Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Momentum dan Kepemimpinan

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar Pabottingi
  • Peneliti Institut Studi Filsafat dan Agama, Jakarta.

    Terutama dalam pengelolaan negara, kepemimpinan adalah syarat mutlak. Itulah yang membuat seorang kepala negara dicatat dengan tinta emas. Untuk zaman mereka masing-masing, begitulah Tokugawa, Lincoln, Churchill, dan Deng Xiaoping. Begitu pula Hatta dan Soekarno. Mereka adalah tokoh pemilik visi dan keberanian?dua faktor paling menentukan bagi seorang pemimpin. Sejarah bersaksi bahwa pemimpin dengan visi dan keberanian itulah yang memungkinkan terobosan-terobosan maju terjadi.

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mungkin memiliki visi, namun kita meragukan keberaniannya. Di masa kampanye Pemilihan Umum 2004, saya sempat menyanggah sebutan "peragu" baginya dengan nalar bahwa hingga saat itu beliau belum pernah benar-benar berada dalam posisi komando. Namun saya mulai kecewa dengan susunan personalia kabinetnya. Itu melanggar janji-janjinya akan suatu "kabinet ahli"?lawan model "kabinet pelangi" di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri?yang waktu itu ditolaknya. Ternyata Kabinet Indonesia Bersatu hanyalah sebutan lain dari model kabinet pendahulunya. Satu momentum terobosan kepemimpinan amat penting bagi negara kita telah disia-siakan.

    Dalam beberapa kali wawancara di masa kampanye, saya menekankan bahwa jika SBY-JK tidak memenuhi janji akan "kabinet ahli", mereka wajib membantu mengatasi kekurangan dalam kinerja dan penguasaan masalah setiap menteri yang mereka pilih dengan melanggar asas "keahlian". Mereka juga harus mempertanggungjawabkannya. Kabinet SBY terbukti tak cukup memuliakan dukungan besar, 61 persen suara, yang diberikan oleh rakyat yang mengusung mereka ke kursi kepresidenan. Padahal dukungan sebesar itu sesungguhnya memberi SBY kartu merdeka untuk menyusun kabinet dengan lebih mengindahkan "suara rakyat" daripada "suara partai".

    Kekecewaan kedua terhadap SBY, yang agaknya merata di kalangan masyarakat, adalah kelambanannya dalam memimpin, dalam taking charge, menghadapi bencana raksasa tsunami yang menimpa Aceh dan Sumatera Utara. Sebagai pucuk eksekutif, beliau mestinya segera menunjuk seorang perwira militer andal dari kepangkatan yang tepat untuk memimpin paduan satuan-satuan militer dan relawan sipil dalam menghadapi akibat paling urgen dari bencana tersebut paling tidak sejak tiga hari setelah bencana. Siapa pun maklum bahwa bencana sebesar itu di pelosok tanah air hanya bisa diatasi dengan koordinasi militer yang memiliki kesiagaan serta garis komando instan.

    Selama berhari-hari tak jelas siapa yang benar-benar bertanggung jawab dalam malapetaka raksasa itu, dan bangsa kita dibiarkan bingung tanpa informasi sama sekali tentang pelbagai hal menyangkut rangkaian upaya, peluang, dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam kerja penyelamatan maupun pencegahan eskalasi risiko di lapangan. Pengakuan SBY belasan hari kemudian tentang lemahnya kinerja Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana Tsunami yang diketuai oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) tak urung membuat kita mengernyitkan kening. Mengapa sedari awal beliau tidak menggunakan sendiri wewenang dan kekuasaan kepresidenannya secara maksimal mengingat tuntutan situasi? Momentum kedua ini, yang pasti tak kalah penting dari penyusunan kabinet untuk menunjukkan kepada bangsa kita bahwa rakyat Indonesia benar-benar tak salah pilih pada Pemilu 2004, kembali dilewatkan begitu saja.

    Jika segenap manifestasi dari krisis multidimensi tak bertara produk Orde Baru yang masih terus mendera negara-nasion kita diperas, itu semua niscaya bermuara pada korupsi. Mulai dari penggelembungan dana anggaran di pelbagai kantor, lembaga, dan departemen pemerintah, kejahatan perbankan, praktek "mafia peradilan", maraknya narkotik serta illegal logging, hingga sengaknya bau korupsi dalam penyusunan sejumlah undang-undang di DPR. Setiap warga negara waras pasti tak akan ragu menunjuk korupsi uang, jabatan, dan wewenang sebagai kutukan terbesar yang hingga kini merantai bangsa kita ke dalam kubangan kehinaan. Maka sungguh ajaib bahwa masih ada di antara mereka yang berpredikat "wakil rakyat" masih menolak penyebutan "kegentingan yang memaksa" dalam rancangan "perpu" (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang diniatkan pemerintah untuk jadi landasan memberantas korupsi.

    Pada umumnya masyarakat menyambut baik niat pemerintah SBY dan menghargai janji Presiden untuk memimpin sendiri upaya pemberantasan korupsi di tubuh pemerintah. Beliau menyatakan tak akan ragu memecat menteri yang melanggar kontrak bersih-korupsi dan memerintahkan agar para aparat di Kejaksaan Agung benar-benar menggiring para koruptor dengan ancaman sanksi jika lalai. Beliau sendiri mewanti-wanti segenap instansi dan lembaga pemerintah agar tidak memberikan fasilitas apa pun kepada siapa pun yang memintanya dengan berdalih sebagai kerabat dekatnya.

    Isyarat kuat ke arah pemberantasan korupsi juga ditunjukkan oleh Wakil Presiden. Dengan nada keras, beliau me-negaskan bahwa di bawah kepemimpinannya, Golkar "bukan bungker koruptor" dan langsung mengecam kehendak sejumlah orang dalam partainya yang minta diikutkan dalam proyek besar pemerintah demi menyumbang Partai. Juga terlihat adanya upaya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin untuk mengundangkan korupsi sebagai "kejahatan luar biasa", dan untuk menerapkan asas pembuktian terbalik atas tiap dugaan kasus korupsi. Itu semua sudah lama kita tunggu dan tentu membesarkan hati. Dalam dua bulan terakhir memang terlihat peningkatan kasus-kasus dugaan korupsi yang mulai diproses dan ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga peradilan. Baru-baru ini sebuah jajak pendapat Kompas juga menunjukkan apresiasi masyarakat pada kinerja pemerintah dalam hal ini.

    Meskipun demikian, sejumlah kalangan tetap skeptis akan kesungguhan pemerintah memberantas korupsi. Kerap terdengar bahwa yang diproses terbatas pada kasus kecil-menengah dan sama sekali tak menyentuh kategori kakap. Terbetik juga kecurigaan tentang dilindunginya pejabat-pejabat tinggi negara dari tuduhan korupsi dan adanya perlakuan diskriminatif yang menguntungkan para "konglomerat hitam" yang telah mencolong triliunan uang negara.

    Terlepas dari skeptisisme mendasar di atas, kita tetap berharap agar pemerintah SBY benar-benar memiliki keberanian untuk memberantas korupsi. Jika mereka berhasil di sini, penyia-nyiaan mereka atas kedua momentum sebelumnya insya Allah akan dimaafkan oleh bangsa kita. Mengingat iblis korupsi pada hakikatnya merupakan biang seluruh manifestasi krisis multidimensi yang terus mendera bangsa kita, kita yakin prestasi itu akan menjadi bukti kepemimpinan yang tak akan terbantahkan, dengan terima kasih panjang bangsa kita hingga ke generasi-generasi mendatang.

    Guna mengatasi kanker korupsi di samping memenuhi rangkaian agenda pemerintahan, konsolidasi kabinet merupakan syarat mutlak. Urgensi konsolidasi ini mestilah berada di urutan teratas dari prioritas pemerintahan saat ini, sebab tak satu agenda pun yang bisa terlaksana tanpa itu. Pada minggu-minggu terakhir berita surat kabar cukup ramai menyuarakan adanya disharmoni, bahkan kemungkinan keretakan, dalam hubungan Presiden dengan Wakil Presiden. Mungkin juga di sini berperan diskrepansi dua subkultur yang berbeda: Jawa dan Bugis. Tapi semoga disharmoni itu hanyalah berita yang sengaja dibesar-besarkan demi kepentingan politik sempit, dan segera disadari oleh pasangan SBY-JK.

    Segenap bangsa kita berkepentingan besar bagi berlakunya stabilitas dan efektivitas pemerintahan, apalagi di tengah rubungan krisis. Sebaliknya, segenap bangsa kita akan merasakan akibat yang mungkin tak tertanggungkan lagi jika pasangan SBY-JK benar-benar pecah dan menambahkan krisis baru di tengah rubungan krisis yang sudah ada. Karena itu, tiap warga negara yang bertanggung jawab wajib menjaga kekompakan di pucuk pemerintahan demi keselamatan negara-nasion kita. Krisis multidimensi yang ada baru saja ditombok dengan krisis akibat bencana raksasa tsunami. Setiap warga negara yang waras wajib mencegah perluasan krisis dalam republik kita.

    Kita sangat mendambakan kepemimpinan dengan visi dan keberanian. Visi lahir dari pemahaman komprehensif akan sekian negativitas dalam sejarah politik bangsa kita dan akumulasi masalah yang ditimbulkannya, di samping pengetahuan yang cukup akan tata politik dunia. Keberanian lahir dari kematangan rasa-rasio?induk dari karakter. Sehubungan dengan krusialnya soal kepemimpinan ini, tiga tips praktis kita ajukan:

    Pertama, jika terjadi keretakan antara SBY-JK, apalagi sampai terpancing ke arah pertarungan politik terbuka, yang paling pertama konyol adalah mereka sendiri. Karier politik mereka, mungkin juga kiprah dalam profesi-profesi lain yang mereka bina selama ini, akan tamat diiringi cercaan turun-temurun dari bangsa kita. Di sini, tak satu pihak pun yang untung, juga mereka yang mungkin sengaja mengompori, dari kalangan dalam maupun dari luar pemerintahan, demi kepentingan licik-picik yang sungguh sangat berbahaya.

    Kedua, Presiden dan Wakil Presiden perlu lebih dekat, lebih terikat, dan lebih saling mempercayai daripada dengan stafnya masing-masing. Keduanya juga perlu saling memberi kesempatan untuk berkiprah secara maksimal menurut porsi masing-masing menurut bidang dan kemampuan. Keduanya juga perlu saling memahami karakter dan temperamen serta mengindahkan latar subkultur masing-masing, begitu pula pola interaksi yang disantuni di dalamnya. Sedapat mungkin dicegah berkembangnya prasangka kultural maupun politik yang mungkin berseliweran di sekitar mereka.

    Ketiga, SBY-JK tetap perlu mempertimbangkan kemungkinan penggantian anggota kabinet yang sama sekali tidak memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing. Sesungguhnya itulah tuntutan "kedaulatan rakyat" dari pasangan kepresidenan yang dipilihnya. Sungguh tak sepatutnya itu dibiarkan terganti oleh tuntutan "kedaulatan partai", yang rata-rata masih cetakan Orde Baru. Perlu dicamkan bahwa jabatan kementerian maupun tingkat kegentingan masalah yang kita hadapi sebagai bangsa sama sekali bukanlah tempat untuk belajar sembari berbuat. Juga SBY-JK bukanlah supermen untuk mengatasi defisit kinerja mereka.

    Terakhir, dalam kondisi politik transisi yang berkepanjangan lantaran tiadanya pergantian rezim, inisiatif atau kreativitas transisional sangat diperlukan. Bahtera negara dalam keadaan serba krisis memang sebaiknya tetap dijalankan dalam "protokoler" semestinya, namun "protokoler" tak perlu melampaui urgensi penyelesaian masalah.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus