Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRFAN Kurnia Saleh pertama kali mendengar istilah dana komando saat ia seharusnya menerima pembayaran tahap pertama pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 pada September 2016. Sesuai kesepakatan dengan perusahaannya sebagai kontraktor proyek, PT Diratama Jaya Mandiri, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara memang akan membayar helikopter AW101 dalam empat termin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maqdir Ismail, pengacara Irfan, mengatakan dana komando itu potongan pembayaran kepada perusahaan kliennya dari pihak TNI Angkatan Udara. Irfan sempat melayangkan surat protes ke TNI Angkatan Udara. Ketika kasus ini mencuat, menurut Maqdir, dana yang sempat dipotong dikembalikan kepada Irfan. "Ada seorang kolonel yang menghubungi Pak Irfan dan mengantarkan langsung dana yang dipotong itu," tutur Maqdir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang sumber yang dekat dengan Irfan menuturkan, kala itu TNI Angkatan Udara seharusnya membayar Irfan Rp 436 miliar atau 60 persen dari nilai proyek dengan menggunakan cek pada termin pertama. Irfan kemudian mengutus anak buahnya untuk menarik pembayaran dari TNI Angkatan Udara itu. Belakangan, sang anak buah melaporkan bahwa nilai cek yang ia pegang hanya Rp 418,956 miliar, sehingga ada kekurangan sekitar Rp 17 miliar.
Irfan kemudian meminta anak buahnya itu mencari tahu hilangnya saldo Rp 17 miliar tersebut. Belakangan, anak buahnya melaporkan bahwa bagian pemegang kas TNI Angkatan Udara diduga sengaja memangkas sekitar 4 persen dari pembayaran tahap pertama itu. "Mereka bilang uang itu untuk dana komando di TNI Angkatan Udara," kata sumber ini.
Irfan sempat memprotes keputusan tersebut. Alasannya, tidak pernah ada kesepakatan antara dia dan kubu TNI Angkatan Udara tentang pemangkasan pembayaran. Protes itu tidak mendapat tanggapan dari TNI Angkatan Udara. Irfan akhirnya membiarkan permasalahan ini mengambang.
Pengakuan adanya dana komando juga disampaikan Irfan saat diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Juli 2017. Penyidik KPK memeriksa Irfan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW101 di TNI Angkatan Udara. Hari itu, pria 46 tahun tersebut diperiksa seorang penyidik KPK dengan 25 pertanyaan. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif tak menyangkal ada temuan ini. Dia berjanji lembaganya akan menelusuri ihwal dana komando ini. "Kalau ada temuan lain tentu akan kami kembangkan," ujarnya.
Seorang aparat penegak hukum mengatakan beberapa perwira menengah di TNI Angkatan Udara kelimpungan ketika pembelian heli ini dipersoalkan. Sumber ini mengatakan mereka bahkan mengembalikan dana komando pembayaran tahap pertama yang dikutip dari Irfan.
Adapun dalam pembayaran tahap kedua, sebesar Rp 145 miliar, pada Februari 2017, TNI Angkatan Udara tidak sempat menyisihkan "dana komando". Menurut sumber tadi, TNI Angkatan Udara tak lagi mengutip dana komando karena penyelewengan pengadaan helikopter AW101 sudah terkuak ke publik.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara ketika itu, Marsekal Agus Supriatna, membantah adanya dana komando pembelian heli ini. "Tidak ada itu potong-potong. Makanya saya kaget," ucap Agus kala itu.
KPK sebenarnya tidak asing dengan dana komando. Sebab, pungutan ini juga mencuat ketika lembaga antikorupsi itu mengusut dugaan penyelewengan di tubuh Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menyeret politikus Golkar, Fayakhun Andriadi, pada Maret 2016.
Di persidangan, Fahmi Darmawansyah, terpidana dalam perkara ini, mengatakan ada kutipan sebesar 15 persen dari nilai proyek yang ia menangi di Bakamla sebesar Rp 1,2 triliun. Uang itu, kata dia, sebagai dana komando untuk operasional di Bakamla dan buat mengguyur politikus di Dewan Perwakilan Rakyat agar meloloskan proyek yang ia garap.
Beberapa saksi di persidangan bahkan menyebut Kepala Bakamla Laksamana Madya Arie Soedewo mengetahui soal dana komando ini. Di persidangan, Eko Susilo Hadi, Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla yang menjadi salah satu pesakitan dalam perkara ini, mengatakan pernah membicarakan fee 7,5 persen dari pemenang tender dengan Arie. Namun Arie berkali-kali membantah soal adanya aliran dana komando ke Bakamla.
Syailendra Persada, Linda Trianita
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo