Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LENGAN kanan yang membengkak membuat Zumi Zola meringis kesakitan pada Kamis tiga pekan lalu. Kelainan saraf akibat cedera saat latihan basket itu kambuh karena Gubernur Jambi nonaktif ini tak lagi rutin menjalani terapi setelah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 9 April lalu. Kendati kondisi tangannya seperti itu, Zumi tetap tidak melewatkan waktu bertemu dengan pengacaranya, Handika Honggowongso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Handika, saat dia bertemu dengan kliennya, Zumi mengaku gula darahnya juga kerap tidak stabil. Sesekali ia mengeluh merasa kepalanya kliyengan. Mantan model itu mendekam di Rumah Tahanan KPK di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, karena menjadi tersangka gratifikasi Rp 6 miliar. "Obat di rumah tahanan kan terbatas. Pak Zumi juga kepikiran kasusnya," kata Handika, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini pengembangan operasi tangkap tangan terhadap 16 orang terkait dengan pemberian uang kepada semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jambi agar mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2018 senilai Rp 4,8 triliun pada November tahun lalu. Belakangan, KPK hanya menetapkan empat tersangka, yakni pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Jambi, Arfan; pelaksana tugas Sekretaris Daerah Jambi, Erwan Malik; Asisten III Bidang Administrasi Umum Saifuddin, dan Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPRD Jambi Supriyono.
Kala itu, tim lembaga antirasuah menyita duit Rp 4,7 miliar dari Erwan Malik. Kepada penyidik, Erwan mengatakan tak semuanya akan diberikan kepada DPRD. Ada juga gratifikasi dari seorang pengusaha untuk Zumi Zola. Menurut Erwan, pemberian uang ketuk palu juga setahu putra mantan Gubernur Jambi sekaligus politikus Partai Amanat Nasional, Zulkifli Nurdin, itu. Erwan diminta Zumi membereskan persoalan anggaran di Dewan.
Dalam putusan terhadap Erwan cs, peran Zumi ditebas majelis hakim yang diketuai Badrun Zaini. Dalam amar yang dibacakan pada pertengahan April lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jambi itu menyatakan Zumi hanya mengetahui ada permintaan uang tapi lantas menolaknya.
Menurut hakim, Erwan adalah auktor intelektualis dalam pemberian uang ketuk palu tersebut. Walhasil, majelis hakim menghukum Erwan empat tahun penjara. Adapun Saifuddin dan Arfan diganjar hukuman tiga setengah tahun penjara. Vonis ini lebih tinggi ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yang meminta Erwan cs dihukum dua setengah tahun bui.
Dalam pertimbangan memberatkan, hakim menyatakan Erwan berbelit-belit dan tidak kooperatif selama persidangan. "Justru jaksa menyatakan Pak Erwan sangat kooperatif. Pertimbangan hakim bertentangan. Kami ajukan banding," ujar pengacara Erwan, Sri Hayani.
Gelagat tak wajar hakim terlihat sejak persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi. Dalam beberapa kali persidangan, hakim kerap memotong pernyataan saksi jika memberatkan Zumi. Saksi Saifuddin, misalnya, dalam persidangan Maret lalu, menyatakan Asrul Pandapotan, tangan kanan Zumi, bertindak seolah-olah sebagai Gubernur Jambi yang sesungguhnya. Sebab, untuk segala persoalan teknis pemerintahan Jambi, Zumi selalu meminta para anak buahnya itu berkoordinasi dengan kawannya semasa kuliah di London, Inggris, tersebut.
Dengan nada tinggi, hakim Badrun membacakan Pasal 22 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang pemberian keterangan palsu beserta ancaman hukumannya saat merespons ucapan Saifuddin ihwal peran Asrul yang seolah-olah sebagai Gubernur Jambi. "Saudara cabut jadinya?" tanya Badrun.
Saifuddin merespons dengan mengatakan hal itu hanya asumsinya. Namun hakim Badrun terus mendesak pencabutan pernyataan tersebut. "Jadi Saudara cabut atau tetap? Saudara tetap pada keterangan Asrul sebagai Gubernur Jambi atau tidak?" kata Badrun. Atas desakan itu, Saifuddin mencabut pernyataannya.
Kejanggalan lain dalam persidangan itu adalah ketika seorang panitera Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jambi berupaya mengontak salah satu kuasa hukum Erwan. Malam menjelang Zumi Zola bersaksi di sidang Erwan cs pada awal Mei lalu, advokat itu diajak bertemu oleh panitera di hotel tempat ia menginap. Panitera ini diduga bersama kuasa hukum Zumi dan dua pengusaha yang uangnya dipinjam untuk diberikan kepada anggota Dewan.
Bahkan, saat malam menjelang putusan terhadap Erwan cs, panitera tersebut bersama dua pengusaha itu kembali meminta sang pengacara bertemu di sebuah hotel. "Total ada empat kali permintaan bertemu," ujar pengacara itu. Ia hanya sekali memenuhi permintaan tersebut.
Juru bicara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jambi, Makaroda Hafat, mengaku tak tahu ada pertemuan panitera tersebut. Ia mengatakan pertemuan dengan pihak beperkara di luar lingkungan persidangan dan didasari kepentingan pribadi termasuk melanggar kode etik kehakiman dan tidak dibenarkan. "Jika memang itu ada bukti pertemuan, silakan laporkan saja," ujar Makaroda.
Pengacara Erwan menyayangkan putusan hakim. Padahal, kata dia, selama persidangan, Erwan blakblakan memberikan uang ketuk palu karena menjalankan perintah atasan. Erwan juga menjabarkan detail arahan Zumi atas permintaan-permintaan Dewan. Gelagat legislatif meminta uang pelicin terendus pada awal Oktober tahun lalu. Saat itu, Erwan dipanggil ke ruang pimpinan DPRD.
Dengan formasi pimpinan lengkap, satu di antaranya menyampaikan kepada Erwan bahwa DPRD tak akan ketuk palu jika tidak ada uang untuk pengesahannya. Pimpinan DPRD juga meminta fee dua persen dari proyek jalan layang senilai Rp 105 miliar. Karena hanya berstatus pelaksana tugas, Erwan tidak berani mengambil keputusan sehingga melapor kepada Gubernur Zumi.
Atas laporan tersebut, Zumi memerintahkan Erwan cs berkoordinasi dengan orang kepercayaannya, Asrul Pandapotan. Lewat Asrul, Zumi menyatakan setuju terhadap uang ketuk palu. "Tapi untuk fee dua persen belum ada jawaban dari Gubernur," ujar Erwan dalam persidangan.
Saat hendak rapat pengesahan, Erwan ditelepon Zumi, yang mengatakan telah mendapat laporan bahwa rapat paripurna tidak akan kuorum. Dalam obrolan itu, Erwan menyampaikan bahwa Arfan dan Saifuddin sudah berkeliling untuk melobi anggota DPRD Jambi. "Gubernur menjawab, 'Jangan buat saya malu, ya'," ujar Erwan. Mendengar pernyataan tersebut, Erwan hakulyakin Zumi sudah menyetujui uang ketuk palu untuk anggota legislatif.
Apalagi pemberian uang ketuk palu ini juga disampaikan Asrul saat bertemu dengan Erwan di Jakarta. Pada tahun sebelumnya, anggaran Jambi disahkan juga setelah uang ketuk palu diberikan.
Dalam persidangan itu, Zumi mengaku tahu ada gelagat permintaan uang dari DPRD tapi tidak disampaikan langsung kepadanya. Ia pun bertukar pikiran dengan Asrul ihwal situasi tersebut. Soal pelicin ketuk palu Rp 150 juta per orang, Zumi mengaku menolak permintaan itu karena tak ada uang.
Menurut pengacara Zumi, Handika Honggowongso, kliennya tak punya andil besar dalam pemberian uang ketuk palu kepada anggota DPRD Jambi. "Peran Pak Zumi minimal. Baru tahu pas ada kejadian dan sudah kami uraikan di persidangan," ujar Handika.
Dia mengatakan Zumi blakblakan kepada penyidik tentang penerimaan gratifikasi. Bahkan Zumi mengajukan diri sebagai pelaku pelapor (justice collaborator) agar mendapat hukuman yang ringan. Mantan pemain sinetron itu siap membongkar peran pihak lain yang terkait dengan lingkaran penerimaan uang pelicin.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan masih menunggu pendapat penuntut umum ihwal keterlibatan Zumi dalam pemberian uang ketuk palu. Karena itu, Saut belum bisa menyebutkan apakah Zumi juga bakal dijerat sebagai tersangka pemberi suap kepada DPRD atau tidak dalam waktu dekat ini. Namun ia meyakini, "Kalau dalam kaitan dengan modus uang ketuk palu, ya, posisinya sebagai pemberi."
Linda Trianita, Syaipul Bakhori (Jambi)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo