGRI ? Menurut Suryatna, surat kedua guru itu tak bisa lagi dikategorikan surat intern di kalangan PGRI, karena tembusannya dikirim ke Golkar dan DPRD Bandung. "Artinya, ada motivasi untuk memperlebar masalah. Dan bukan sekadar usul ke PGRI atasan saja." Terhadap kesalahannya ini, kedua guru itu mendapat "hukuman ringan yang terberat", sesuai dengan PP Nomor 30, yaitu diberikan pernyataan tidak puas dari atasan secara tertulis. Jadi, begitu Suryatna, mutasi kedua guru itu tak lagi dikaitkan dengan adanya surat itu. Mutasi itu adalah untuk penyegaran dan sudah direncanakan, "lebih-lebih keduanya sudah setuju." "Kesalahan Ganda dan Emen memang tak seberat penilaian Kepala Dinas P dan K," kata Suryatna lagi. Itu sebabnya, Gubernur Jawa Barat, sebagai atasan Kepala Dinas P dan K, mengubah hukuman bawahannya. Secara resmi, sesuai dengan PP Nomor 30, kedua guru itu hanya mendapat hukuman disiplin, bukan penurunan jabatan. Menurut Wagub Jawa Barat ini, beberapa wewenang memang sudah didelegasikan kepada Kepala Dinas P dan K, misalnya dalam hal memutasikan para guru. Kepala Dinas bisa membuat surat mutasi itu atas nama Gubernur. "Namun, untuk melepas jabatan kepala sekolah, Kepala Dinas harus berkonsultasi dengan Gubernur, dan tak boleh seenaknya," kata Suryatna. Dalam menghukum Ganda dan Emen, Edie Sufyan tak melakukan konsultasi. "Ini namanya melewati wewenang. Di sinilah letak kesalahan Kepala Dinas. Yang terang, ia akan ditindak," ujar Suryatna. Tapi Wagub tak mau menjelaskan apa bentuk tindakan itu. "Itu tidak etis kalau dibicarakan." Agus Basri (Jakarta) dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo