Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan umum yang diselenggarakan di Irak pada Ahad, 30 November, akan memilih 275 anggota Dewan Nasional serta anggota DPRD untuk 18 provinsi di seantero Irak. Anggota Dewan tersebut kelak memanggul tugas menyusun konstitusi baru yang akan dijadikan dasar pembentukan sistem pemerintahan Irak. Konstitusi tersebut masih harus mendapat persetujuan rakyat melalui mekanisme referendum.
Mengingat mayoritas rakyat Irak secara keagamaan adalah penganut Islam mazhab Syiah?sekitar 60 persen dari 23 juta penduduk Irak?pemilu kali ini akan menjadi ajang kenaikan banyak politisi (dan ulama) Syiah ke panggung pemerintahan. Parlemen tentu akan didominasi kalangan Syiah. Tampaknya, pemilu ini menjadi momen kebangkitan Syiah politik di Irak.
Sebaliknya bagi kalangan Sunni, pemilu kali ini berarti menjadi titik klimaks berakhirnya dominasi politis yang mereka rengkuh selama pemerintahan Saddam Hussein. Kala itu, walau terhitung sebagai minoritas, kemampuan Saddam menerapkan politik represif terhadap kubu Syiah menempatkan kalangan Sunni Irak pada posisi yang diuntungkan secara politis. Namun, pemilu ini diperkirakan menjadi titik tolak berputarnya roda nasib politik kedua kelompok tersebut: Syiah di atas, Sunni di bawah.
Muncul pertanyaan, bagaimana format konstitusi yang nanti akan terbentuk kelak, dan bagaimana masa depan konstelasi politik yang akan berkembang terkait dengan kepentingan pemerintah Amerika Serikat (AS) di negeri itu. Dalam persoalan pertama, muncul kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa Irak akan menjelma menjadi sebuah negara teokrasi, layaknya Iran. Kekhawatiran ini bertumpu pada fakta tentang dominasi kubu Syiah di Dewan Nasional serta vitalnya peran ulama Syiah di latar politik Irak. Toh, terdapat beberapa kondisi sosio-politis Irak yang tak mendukung kemungkinan ke arah tersebut. Antara lain, ada empat hal yang bisa dibahas di sini. Pertama, realitas serta basis sosial masyarakat Irak relatif beragam dari segi etnis, suku, maupun agama (mazhab). Persentase dominasi etnis, suku, dan agama yang satu terhadap yang lain tidak terlalu tajam.
Kedua, ulama Irak tak sepenuhnya mendominasi percaturan politik di negeri itu. Dan politisi "murni" cukup berperan di samping ada basis politik yang relatif kuat. Dalam pandangan mereka, para politisi "murni" ini, konsep negara teokrasi akan amat membatasi ruang gerak serta otoritas politik mereka. Ketiga, corak wacana serta pandangan keagamaan yang berkembang di Irak lebih moderat-sekuler dan tidak monolitik. Ulama Irak cenderung mengarah pada pandangan keagamaan yang "sekuler" dengan konsep pemisahan antara agama dan negara. Al-Sistani, salah satu ulama berpengaruh di Irak, disinyalir menganut pandangan model ini.
Mengacu pada poin-poin di atas, kekhawatiran Irak akan menjelma menjadi sebuah negara teokratis relatif kurang berdasar. Namun, persoalan tidak selesai di situ. Kemungkinan dominasi kalangan Syiah di kancah politik Irak bisa memunculkan problem lain: kepentingan politik pemerintah AS di sana. Secara historis, Syiah politik Irak terbukti memiliki intensitas rivalitas yang tinggi dengan kepentingan politik pemerintah AS. Hal ini dapat dirujuk pada sejarah politik Irak sendiri. Perlawanan sengit yang dilancarkan kelompok militan pimpinan Moqtada al-Shadr, salah satu ulama teras Syiah Irak, terhadap pasukan koalisi pimpinan AS pada awal invasi Irak, merupakan salah satu bukti konkret tentang hal itu.
Dan jauh sebelum itu, tatkala berkobar perang antara Irak dan Iran, penganut Syiah dalam negeri Irak justru mendukung Iran, sementara pemerintah AS menyokong Saddam Hussein. Kini, seiring dengan kebangkitan kaum Syiah di dunia politik Irak, muncul pertanyaan: bagaimana masa depan eksistensi kepentingan politik pemerintah AS di sana? Dan sejauh mana kalangan Syiah politik Irak mengakomodasi kepentingan politik Amerika sebagai langkah strategis mereka mempertahankan kekuasaan?
Dalam hal konstitusi, tampak jelas Irak tidak akan tumbuh menjadi negara teokrasi. Dan komitmen tersebut merupakan salah satu bagian dari tawaran kesepakatan politik kalangan Syiah politik Irak kepada pemerintah AS. Bagaimanapun, Syiah politik Irak juga amat berkepentingan dengan masa depan eksistensi politik mereka. Dan pemerintah AS, dalam hal tersebut, memiliki peran serta kekuatan politik yang signifikan. Pada titik inilah pemerintah Amerika memiliki daya tawar politik terhadap kalangan Syiah.
Era pasca-Saddam dan pemilu kali ini memberikan ruang lebih leluasa kepada kaum Syiah untuk menjalankan kiprah politiknya. Mereka akan menjalankan peran lebih vital, memegang otoritas yang lebih kuat. Kenyataan ini ibarat langkah mundur dan pukulan telak terhadap Amerika, yang sampai saat ini masih kuat mencengkeramkan kuku di negeri itu sejak tumbangnya Saddam Hussein.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo